Menunggangi KPK

Publik tidak boleh diam. KPK harus diselamatkan dari agenda ideologis yang belum tentu sejalan dengan ideologi bangsa ini.

Senin, 24 Juni 2019 | 11:49 WIB
0
254
Menunggangi KPK
KPK (Foto: Tirto.id)

Rakyat senang dengan tindakan pemberantasan korupsi. Makanya KPK selalu mendapat tempat di hati publik.

Posisi ini menguntungkan ketika KPK menjalani aktifitasnya. Semua tindakannya mendapat dukungan penuh. Bahkan rakyat rela berduyun-duyun datang ke kantor KPK untuk menyatakan pembelaannya saat konflik melawan Polri dalam kasus Cicak vs Buaya.

Di Indonesia KPK seperti lembaga suci yang lepas dari kritik. Bahkan kayaknya lebih suci dari Majlis Ulama, PWI atau PGI. Coba saja mengulik KPK, Anda akan distempel pembela korupsi. Atau bagian dari penjahat. Saking sucinya lembaga itu.

Kayaknya kita masih mending distempel durhaka pada MUI, PGI atau KWI ketimbang distempel membela korupsi. Rasanya gimana gitcu.

Tapi semakin tinggi harapan kita pada sebuah lembaga, akan semakin tinggi juga resikonya. Semakin orang berasumsi sebuah lembaga gak mungkin salah, ruang penyelewengan sekecil apapun akan memberikan guncangan yang hebat. Skala resiko kerusakannya sangat besar.

Di berbagai negara Hizbut Tahrir mengincar lembaga-lembaga penting untuk disusupi. Militer adalah sasaran utama. Setelah itu lembaga-lembaga hukum. Semakin hebat peran lembaga tersebut akan semakin jadi incaran.

Baca Juga: Justru Karena KPK Setengah Dewa, Kita Perlu Mengawalnya

Dari sanalah proses pembusukan pelan-pelan dijalankan. Sebuah lembaga yang memiliki kredebilitas tinggi sangat penting untuk disusupi. Mensusupi lembaga sejenis itu sama seperti merebut hati sebagian besar rakyat. Tanpa perlu bekerja terlalu keras.

Ini sama saja, kenapa kaum radikal lebih dulu mensasar artis untuk dihijrahkan. Sebab dengan begitu mereka punya ikon. Punya tokoh populer yang akan menjalankan pesan-pesan organisasinya ke khalayak awam.

Bedanya, kalau artis cuma difungsikan sebagai Public Relation. Taoi jika yang disusupi adalah lembaga kredibel sekelas KPK, bukan hanya fungsi PR yang didapat. Tetapi juga ikut menentukan jalannya permainan.

Mereka seperti mendapat kuda tunggangan kelas satu.

Belum lama ini beredar surat terbuka yang memprotes perekrutan penyidik KPK. Oknum yang menguasai wadah karyawan KPK berusaha menyingkirkan para penyidik KPK yang dianggap tidak sejalan. Bahkan katanya, para penyidik digeser dan diganti tanpa melewati prosedur.

Bahkan banyak penyidik yang direkrut tanpa tes.

Konflik ini menyembul, kabarnya, karena kolompok yang dimotori Novel Baswedan berusaha mengisi orang-orang di KPK yang hanya sejalan dengan kelompoknya. Kita tahu, nuansa yang dibawa Novel ini dekat-dekat dengan kelompok 'cingkrangers'. Afiliasi politik kelompok jenis ini kita tahu sendirilah.

Wajar saja jika akhirnya ada yang bilang sekarang di KPK ada kelompok 'Taliban' ada juga polisi India. Kelompok 'Taliban' ini menggunakan wadah forum karyawan untuk menyingkirkan mereka yang tidak sejalan.

Bayangkan jika lembaga yang dianggap setengah malaikat itu dikuasai oleh satu kelompok saja. Mereka melakukan pembersihan kepada kelompok lainnya. Pertanyaan mendasarnya, jika memang mereka mau kerja lurus, kenapa harus bermanuver dengan menghambat masuknya orang dari beragam latar belakang?

Bukankah menyingkiran itu menandakan ada agenda penguasaan KPK dan kemudian penunggangan KPK untuk kepentingan satu kelompok saja. Bisa dibayangkan kalau ada ideologi radikal bercampur disana.

Proses pemberantasan korupsi mestinya berjalan di jalur hukum murni. Apalagi lembaga sesuci KPK, yang kekuasaannya melebihi lembaga hukum manapun. Jika kemudian proses itu tercampur dengan kepentingan ideologis lain, bagaimana masa depan bangsa ini.

Gonjang-ganjing di internal KPK bukan persoalan biasa. Ini pertarungan yang mulai mengarah pada ideologis. Sebab nuansa seperti itu sudah muncul bau-baunya.

Publik gak boleh diam. KPK harus diselamatkan dari agenda ideologis yang belum tentu sejalan dengan ideologi bangsa ini. Karena fungsi strategisnya, jika KPK melenceng, menghancuran bangsa bisa dimulai dari sana.

Waktunya menggelorakan lagi tagar #SaveKPK. Tapi kali ini kita harus menyelamatkan KPK dari orang dalamnya sendiri.

***