Justru Karena KPK Setengah Dewa, Kita Perlu Mengawalnya

Ingat, dari KPK saja, kalau salah jalan, Indonesia bisa hancur berkeping-keping. Kita harus pastikan itu tidak terjadi. Sekecil apapun potensinya harus jadi perhatian serius.

Jumat, 14 Juni 2019 | 09:16 WIB
0
309
Justru Karena KPK Setengah Dewa, Kita Perlu Mengawalnya
GEdung KPK (Foto: Antara)

Semua pejabat kalau mendengar kata KPK, bakalan ngompol di celana.

Bukan apa-apa. Kalau kasusnya masuk polisi, masih ada ruang dimana polisi bisa salah. Makanya ada mekanisme SP3, surat tanda penghentian perkara. Itu tandanya polisi dan jaksa dianggap bisa saja keliru. Atau mungkin diasumsikan orang bisa bayar aparat agar perkaranya dihentikan.

Karena dengan asumsi terakhir itu juga mungkin akhirnya disepakati di KPK gak ada SP3. Kalau perkara sudah masuk KPK, gak ada jalan pulang. Ujungnya harus masuk ke pengadilan.

Tapi hakim yang mengadili juga takut sama KPK. Jika orang KPK datang membuka serenceng dosanya, dia pasti pucat pasi. Apalagi jaksa. Mungkin itulah faktor yang membuat kekuasaan KPK nyaris mutlak. Undang-undang memberikan keleluasaan besar kepada institusi ini untuk bertindak bebas.

Jika institusi KPK begitu berkuasa dan dianggap setengah dewa karena gak mungkin salah, harus dipastikan benar orang yang ada di KPK itu punya integritas dan ideologi yang jelas. Bisa saja mereka punya integritas, tapi kalau ideologinya khilafah, gimana?

Bukankah justru kita harus memperhatikan sekecil apapun nuansa yang ada di KPK? Justru karena power besar yang berikan negara padanya. Justru karena kita menaruh harapan besar pada lembaga seperti KPK.

Jika kekuasaannya sudah setengah absolut, tapi orang-orang di dalamnya punya ideologi yang bertentangan dengan NKRI, ini kan bahaya banget. Saya gak sedang mengatakan bahwa ideologi puritan sedang berkecambah di KPK sekarang. Tapi melihat dari pernyataan Yenti Ganarsih, tim seleksi komisioner KPK bahwa lembaga ini harus dijauhi dari paham radikal sepertinya kekhawatiran itu mulai ada.

Bukan hanya Yenti yang ngomong begitu. Netta S. Pane, ketua Police Watch juga memberikan pernyataan yang senada. Malah Netta bilang di KPK sekarang terbelah menjadi dua : kaum taliban dan polisi India. Polisi India yang dimaksud Netta mungkin yang selalu datang belakangan pas penjahat sudah ditekuk.

Saya sendiri belum bisa menyimpulkan apa-apa.

Tapi cobalah sesekali masuk ke kantor KPK. Saat waktu sholat, kantor itu memang mirip masjid. Suara adzan membahana di salurkan dari masjid ke lorong-lorong kantor. Semua orang mendengarnya.

Bukan. Saya gak hendak mengkritik suara azan yang membahana itu. Itu adalah panggilan sholat, kewajiban bagi umat Islam. Tapi apakah juga pernah diputar rekaman doa Maria sesekali? Atau doa seorang Bante? Kan di KPK karyawannya bukan hanya muslim saja.

Bukan apa-apa. Sebagai lembaga negara yang dibiayai oleh negara, KPK gak boleh juga 'mengkorup' nuansa kantor seolah cuma bagian dari satu kelompok saja. Itu namanya korup juga. Sebab mengabaikan hak kelompok lainnya.

Baca Juga: KPK Harus Punya Strategi Khusus untuk Tanangani Korupsi di Papua

Toh, KPK dibiayai dari APBN. APBN dari pajak. Pajak dibayar rakyat yang agamanya beragam. Jadi kalau nuansa kerja di KPK condong ke satu agama, kayaknya itu bagian dari korupsi juga. Meski korupsi bukan ketegori umum.

Coba juga lihat siapa saja penceramah yang mengisi pengajian di masjid KPK. Kita mungkin akan berkesimpulan bahwa nuansa islam di KPK semua senada. Kelompok cingkranger sangat mendominasi.

Komisioner KPK memang dipilih DPR. Tapi mereka berganti lima tahun sekali. Sedangkan penyidik KPK sebagian berasal dari Polri sebagian lagi orang internal KPK. Juga karyawan lain yang memang menjadi karyawan KPK. Dibanding komisioner budaya karyawan ini lebih kendominasi budaya KPK.

Saya ingin mengatakan begini. Kekuasaan KPK itu saparuh absolut. Kita gak bisa lengah membiarkan virus radikal tumbuh disana. Bayangkan jadinya jika kekuasaan setengah absolut itu dibiarkan dikemudikan oleh para curut khilafah?

Justru karena harapan kita sangat besar pada KPK, mata kita harus lebih jeli mengawasinya. Oleh UU KPK memang diberi wewenang kayak setengah malaikat. Tapi yang menjalankannya adalah orang biasa.

Mungkin kalau soal perilaku korupsi untuk memperkaya diri sendiri, barangkali gak. Bagaimana kalau yang dirasuki ideologinya? Ini yang harus dipastikan.

Yenti Ganarsih, bukan orang bodoh yang bicara KPK harus dijauhi dari ideologi radikal. Warning Yenti perlu jadi perhatian kita semua.

Ingat, dari KPK saja, kalau salah jalan, Indonesia bisa hancur berkeping-keping. Kita harus pastikan itu tidak terjadi. Sekecil apapun potensinya harus jadi perhatian serius.

"Jadi mas, kita harus pastikan orang di dalam KPK itu merah putih semua. Seperti warna gedungnya," ujar Abu Kumkum.

Bener itu, Kum....

***