Menolak Politisasi Tempat Ibadah Jelang Pemilu 2024

Minggu, 29 Januari 2023 | 21:35 WIB
0
28
Menolak Politisasi Tempat Ibadah Jelang Pemilu 2024
Ketua KPU Hasyim Asy'ari

Oleh : David Falih Hansa 

Pemilu tahun 2024 sudah di depan mata dan masa kampanye sebentar lagi akan dimulai. Masyarakat tengah bersiap menyambut pesta demokrasi tersebut, namun mereka menolak keras kampanye yang diselenggarakan di tempat ibadah karena tidak etis dan melanggar peraturan.


Pemilu 2024 diprediksi berlangsung dengan seru karena calon-calon presidennya baru dan diharap membawa banyak perubahan positif di Indonesia. Sebelum pemilu tentu ada masa kampanye untuk memperkenalkan dan mempromosikan calon presiden dan calon legislatif. Masyarakat berharap kampanye berjalan secara tertib dan damai tanpa ada potensi kerusuhan antar pendukung.


Namun tetap saja ada pendukung caleg (calon legislatif) nakal yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan dengan berkampanye di tempat ibadah.

Tindakan ini dikecam oleh masyarakat karena mereka datang untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Tetapi dipaksa untuk mendengarkan ceramah berbalut kampanye caleg yang tidak tahu malu.


Tokoh-tokoh agama dan penganut kepercayaan menolak kampanye maupun manuver politik praktis di rumah ibadah, menjelang Pemilu 2024. Deklarasi tersebut disuarakan saat aksi Jalan Sehat Kerukunan di Jakarta, Sabtu 14 Januari 2023 pagi, dalam rangka memeriahkan Hari Amal Bhakti (HAB) ke-77 Kementerian Agama.


Penceramah Habib Husein Jakfar menyatakan bahwa ia dan sejumlah tokoh agama lain berkomitmen untuk tidak menggunakan rumah ibadah sebagai tempat kampanye atau aktivitas politik praktis sebagaimana larangan yang tertuang dalam Undang-Undang Pemilu.
Sejumlah tokoh lintas agama lainnya yang hadir antara lain KH Aunullah A'la Habib (Islam), Pendeta Jimi MI Sormin (Kristen), Romo Agustinus Heri Wibowo (Katolik), Wisnu Bawa Tenaya (Hindu), Asun Gautama (Buddha), dan Xs. Budi Santoso Tanuwibowo (Khonghucu). Mereka pun secara bergantian tampil membacakan doa.
Masyarakat mengapresiasi deklarasi yang diselenggarakan para tokoh agama. Penyebabnya karena mereka peduli terhadap masa depan Indonesia dan menginginkan pemilu damai. Mereka menolak keras kampanye di rumah ibadah karena memang melanggar UU Pemilu. Pelanggaran UU Pemilu tentu bisa dipidana dan seharusnya caleg lebih berhati-hati untuk memilih tempat kampanye, dan tidak menyalahgunakan fungsi rumah ibadah.
Selain itu, penggunaan rumah ibadah untuk kampanye caleg tentu tidak etis karena melanggar fungsi dari rumah ibadah. Seharusnya umat lebih tenang karena bisa ibadah dengan khusyuk, tetapi ada kampanye terselubung saat ada ceramah jumatan atau ceramah yang lain. Tidak seharusnya kegiatan ibadah dicampur-adukkan dengan politik.
Jika ada pelanggaran maka masyarakat jangan ragu untuk melaporkan ke KPU maupun Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu). Saat ada laporan maka Bawaslu akan menindak caleg dan tim yang bersangkutan sehingga mereka tidak akan mengulanginya lagi. Namun jika caleg masih saja bandel maka akan ada tindakan selanjutnya dan ia bisa tersangkut UU Pemilu.
Para pelanggar baik itu caleg maupun tim suksesnya saat dilaporkan harus ikhlas dan menyadari kesalahannya. Jangan menyalahkan pihak yang melaporkan tindakannya yang melakukan kampanye di rumah ibadah. Ia harus diperingatkan agar tidak melanggar UU Pemilu dan juga etika.
Pembacaan Deklarasi Damai Umat Beragama ini diapresiasi oleh salah satu selebriti Indonesia Olga Lidya. Menurutnya, deklarasi ini memberi pesan yang sangat kuat tentang pentingnya saling berbuat baik dan terus menjaga kedamaian.
Olga Lidya melanjutkan, segala hal yang baik ada dalam agama. Jangan agama sampai digunakan untuk hal yang buruk, memecah belah, dan menebar kebencian. Agama justru mengajarkan umatnya tentang cinta kasih dan memuliakan Tuhan yang sangat baik kepada kita. Tuhan mengajarkan hal baik kepada kita dan menginginkan kita berbuat baik.
Dalam artian, Jangan sampai di tahun politik ini, agama digunakan untuk kepentingan pribadi, perorangan atau kepentingan politik. Sebab agama harus adem, damai, dan gembira. Mari beragama dengan gembira.
Politik tidak bisa dicampurkan dengan agama karena jalurnya berbeda dan UU-nya berbeda. Para calon legislasi dan tim suksesnya diharap memahami hal itu dan tidak sembarangan dalam memilih tempat kampanye. Mereka bisa memilih untuk kampanye di aula, pasar, lapangan, atau di media sosial. Namun jangan berkampanye di rumah ibadah karena salah besar.
Saat ada kampanye di rumah ibadah maka tidak etis dan bisa ditegur oleh Bawaslu. Penyebabnya karena kampanye di sana bisa memicu pertengkaran berdasarkan SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan) dan audience-nya berasal dari 1 keyakinan yang sama dan bisa diadu domba dengan umat dengan keyakinan lain. Oleh karena itu kampanye tersebut dilarang keras dan dikecam oleh masyarakat.
Masyarakat menolak keras penggunaan rumah ibadah untuk kampanye politik. Jelang tahun 2024 maka kampanye makin semarak tetapi rawan untuk disalah gunakan. Kampanye harus teratur, sesuai dengan UU Pemilu, dan tidak boleh melanggar etika. Oleh karena itu tidak boleh diselenggarakan di rumah ibadah umat dengan keyakinan manapun.

)* Penulis adalah kontributor Persada Institute