Bagi capres nomor urut 02 Prabowo Subianto, merayakan Natal bersama keluarga besarnya adalah hal yang penting dan biasa dilakukan setiap tahun. Hal ini dilakukan karena keluarga besarnya memang mayoritas non-Islam.
Prabowo sendiri saat ini sebagai seorang muslim. Dia adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Dua kakaknya, yakni Biantiningsih dan Maryani ikut agama suaminya yang Katolik. Sedangkan adik bungsunya, Hashim Djojohadikusumo beragama Kristen. Mereka berempat lahir dari rahim seorang ibu berdarah Manado dan beragama Kristen, Dora Sigar.
Jadi, aksi joget Prabowo di acara Natal Bersama yang digelar di kediaman keluarga besarnya adalah hal biasa yang dilakukan keluarga Kristen keturunan Manado ini setiap tahunnya. Bahkan, kalau mau dibilang, tayangan video tersebut memperlihatkan Prabowo yang lebih memahami dan menyelami ajaran agama keluarga besarnya.
Namun, mengapa tayangan video pendek yang semula di-upload di akun media sosial Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, yang tak lain keponakan Prabowo sendiri, dihapus lantaran banyak pertanyaan dari netizen.
Bukankah sebaiknya dibiarkan saja. Karena, tak seorang pun boleh mendikte Prabowo yang dianggap masih kurang memahami ajaran Islam yang dianutnya, sehingga dirinya pun tak perlu malu untuk mengakui tak pantas jika diminta untuk menjadi imam sholat. Semua itu hal yang biasa.
Sebagai seorang muslim, Prabowo juga terus belajar bagaimana menjadi seorang muslim. Seperti diketahui, Ketua Garda 212 Ansufri Idrus Sambo atau biasa dikenal dengan Ustadz Sambo, pernah menjadi guru mengaji Prabowo di Yordania.
Prabowo terbang ke Yordania pasca lengsernya rezim Orde Baru tahun 1998. Pertemuannya dengan sang guru dilakukan seminggu sekali, atau kadang dua minggu sekali, sekali pertemuan memakan waktu sekitar 3 jam untuk belajar mengaji.
Prabowo masih dalam tahapan belajar baca Iqro. Meskipun belum sampai Quran, Prabowo diakui sudah bisa kalimat sambung. Prabowo belajar mengaji sekitar 8 bulanan, atau kira-kira sampai 20 kali pertemuan dan itu dilakukan secara intens.
Pendapat serupa soal tidak perlunya mengungkit-ungkit keislaman Prabowo juga datang dari seorang mantan aktivis lingkungan Emmy Hafild. Berikut ini petikannya:
Posisi saya sebenarnya agama seseorang tidak menjadi penentu buat saya untuk memilih seseorang untuk menjadi pemimpin. Melihat Prabowo dipersoalkan kemampuannya sholat, membaca Al-Qur'an atau menjadi Imam itu juga saya tidak peduli. Ketika beredar video dan foto Prabowo berjoget ria dalam acara perayaan Natal, saya juga berpikiran "so what?".
Saya juga tidak heran misalnya ketika melihat video, seorang Prabowo, yang mengikuti ritual Natal agama Nasrani dengan menyalakan lilin dan menyanyikan lagu-lagu rohani, yang notabene adalah bagian dari ritual agama Kristen, menurut teman saya yg Kristen.Tetapi membuat tak urung saya bertanya-tanya juga: Prabowo Kristen atau Islam yg ultra moderat?
Tetapi kemudian saya sadar, apa hak saya dan kita semua menghakimi keislaman Prabowo? Sama seperti apa hak orang menghakimi keislaman saya karena saya tidak pakai jilbab?
Bagi saya, dan saya percaya ini berlaku bagi publik di negara manapun, untuk memilih pemimpin, yang paling penting adalah karakter seseorang. Pemimpin yang baik bagi saya adalah yang jujur, bekerja keras, memberi perhatian detail pada pekerjaannya untuk menjamin kesuksesan, secara "genuine" peduli pada rakyatnya, terutama yang dari kelompok lemah, terbuka, transparan, sederhana, rendah hati, "accessible" dan mampu menyelesaikan konflik.
Yang paling penting dari semua karakter adalah sikap yang demokratis, yang terbuka pada kritikan dan masukan, bergerak dalam koridor hukum, bahkan menghormati oposisi. Agama seharusnya tidak jadi faktor penentu.
Emmy yang juga kader partai NasDem ini, menilai akan menjadi masalah besar jika persoalan agama dijadikan alat untuk meraih kekuasaan. Lebih parah lagi, apabila agama seseorang dimanipulasi sedemikian rupa, seolah-olah calon pemimpin itu merupakan simbol dari agama tertentu.
Bahkan, sosok Prabowo, sepertinya sudah dijadikan simbol agama Islam sejak Pilpres tahun 2014, berlanjut ke Pilgub DKI 2017 sampai sekarang oleh sekelompok ormas Islam tertentu.
Dengan kata lain, simbol Islam yang disematkan kepada Prabowo digunakan untuk menandingi rival politiknya, yaitu Presiden Petahana Joko Widodo (Jokowi) yang selama ini dianggap oleh kelompok tertentu sebagai sosok orang yang memusuhi Islam, mengkriminalisasi ulama, bahkan tuduhan-tuduhan miring lainnya yang cenderung dibuat-buat.
Dengan mengakui dirinya tak pantas menjadi imam sholat, semestinya Prabowo juga tidak membiarkan dirinya dianggap sebagai simbol Islam.
Karena itu, wajar bila ada tuduhan dari pendukung Jokowi bahwa Prabowo dianggap menjadi pendukung Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dianggap bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Sesering apapun Prabowo mengatakan bahwa dirinya tidak mendukung negara khilafah, jadi akan sia-sia jika kenyataannya dia selalu bergandengan tangan bersama HTI, seperti ikut dalam aksi demo menolak setiap kebijakan Pemerintahan Jokowi, termasuk ikut secara bersama-sama "menuduh" Jokowi yang anti-Islam, sedangkan dirinya sendiri bukanlah penganut Islam yang taat.
Sekadar untuk meraih dukungan rakyat dari berbagai macam inilah, tidak jarang ada politisi mencoba menyenangkan semua kelompok. Buat dirinya, yang penting, di sini senang, di sana senang. 'Likulli maqaam maqaal' (Setiap tempat ada jenis perkataan sendiri).
Dengan kata lain, Prabowo bisa dianggap ikut memanipulasi agama untuk memenangkan pertarungan menjadi Presiden.
"Dia tidak malu-malu berbohong, dia tidak segan-segan memanipulasi agama, bahkan mungkin membelakangi imannya sendiri, demi memenangkan pertarungan kekuasaan," kata Emmy Hafild
Bagaimana menurut Anda?
sumber:
1. Kumparan.com (18/12/2017): "Prabowo Subianto dan Keluarganya"
2. RedaksiIndonesia.com (29/12/2018): "Prabowo dan Agama"
3. Republika.co.id (03/08/2018): "Napoleon dan Machiavelli: Untuk Apa Jadi Presiden?"
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews