Tentang Belva dan Ruang Guru

Bagaimana mungkin ada sebuah programseperti tutorial, bimbingan, motivasi, atau penyuluhan yang harus dibayar mahal negara ketika negara di ambang kebangkrutan dan kesulitan finansial.

Rabu, 22 April 2020 | 06:53 WIB
0
543
Tentang Belva dan Ruang Guru
Adamas Belva Syah Devara (Foto: pikiran-rakyat.com)

Maafkan, saya termasuk yang senang dengan pecahnya kasus Belva ni. Bagaimana pun ini mengobati dobel risi, kalau tidak malah triple gusar sejak awal. Ketika Jokowi memilih staf khusus "kaum milenial berprestasi", sebenarnya sudah sangat tidak sreg.

Dasarnya sederhana, negara bukan "taman bermain atau lembaga pelatihan", tempat orang mencari pengalaman, apalagi kesenangan dan kesempatan. Dalam masalah tata negara dan tata kelola pemerintahan, menurut saya tidak ada yang namanya program akselerasi, percepatan, atau apa pun yang sifatnya melambung.

Boleh saja, ada seorang seorang anak lulus SMA di usi 13 tahun, atau sarjana di usia tahun 18 tahun, atau bahkan Doktor di usia 25 tahun, Bolehlah kejadian-kejadian anomali seperti itu datang sesekali, hanya untuk menjadi sensasi-sensasi yang membuat bangga orang tua "sementara waktu". Kebanggaan yang sesungguhnya sangat pendek, sejenis kejutan listrik yang kemudian tiba-tiba arus utamanya terhenti yang tersisa adalah muka gosong.

Prestasi akademis itu sama sekali tidak butuh hal-hal instant! Cukuplah yang instant itu susu, mie, atau makanan kemasan yang besok-besok akan dikenang sebagai "junk food" dengan perasaan bersalah dan kalah, Makanan yang sama sekali tidak sehat dan menyadarkan selera hidup kita murahan banget....

Baca Juga: Staf Khusus Rasa "Buzzer"

Dalam konteks inilah, sebagai orang tua saya selalu kritis terhadap apa yang disebut "bimbingan belajar". Di semua tingkatan, baik SD, SMP, SMA. Sebuah doping untuk "naik kelas" ke jenjang selanjutnya. Cara mengatrol melulu nilai raport atau ijazah atau NEM dengan cara yang menurut saya sebagai "cara menghapal jawaban". Namun ironisnya, orang tua jaman sekarang, justru merasa belum sempurna mendidik anak bila tidak memberi tambahan pelajaran melalui program-program sejenis ini.

Padahal realitasnya, beban harian sekolah formal sudah cukup berat dan menyita waktu. Ironisnya sekolah-sekolah itu sendiri, secara mandiri telah terjebak latah ikut memberi tambahan "bimbingan belajar intern". Bagi saya ini sejenis pendidikan yang tidak sehat yang sekolah. Di sinilah, menurut keteladanan itu menjadi absurd sekali. Bukannya, guru memberi hal-hal yang luhur, tapi ikut terjun bebas ikut memenuhi kebutuhan praktis orang tua murid, yang sering di atas namakna kebutuhan siswa.

Padahal sesungguhnya, ya sekali lagi itu adalah kebutuhan orang tua yang sudah merasa membayar mahal sebuah kursi di kelas. Sebuah perdagangan yang sudah diijonkan sejak seorang anak dimasukkan di sebuah kelas. Akibatnya lumrah: biaya, biaya, biaya. Dan semakin mahal biayanya, tentu tuntutannya jadi terbalik. Kebutuhan si pembayar....

Dalam konteks inilah kerisian pertama saya dengan Ruang Guru. Bimbingan belajar yang sdemikian praktis, melulu mengajari si klien "cara menjawab soal". Sedemikian murah, bila dibandingkan bimbingan belajar konvensional yang tarifnya jauh melampaui sekolah formal yang harus dijalani.

Dalam iklim seperti inilah, kita orang tua seolah memberi anak-anak fasilitas, tapi sesungguhnya sedang "menjerumuskan dengan cara yang sangat halus". Dan saya, juga bagian dari generasi tersebut. Baik sebagai peserta ketika masih SMA menuju PTN, atau sebagai penyerta (pengantar) anak sulung saya sebelum menyadari kesalahan saya. Bahwa, ketika anak-anak saya berkesempatan kuliah di (maaf) luar negeri ternyata semua itu sama sekali tak ada manfaatnya. Tak sedikit pun....

Dalam konteks inilah saya merasa risi kedua, ketika Jokowi menarik Adamas Belva Syah Devara sebagai salah satu staf khusus milenial-nya. Jokowi tutup mata, bahwa ada cara pandang yang salah sejak awal tentang "bidang yang ditekuni" Belva. Ia hanya meliput dan melihat lagi-lagi bagian kulit paling luarnya: inovasi program digital-nya, perkembangan omzet, dan penetrasi pasar yang dicapai oleh brand tersebut.

Secara pribadi ia dibaca hanya sebagai anak muda, dengan latar belakang penddikan yang dianggap berkelas dunia. Ia direkrut karena dianggap memiliki reputasi sebagai pengusaha, tokoh muda, dan aktivis sosial. Tiga kata kunci yang saya pikir akan membuat emak-emak zaman now, tak akan mikir dua kali untuk menjadikannya anak mantu. Ia dianggap sangat berprestasi sebagai pendiri start up sekaligus Direktur Utama (CEO), bidang pendidikan dan teknologi terbesar di Indonesia, Ruang Guru.

Jokowi barangkali boleh beragumentasi, ia hanya memberi kesempatan, tapi sesungguhnya juga memberikan ujian, dimana yang diuji tak akan pernah benar-benar lulus. Nyatanya ketika salah sedikit, kepleset jatuh sakit sekali...

Baca Juga: Wabah Corona, Staf Khusus Presiden Bebani Jokowi, KPK Wajib Selidiki

Dan ketika, justru muncul pageblug Covid-19 muncul, ia muncul sebagai pencuri kesempatan yang menurut kacamata saya brengsek sekali. Bagamana mungkin, ia menggunakan institusinya sendiri untuk ndompleng sebuah bantuan sosial dalam sebuah program yang sama sekali tidak dibutuhkan oleh si penerima. OK, lah semua akan kembali kepada kosa kata "maksud baik". Tapi sebarapa bijak maksud baik di situasi yang sedang tidak baik itu?

Bagaimana mungkin ada sebuah program apalah sebutannya itu: tutorial, bimbingan, motivasi, atau penyuluhan yang harus dibayar mahal negara. Ketika justru negara di ambang kebangkrutan dan kesulitan finansial. Ketika dana tersebut jauh lebih bermanfaat bagi bidang yang riil, masalah perut misalnya.

Sesuatu yang secara terang benderang, menyebut manusia yang sedang dalam kesulitan dimasukkan dalam kategori kelompok "Pra-Kerja". Seolah sekejap mata mereka bisa diubah dari kaum buruh menjadi entreupeneur? Dari seorang follower menjadi inovator. Padahal ruang gerak manusia hari ini, hanya di situ-situ saja.

Ketika, dia mundur dengan sangat pongah: ia bilang tidak ada yang salah dengan program yang ditawarkannya. Tidak ada yang keliru dalam keterlibatan perusahaannya. ia mundur, hanya karena tidak ingin ada polemik dan conflict interest di dalamnya. Harusnya kalau memang ia mundur, juga batalkan semua program yang ia telah tawarkan. Dan katakan sejujurnya semua yang harus negara bayar itu sesungguhnya semua telah ada di Youtube dan bisa didapat secara cuma-cuma.

Milenial seperti Belva ini bagi saya sungguh brengsek dan (tetap saja) berideologi aji mumpung. Ideologi yang semestinya harus masuk tong sampah, sebagai warisan masa lalu yang buruk. Ia semestinya tak ada lagi, dalam kamus kaum milenial yang lebih pandai membaca peluang namun sekaligus punya watak baik filantropis.

Siapa pun pendukungnya, mereka tutup mata pada realitas terkini. Ketika banyak program bermutu tinggi, justru diniatkan sejak awal, dibuat secara sungguh-sungguh, dan dibikin gratis agar bermanfaat bagi sedemikian banyak warga dunia. Lah ini, minta bayaran yang tidak murah!

Harusnya ia malu, harusnya Jokowi mau mengakui kesalahan program bantuan sosial plus itu. Saya pun menuliskan ini dengan terciprat rasa malu yang sangat!

Ayo siapa yang masih membela Belva dan Ruang Guru-nya! Mari kita berdebat...

***