Megawati: “Semua Keputusan Ada di Presiden Jokowi!”

Bukan tidak mungkin, pertemuan Prabowo-Mega tersebut terjadi untuk antisipasi jika Jokowi dan parpol koalisinya menolak format rekonsiliasi yang diajukan oleh Prabowo.

Kamis, 25 Juli 2019 | 23:07 WIB
0
443
Megawati: “Semua Keputusan Ada di Presiden Jokowi!”
Pertemuan

Sumringah. Bahagia. Tidak ewuh pakewuh. Saling lempar senyum lepas. Itulah suasana yang tampak saat berlangsung pertemuan Ketum DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto dengan Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri di Jakarta.

Menariknya, dalam pertemuan “politik nasi goreng” ala Mega tersebut, seperti halnya ketika Presiden Joko Widodo bertemu dengan Prabowo di Stasiun MRT Lebak Bulus, juga dihadiri oleh Kepala BIN Budi Gunawan. Ada yang istimewa?

Kehadiran seorang pimpinan lembaga intelijen seperti BG tentunya sangat menarik. Mengapa dalam dua kali pertemuan politik ini BG selalu hadir? Sementara, Jokowi sendiri tidak hadir saat pertemuan di kediaman Mega di Jl. Teuku Umar ini.

Memang, bersamaan dengan pertemuan Teuku Umar itu, Rabu (24/7/2019) Presiden Jokowi sedang menyambut kedatangan Putra Mahkota Abu Dhabi, Sheikh Mohamed Bin Zayed Al Nahyan di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang.

Padahal, sebelumnya santer diberitakan bahwa akan terjadi pertemuan segitiga yang dihadiri Jokowi-Megawati-Prabowo, menyusul pertemuan Stasiun MRT antara Jokowi-Prabowo yang juga dihadiri oleh BG yang dianggap “mewakili” Teuku Umar.

Pertemuan Jokowi-Prabowo di Stasiun MRT Lebak Bulus, Sabtu (13/7/2019), itu setidaknya membuat panik parpol Koalisi Jokowi, seperti Nasdem, Golkar, PKB, dan PPP, pasca paslon 01 Joko Widodo – Ma’ruf Amin menang gelaran Pilpres 2019.

Jika rekonsiliasi yang sebelumnya dilontarkan pihak Jokowi terealisasi, maka dikhawatirkan akan mengurangi “jatah” kursi dalam Kabinet Kerja II Jokowi-Ma’ruf maupun pimpinan di lembaga legislatif seperti MPR, DPR, maupun DPD mendatang.

Apalagi, syarat rekonsiliasi yang diajukan Prabowo tersebut harus mencerminkan prosentase perolehan suara 55% untuk Jokowi dan 54% Prabowo. Inilah yang membuat Ketum Nasdem Suryo Paloh akhirnya menggelar pertemuan Koalisi Jokowi.

Pertemuan digelar di kantor DPP Nasdem, Senin (22/7/2019). Melansir Tribunnews.com, dalam pertemuan itu, selain Surya Paloh sebagai tuan rumah, hadir Ketum Golkar Airlangga Hartarto, Ketum PKB Muhaimin Iskandar, dan Plt Ketum PPP Suharso Monoarfa.

SP menyebut Mega tidak ikut hadir, karena pertemuan tersebut berlangsung secara spontan tanpa diagendakan sebelumnya. “Ya memang kalau bisa hadir bersama bisa lebih baik. Tapi ini spontan saja kebetulan sedang kumpul di kantor Nasdem,” katanya.

Ia mengakui memang tak mengundang perwakilan PDIP untuk datang ke kantornya. Namun SP menyebut tiga ketum parpol yang datang juga tak diundang. “Memang yang datang tidak diundang. Itu semua spontan datang kebetulan sekali mereka adik-adik saya,” ujarnya.

Menurut SP, dalam pertemuan itu tak ada pembahasan spesifik. Masing-masing ketum parpol hanya saling bertukar pikiran terkait konsolidasi politik yang dilakukan pasca Pilpres 2019. Terkait pimpinan MPR, SP sepakat bahwa dalam paket yang diusung harus diisi oleh parpol koalisi Jokowi-Ma'ruf, bukan parpol oposisi.

Hal ini disampaikan SP menanggapi Gerindra yang juga mengincar kursi Ketua MPR. “Kursi MPR idealnya tetap paket partai pengusung pemerintahan Jokowi saat ini,” katanya. Namun, terkait siapa yang mendapat jatah Ketua MPR dan tiga Wakil Ketua MPR, belum diputuskan.

Seluruh parpol pengusung Jokowi-Ma'ruf harus membahasnya lebih lanjut. “Kalau masing masing mau jadi ketua ya susah,” kata bos Media Group ini, seperti dilansir Kompas.com, Senin (22/7/2019). Apa yang sebenarnya terjadi di balik itu semua?

Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komaruddin, jika ada yang khawatir dengan pertemuan Prabowo-Mega, Rabu (24/7/2019), itu bisa jadi partai-partai koalisi Jokowi-Ma'ruf.

Soalnya, pertemuan ini semakin membuka peluang Gerindra masuk ke dalam koalisi. “Jika Gerindra masuk koalisi, jatah menteri partai koalisi Jokowi bisa berkurang,” ungkap Ujang, seperti dikutip Tirto.id. 

Faktanya, jumlah partai yang mesti diakomodasi atau minimal diperhatikan Jokowi tahun ini lebih banyak. Pada Pilpres 2019 paslon nomor urut 01 ini didukung oleh 10 partai.

Sementara pada Pilpres 2014, Jokowi yang didampingi Jusuf Kalla hanya diusung koalisi ramping, yaitu: PDIP, PKB, Nasdem, Hanura, dan PKPI. Golkar, PPP, dan PAN baru bergabung belakangan.

Apalagi jika kursi menteri berbanding lurus dengan perolehan suara di pileg. Gerindra hanya kalah dari PDIP sebagai pemenang pileg. Gerindra mendapat suara 17,5 juta atau setara 12,57 persen total suara.

Kabarnya, Gerindra itu mengincar kursi Kementerian BUMN dan Pertanian. Dengan kondisi demikian, tak heran jika partai pendukung Jokowi menolak Gerindra bergabung masuk dalam Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf.

Penolakan atas Gerindra dan parpol seperti Demokrat-PAN telah disampaikan PKB, Golkar, Nasdem, dan PPP, empat partai pendukung Jokowi selain PDIP yang lolos ambang batas parlemen.

Keempat partai itu sudah berkali-kali meminta jatah menteri dari Jokowi, meski hingga kini  belum jelas siapa yang akan ditunjuk Presiden Jokowi. Muhaimin bilang, selayaknya PKB dapat jatah 10 menteri.

Sementara fungsionaris Nasdem Taufiqulhadi mengatakan, semestinya partainya dapat lebih banyak karena suara di pileg lebih besar. Golkar dan Nasdem pun serupa. Masing-masing dari mereka disebut-sebut meminta jatah empat dan dua kursi menteri.

Ketum empat partai ini, Muhaimin, Airlangga, SP, dan Suharso, saat bertemu menyatakan sikap bahwa koalisi tak perlu diperlebar. Kata Sekjen Nasdem Johnny G. Plate, empat ketum partai ini satu suara agar sebaiknya “koalisi yang ada diperkuat saja”.

Pernyataan Sekretaris Bidang Pendidikan dan Pelatihan DPP PDIP Eva Kusuma Sundari semakin menegaskan kalau pertemuan empat ketum partai itu sebagai bentuk perlawanan terhadap kecenderungan bergabungnya Gerindra.

Eva bilang, pertemuan itu hanya reaksi dari keresahan partai koalisi atas hak prerogatif presiden dalam memilih kabinet. “Mereka sudah tahu risiko atau konsekuensi dari hak prerogatif presiden,” katanya.

Selain menteri, kata Ujang, bergabungnya Gerindra juga menipiskan peluang pimpinan legislatif dipegang partai koalisi Jokowi. Gerindra terang-terangan mengincar kursi MPR. Nama Sekjen Gerindra Ahmad Muzani, dimunculkan sebagai kandidat.

Muzani dimajukan karena dia dianggap diterima semua fraksi. “Empat partai tersebut sedang 'mengunci' Gerindra, sebab kursi Ketua MPR bisa saja diperebutkan dengan partai itu,” ujar Ujang.

Dalam ayat (2) pasal 15 UU Nomor 2 Tahun 2018 atau UU MD3 disebutkan bahwa pimpinan MPR dipilih dari dan oleh anggota MPR dalam satu paket. Artinya, Gerindra memang bisa mendapat kursi itu setelah disetujui koalisi.

Sejauh ini Gerindra juga belum membuat pernyataan resmi soal posisinya di pemerintahan Jokowi. Anggota badan komunikasi Gerindra, Andre Rosiade, mengatakan semua akan diputuskan saat Rapat Kerja Nasional (Rakernas) September mendatang.

“Arah koalisi Gerindra akan diambil pada September dalam Rakernas. Di situlah sikap resmi Gerindra akan diambil,” ujar Andre pertengahan Juli lalu. Namun, jika menyimak pertemuan Prabowo-Mega di Teuku Umar, tampaknya membawa “pesan khusus”.

Setidaknya, selain ditujukan kepada empat parpol Koalisi Jokowi yang tidak dilibatkan dalam pertemuan Stasiun MRT Lebak Bulus maupun Teuku Umar, pesan khusus ini juga ditujukan pada Jokowi. Jika menolak rekonsiliasi, maka posisi Jokowi bisa rawan.

Bukan tidak mungkin, pertemuan Prabowo-Mega tersebut terjadi untuk antisipasi jika Jokowi dan parpol koalisinya menolak format rekonsiliasi yang diajukan oleh Prabowo. Taruhannya adalah Jokowi-Ma’ruf gagal dilantik sebagai Presiden-Wapres 2019-2024.

Menang pada Pilpres 2019, tapi tak otomatis bisa dilantik. Karena, sesuai pasal 6 UUD 1945 mengharuskan agar pemenang pilpres harus menang di 50% wilayah provinsi dan tidak boleh ada suara di wilayah provinsi yang di bawah 20 persen.

Versi KPU, paslon 02 Prabowo Subianto – Sandiaga Uno tidak menang secara nasional, tapi menang di 26 provinsi, dan tidak ada perolehan suara di bawah 20 persen. Dengan demikian maka Prabowo menang 2 point versi UUD 1945, Jokowi menang hanya 1 poin.

Solusinya: Pertama, MPR harus bersidang untuk melantik Prabowo, bukan melantik Jokowi. Kalau melantik Jokowi ini sama saja dengan melanggar UUD 1945. Lagi pula kalau Jokowi dilantik, maka ada 26 provinsi yang kecewa. Buah simalakama bukan?

Kedua, pemilihan ulang. Kalau pemilihan ulang rasanya tidak mungkin. Selain tak ada biaya, banyak rakyat tidak mau pilpres ulang karena mereka yakin bahwa pemenang pilpres adalah Prabowo-Sandi.

Maka, tidak ada alternatif lain kecuali MPR harus melantik Prabowo-Sandi sebagai Presiden dan Wapres RI 2019-2024.  Di sinilah Mega piawai dalam membaca strategi politik Prabowo  sejak “dikalahkan” oleh KPU yang dikuatkan oleh MK dan MA.

Sebaliknya, dengan format mengikuti hasil rekapitulasi KPU berdasar prosentase 55:54, telah membuat Koalisi Jokowi sedikit goyang. Apalagi, saat pertemuan Prabowo-Jokowi di Stasiun MRT Lebak Bulus hingga Teuku Umar, tidak melibatkan mereka.

Sebelumnya, Prabowo bersama Dewan Pembina disebut menyiapkan konsep terkait opsi soal ketahanan pangan dan ketahanan energi. Jika konsep itu diterima oleh pihak Presiden Jokowi, maka Gerindra bersedia masuk ke dalam koalisi parpol pendukung pemerintah.

Apabila tidak disetujui, Gerindra akan tetap menjadi oposisi. “Tapi sebaiknya menurut saya Mas Bowo ngomong sendiri saja sama Pak Jokowi. Sehingga yang namanya dialog itu sangat diperlukan,” kata Megawati, seperti dilansir Kompas.com, Rabu (24/7/2019).

“Semua keputusan nanti ada di presiden terpilih karena pada Beliaulah (Presiden Jokowi) hak prerogatif itu ada, bukan pada saya,” ucap Presiden kelima RI itu.

Tentunya termasuk format rekonsiliasi yang diajukan Prabowo?

Mengikuti Surya Paloh Cs atau Megawati!

***