Jadi tak ada salahnya soal kepemimpinan politik Bu Mega dalam tubuh PDIP, karena politik itu seni dan seni tidak mengenal logika logika baku, ia hanya mengenal keindahan akan hasil, tentunya dengan etika tinggi.
Ditunjuknya Bu Mega sebagai ketua umum PDI Perjuangan di kongres V PDI Perjuangan kerap menjadi pertanyaan luas di masyarakat, bahkan di media sosial menunjukkan dua hal pendapat netizen: kekaguman sekaligus nada bertanya.
Kagum karena Bu Mega dinilai sebagai perempuan hebat yang punya daya tahan politik luar biasa dengan durasi amat panjang menguasai semua lini politik di Indonesia, mulai dari bawah sekali bahkan situasi minus, menjadi politisi paling kuat dan mencatat Partai yang dibangunnya menjadi Partai terkuat sepanjang sejarah Indonesia secara otentik berbasis sipil tanpa dukungan kekuasaan seperti militer ataupun sindikasi konglomerasi, partai yang dibangun dengan keberanian melawan Orde Baru sekaligus membentuk sejarah kekuasaan selama 20 tahun lebih setelah Suharto jatuh.
Namun di sisi lain, timbul pertanyaan lain di masyarakat kenapa Bu Mega terus menerus menjadi Ketua Umum PDI Perjuangan setelah kemenangan politik pada kongres PDI Sukolilo Surabaya 1993, sampai Kongres V Denpasar Bali menjabat ketum PDI Perjuangan? Kenapa tidak ada sirkulasi kepemimpinan di PDI Perjuangan pada pucuk pimpinan?
Nada tanya inilah yang jadi mainstream dalam komentar komentar di media sosial.
Baca Juga: Megawati: “Semua Keputusan Ada di Presiden Jokowi!”
Pemilihan ketum Partai tentunya bukan masuk ke dalam ranah publik, tapi ranah internal Partai dan internal Partai secara aklamasi memutuskan Bu Mega kembali lagi memimpin PDI Perjuangan dengan pandangan pandangan yang bukan saja pandangan politis tapi juga pandangan spiritual batin secara kolektif.
Memang ada yang perlu diperhatikan dalam kaitannya logika demokrasi, bahwa setiap sirkulasi ditentukan periodisasi, namun bagi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang berbasis Alam Pikiran Bung Karno, tentunya harus dipahami bahwa kekuatan pendidikan politik tidak terbatas ditentukan sirkulasi kekuasaan tapi langkah pertama adalah membangun struktur organisasi yang kuat, solid dan terintegrasi dari alam teori sampai alam praktik tujuan tujuan politik segaris dengan idealisme Partai.
Jadi langkah pertama dalam membangun demokrasi adalah membentuk pondasi kepemimpinan Partai yang menjadi kontribusi kekuatan politik nasional.
Apa yang mendasari dipilihnya Bu Mega secara aklamasi dalam Kongres V PDI Perjuangan, ada catatan penting dalam pemilihan aklamasi ini : “SUASANA BATIN”. Dalam suasana batin dimana PDI Perjuangan dalam tahun ini seperti sebuah Takem (Tahun Kemenangan), - istilah Takem dikenalkan Bung Karno pada tahun 1962 setelah berhasil merebut Irian Barat dan menjadi pidato politik 17 Agustus 1962.
Takem dalam 2019, adalah sebuah Partai berwatak Sukarnois yang lahir dari jaman rezim anti Sukarno di masa Orde Baru bisa berdiri terus menerus walau digebuk dan ditembaki menjadi simbol kemenangan rakyat tapi juga mau melakukan rekonsiliasi dengan cara kompetisi dalam demokrasi serta jatuh bangun dalam kompetisi dan di tahun 2019 mencetak sejarah sebagai Partai yang memenangkan Pemilu sebanyak 3 kali pasca kejatuhan Suharto, bahkan dari kesejarahan ideologis memiliki tiga Presiden RI: Sukarno, Megawati dan Jokowi. Hal ini merupakan puncak prestasi politik sekaligus kemenangan ideologis dalam hegemoni alam pikir filosofis negara dan realita politik.
Kongres V PDI Perjuangan ini menangkap situasi batin para utusan utusan cabang Partai untuk aklamasi memilih kembali Megawati Sukarnoputeri sebagai ketua umum. Cobaan terbesar dalam puncak kemenangan justru perpecahan politik dalam internal partai, simbol dalam politik di Indonesia bukan saja soal ‘tanda-tanda penunjuk’, simbol dalam politik Indonesia adalah bagaimana pusaran kekuatan jelas kemana arahnya.
Dalam PDI Perjuangan sendiri, garis komando organisasi jelas hanya satu pintu yaitu Ketum yang kemudian rantai komando ke Sekjen dan pengaturan wilayah wilayah kerja politik di bawahnya. Berbeda dengan partai-partai lain di Indonesia bisa banyak masuk satu pintu dan rentan perpecahan politik. Bahkan Jusuf Kalla sendiri mengeluh bahwa seperti menjadi tradisi dalam pertarungan kekuasaan di internal Golkar justru malah melahirkan Partai-Partai baru.
Fenomena kerapuhan Partai ini bukan saja dialami Golkar tapi juga partai partai lain. Kepemimpinan dalam ruang hampa batin politik dan tidak dibangun oleh spirit kesatuan sejarah inilah yang kerap menjadi sumber kerapuhan partai. PDI Perjuangan beruntung karena dibesarkan dalam sebuah semangat kebersamaan di tengah situasi paling buruk, kenangan kolektif di masa lalu dalam perlawanan terhadap Orde Baru, kegembiraan rakyat dan kembali melakukan strategi politik penuh kegembiraan lewat kemunculan Jokowi masuk Jakarta tahun 2012 sampai pada kemenangan politik di tahun 2019, disinilah kemudian terciptalah “Tahun-Tahun Kemenangan” PDIP.
Dalam Takem 2019, suasana batin justru butuh pepunden dan internal Partai memutuskan Bu Mega hadir di tengah jalannya sejarah seraya mempersiapkan pertempuran politik 2024.
Jadi tak ada salahnya soal kepemimpinan politik Bu Mega dalam tubuh PDIP, karena politik itu seni dan seni tidak mengenal logika logika baku, ia hanya mengenal keindahan akan hasil, tentunya dengan etika tinggi.
Grand Inna, Bali 2019,
Anton DH Nugrahanto
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews