Mewaspadai Aksi Teror Saat Pandemi Covid-19

Di tengah pandemi ini, semestinya kita menjadi peka terhadap keadaan sosial, bukan lantas menebar kebencian atau melukai sesama manusia dengan aksi teror.

Minggu, 19 April 2020 | 07:36 WIB
0
221
Mewaspadai Aksi Teror Saat Pandemi Covid-19
TNI di Poso (Foto: Suara.com)

Peristiwa penembakan terhadap Polisi oleh kelompok teror di Poso, Sulawesi Tengah terjadi pada Rabu (15/4). Insiden ini menunjukkan bahwa jaringan teroris tetap menjadi ancaman keutuhan bangsa dalam kondisi apapun, termasuk saat Pandemi Covid-19. 

Maraknya aksi teror dari tahun ke tahun membuktikan bahwa terorisme adalah sebuah kejahatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, aksi-aksi terorisme yang selama ini terjadi telah mengakibatkan hilangnya nyawa tanpa memandang korban, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, warga sipil hingga aparat keamanan.

Guru Besar Ilmu Politik UPI Prof Cecep Darmawan mengatakan, terorisme merupakan kejahatan luar biasa yang universal dan mengancam nilai-nilai kemanusiaan, perdamaian, keamanan, persatuan bahkan peradaban. Konkritnya terorisme adalah musuh terbesar kemanusiaan sepanjang masa.

Ketika Negara berjuang untuk bangkit melawan virus corona, aksi teror terjadi di Poso Sulawesi Tengah, dimana anggota kepolisian yang bertugas menjaga keamanan di Bank Syariah Mandiri kantor cabang Poso tersebut, mendapatkan serangan dari sekelompok sipil bersenjata. Satu diantaranya dikabarkan terluka terkena tembakan.

Hal tersebut dibenarkan oleh Kabid Humas Polda Sulteng Kombes Didik Supranoto, pihaknya mengatakan ada anggotanya yang terluka terkena tembakan dan bacokan. Peristiwa tersebut terjadi di Jalan Pulau Irian Jaya, Gebang Rejo Kabupaten Poso.

Kedua pelaku tersebut datang dengan menaiki sepeda motor secara berboncengan, kemudian langsung menyerang petugas polisi yang tengah berjaga. Serangan tersebut terjadi pada pukul 09.15 WITA.

Kedua pelaku aksi teror di Poso tersebut diduga merupakan bagian dari kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Meski kedua pelaku tersebut sempat meloloskan diri, namun polisi telah berhasil mengamankan senjata pelaku. Kedua pelaku tersebut yakni Muis Fahron alias Abdullah dan Ali alias Darwin Gobel.

Aparat kepolisian berhasil menemukan kedua pelaku tersebut sekitar pukul 13.00 WITA dalam keadaan tewas, namun pihak kepolisian belum merinci penyebab tewasnya kedua pelaku aksi teror yang melukai aparat kepolisian. Didik mengatakan, kedua pelaku tersebut merupakan anggota kelompok dari teroris MIT pimpinan Ali Kalora.

Aksi Teror tentu akan menyebabkan instabilitas suatu wilayah dan bangsa, membahayakan masyarakat, serta menjadi ancaman bagi perdamaian dan pembangunan yang tengah digalakkan oleh pemerintah.

Apalagi saat ini masyarakat berada dalam kondisi waspada akan adanya potensi penularan covid-19. Jika ditambah dengan ancaman teror, tentu saja hal ini tidak akan berdampak baik terhadap keamanan di Indonesia.

Beragam aksi terorisme yang terjadi di sejumlah negara tak terkecuali Indonesia, didasari atas suburnya pemikiran radikal dalam diri individu. Dimana pemikiran ini adalah hasil dari berbagai hal, mulai dari paparan kajian radikal, atau konten di media daring yang mengarah pada sikap anti demokrasi di Indonesia.

Motif para teroris melakukan aksi teror salah satunya ialah dogma tentang Jihad yang merasuk dalam pikirannya, kegagalan paham terkait konsep jihad seakan menutup nurani para teroris untuk melukai bahkan membunuh sesama manusia hanya karena berbeda ideologi. Padahal pada dasarnya Jihad adalah menegakkan Agama atau membela kaum yang terdzalimi, bukan dengan menciptakan kehancuran dan ketakutan pihak yang tidak bersalah.

Covid-19 telah menjadi bencana nasional non-alam. Adanya aksi teror di wilayah Poso tentu menunjukkan kejahatan kemanusiaan yang nyata oleh sekelompok orang yang berpaham radikal.

Kaum radikal meyakini bahwa kritik atas persoalan perbedaan ideologi merupakan jihad keagamaan yang kerap kali didewakan tanpa adanya jihad kemanusiaan. Mereka yang berpaham radikal akan menganggap dengan melakukan kerusakan atau melukai orang yang tidak sepaham adalah sebuah jihad dengan hadiah surga, meskipun hal itu menimbulkan korban jiwa.

Keyakinan tersebut semestinya merupakan salah satu cacat logika dari kaum radikal, mestinya jika menginginkan surga, haruslah menolong dan membantu yang lemah, bukan dengan menebarkan kekacauan dan kepanikan ditengah pandemi.

Upaya deradikalisasi sepertinya harus mulai digalakkan kembali, Pemerintah harus mengarahkan narapidana mantan napi terorisme (napiter) untuk menyebarkan dan meluruskan pemahaman agama yang sesuai ajaran Islam, bahwa islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin.

Di tengah pandemi ini, semestinya kita menjadi peka terhadap keadaan sosial, bukan lantas menebar kebencian atau melukai sesama manusia dengan aksi teror.

***