Paradigma Covid-19 dan Kerancuan Nalar Antikorupsi

Jokowi memastikan tidak ada kebijakan pembebasan bersyarat terhadap narapidana korupsi di atas 60 tahun, namun polemik terlanjur meninggalkan jejak.

Selasa, 7 April 2020 | 19:04 WIB
0
359
Paradigma Covid-19 dan Kerancuan Nalar Antikorupsi
Yasonna Laoly dan Nazwa Shihab (Foto: Tribunnews.com)

Rencana Menteri Hukum dan HAM memberi remisi, asimilasi serta bebas bersyarat bagi narapidana korupsi yang telah menjalani 2/3 masa tahanan dengan tambahan syarat antara lain telah berusia di atas 60 tahun melalui revisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 99 Tahun 2012 beberapa hari lalu menuai polemik panas.

ICW sebagai lembaga yang berada di garda terdepan dalam melakukan pengawasan, riset serta advokasi terhadap kebijakan pemberantasan korupsi menolak keras usulan Menteri Yasonna Laoly. Menurut ICW revisi PP 99/2012 tidak memiliki relevansi dengan pencegahan penularan corona bahkan meniadakan efek jera terhadap para pelaku tindak pidana korupsi.

Di publik isu ini digoreng sedemikian rupa dan dikaitkan dengan kepentingan membebaskan orang-orang tertentu yang dianggap dekat dengan kekuasaan. Nama-nama seperti Setya Novanto, Otto Cornelius Kaligis diseret dan dijadikan senjata untuk menyerang pemerintah yang dituduh memiliki agenda terselubung dibalik rencana pembebasan tersebut. ICW lantas merilis 22 nama narapidana korupsi yang berpeluang bebas dari penjara jika revisi PP Nomor 99 Tahun 2012 diberlakukan.

Apa yang dimaksud ICW dengan revisi PP No.99 tahun 2012 tidak memiliki relevansi dengan pembebasan bersyarat terkesan asal comot. ICW seharusnya bisa membangun argumentasi yang lebih rasional dengan menjelaskan secara detail disertai data yang valid mengenai tidak adanya kaitan signifikan antara pembebasan bersyarat narapidana korupsi dengan kondisi darurat COVID-19.

Sementara dengan merujuk kondisi overkapasitas di seluruh LAPAS di 34 propinsi mencapai 200%, pemerintah menganggap revisi pelaksanaan PP 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar( PSBB) merupakan keniscayaan demi menghindari penyebarang dan korban yang lebih besar.

Baca Juga: Yasonna Mau Bebaskan Siapa?

Di status facebook-nya yang diunggah 2 April pukul 18:59, 2020, Prof. Romli Atmasasmita mengomentari rencana pemerintah yang dianggap sejalan dengan Deklarasi WHO tentang Social Distancing Pandemic Corona serta perlindungan hak-hak narapidana berdasarkan standar minimun rules (SMR) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1955.

Bagi Guru Besar Hukum di Universitas Padjadjaran yang juga salah seorang arsitek pendirian KPK mengingatkan, "Jika pemerintah dan Menteri Hukum dan HAM tidak mengambil sikap sehingga terjadi penularan secara massif seluruh LAPAS di 34 propinsi pasti yang diminta pertanggungjawaban adalah presiden sebagai kepala pemerintahan".

Ada baiknya Yasonna Laoly merespon tantangan Najwa Shihab dan para pegiat anti korupsi untuk membuka data jumlah narapidana korupsi yang saat ini sedang menjalani hukuman di LAPAS. Berapa persentase sebenarnya mereka yang dikategorikan sebagai koruptor kakap sekelas Novanto yang prosesnya ditangani KPK dibanding petty corruption yang proses penyidikannya ditangan polisi dan kejaksaan.

Penting juga publik ketahui berapa persen diantara narapidana korupsi yang menjalani hukuman di Sukamiskin, tempat yang sering disebut surga bagi para koruptor sehingga dinggap aman dibanding mereka yang mendiami LAPAS lain yang tersebar di seluruh Indonesia.

Menurut penjelasan Ditjen Pemasyarakatan tercatat ada 90 orang narapidana kasus korupsi yang telah berusia lanjut. Setelah dikurangi dengan napi yang telah menjalani 2/3 masa pidananya per 31 Desember 2020, jumlahnya tinggal 64 orang. Dari 64 nama tersebut, menurut klaim Yasonna, tinggal nama OC Kaligis dan mantan Menteri ESDM Jero Wacik yang menjadi perhatian. Nama Setya Novanto serta nama lain yang ada dalam rilis ICW tidak termasuk dalam daftar pembebasan bersyarat.

Sementara nama ST Fadilah Supari (71 tahun) mantan Menteri Kesehatan yang dianggap korban konspirasi jahat terkait vaksin flu burung diminta segera dibebaskan oleh presiden lewat petisi yang digalang publik, halnya beberapa narapidana korupsi yang diseret hanya karena jabatannya bersifat ex-officio sehingga ikut memikul tanggung-jawab meskipun tidak pernah punya niat dan tidak pula menikmati hasil korupsi yang jumlahnya memang tidak banyak, seharusnya ikut diuntungkan oleh kebijakan ini. Fakta ini sekaligus membantah tuduhan ICW mengenai agenda terselubung pemerintah menyelamatkan orang-orang tertentu.

Sebaliknya agenda pembebasan bersyarat kementerian Hukum dan HAM membuktikan kalau kebijakan yang diambil semata-mata karena pertimbangan kondisi darurat untuk mencegah penyebaran serta kematian akibat COVID-19. Bagaimana misalnya jika kebijakan ini tidak diambil lantas narapidana korupsi dengan usia di atas 60 tahun yang secara medis rentan ternyata kemudian terbukti terpapar karena kondisi serta iklim LAPAS yang tidak layak? siapa yang bertanggung-jawab secara moral maupun hukum?

Baca Juga: Gara-gara Corona Jadi Tahu Siapa Saja yang Bisa di Bebaskan Yasonna

11 Maret 2020, World Health Organization (WHO) secara resmi menetapkan Coronavirus Disease 2019 (COVID-19/SARS-CoV-2) sebagai Pandemi. Artinya WHO telah meyakini bahwa Covid-19 merupakan sebuah epidemi yang telah menyebar ke beberapa wilayah, negara hingga benua, dan umumnya menjangkit banyak orang di lingkup penyebarannya. Problemnya kemudian, apakah regulasi mengenai kedaruratan yang dimiliki setiap negara cukup memadai mengingat konsep kedaruratan menyangkut pandemi yang dikenal dalam UU Kekarantinaan misalnya dirumuskan dalam situasi normal.

Pandemi COVID-19 jauh lebih kompleks dari apa yang pernah dibayangkan oleh mereka yang merumuskan regulasi mengenai kedaruratan di masa normal. Memaksa menyesuaikan aturan yang ada tanpa mempertimbangkan situasi maha dahsyat akibat pandemi COVID-19 membuat hukum bak manula yang terseok-seok mengikuti laju pergerakan wabah. Di tengah pembatasan hak asasi yang sifatnya tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable) seperti larangan melaksanakan ibadah dengan cara berkumpul demi mengerem laju penyebaran virus, ICW masih bicara paradigma efek jera yang lumutan.

Pemerintah sepertinya tidak ingin memperpanjang masalah dan memilih menutup polemik. Jokowi memastikan tidak ada kebijakan pembebasan bersyarat terhadap narapidana korupsi di atas 60 tahun, namun polemik terlanjur meninggalkan jejak. Semoga saja LAPAS tetap aman sehingga polemik hari ini tidak berbuntut panjang dan membuat kita saling berlomba cuci tangan justru di saat wabah mereda. Setidaknya dengan dikeluarkannya 5.556 narapidana lewat pembebasan bersyarat potensi munculya cluster baru (LAPAS) dalam penyebaran virus bisa diminimalisir.

***