Mengapa Pasal Penghinaan Presiden Masuk Delik Aduan,Sedangkan Tokoh Agama Tidak?

Tempo lebih takut ormas dibanding takut pada pejabat. Tempo berani membuat hidung presiden memanjang, tapi tidak berani membuat tokoh agama hidungnya memanjang.

Rabu, 2 Oktober 2019 | 20:22 WIB
0
550
Mengapa Pasal Penghinaan Presiden Masuk Delik Aduan,Sedangkan Tokoh Agama Tidak?
Pra Presiden RI (Foto: otakcerdasblog.blogspot.com)

Dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) ada pasal penghinaan yaitu meyerang kehormatan atau harkat dan martabat  diri kepada presiden dan wakil presiden bisa dipidana atau dihukum.

Pasal ini dianggap kontroversial karena mengekang kebebasan berpendapat atau ekspresi. Dan yang paling getol menolak pasal ini yaitu aktivis dan kalangan pers. Kenapa? Karena bisa jadi pasal penghinaan kepada presiden dan wakil presiden akan mengganggu kepentingan mereka. Makanya menolak keras pasal ini.

Pada dasarnya setiap insan atau manusia yang punya rasa dan akal sehat, tidak mau dirinya direndahkan harkat dan martabatnya, baik dalam bentuk hinaan atau celaan. Makanya ada masyarakat yang sering melaporkan ke kepolisian karena dirinya merasa dihina atau fitnah dangan pasal perbuatan tidak menyenangkan.

Masyarakat biasa yang tidak punya pangkat dan jabatan saja boleh melaporkan kepada polisi kalau nama baiknya dicermarkan. Masak presiden dan wakil presiden tidak boleh.

Apalagi seorang presiden dan wakil presiden yang mempunyai previllige atau keistimewaan tersendiri.

Bukankah insan pers atau aktivis secara pribadi kalau dihina dan dicela atau direndahkan harkat dan martabatnya di depan umum-sebagai manusia biasa-akan marah dan tersinggung. Tapi yaaa... bagitulah aktivis dan insan pers, bebas mengkritik tapi kalau dikritik tidak mau atau marah. Lihat saja diakunnya-ada yang menyuarakan kebebasan tapi ketika dikritik dikolom komentar langsung main blokir, sekalipun itu hak mereka.

Kembali ke pasal penghinaan kepada presiden dan wakil presiden.

Pasal ini tidak melarang masyarakat untuk mengkritik atau mengkritisi pemerintah atau presiden terkait kebijakan yang diambil.

Tetapi yang dimaksud penghinaan mungkin seperti memaki-maki dengan kata-kata binatang, mengganti fisik kepala negara dengan kepala binatang atau yang sifatnya merendahkan diri presiden dan wakil presiden.

Bagaiman perasaanmu kalau diri kamu sendiri dimaki-maki dan fisik kamu diganti dengan fisik binatang?Pasti marah dan tidak terima.

Pasal penghinaan kepada presiden dan wakil presiden masuk dalam delik aduan. Artinya kalau presiden dan wakil presiden merasa harkat dan martabatnya direndahkan atau merasa dirugikan, maka yang bersangkutan harus mengadu kepada polisi.

Menurut opini pripadi ini, kalau pasal penghinaan masuk dalam delik aduan-agak gimana gitu. Sebab presiden dan wakil presiden mendapat previllege atau keistimewaan tersendiri. Masyarakat mau mendekat atau menjabat tangan presiden saja tidak sembarangan dan harus melalui aturan atau protokoler.


Pasal penghinaan terhadap Presiden (Sumber: koranindigo.online)

Kalau masuk delik aduan-nanti masyarakat akan menuduh presiden dan wakil presiden tega mempidanakan atau memenjarakan masyarakat atau rakyatnya sendiri. Seperti sudah tidak ada pekerjaan yang lebih penting. Atau presiden dan wakil presiden kurang kerjaan karena mempidanakan rakyatnya sendiri.Serba salah.

Tapi di masyarakat kita ada fenomena aneh dan lucu  di era media sosial ini.

Ada seorang warga masyarakat yang didatangi oleh ormas agama tertentu untuk meminta maaf karena bermomentar dalam media sosial yang dianggap merendahkan tokoh agama panutan mereka. Mereka melakukan persekusi tersebut sambil membawa peralatan, yaitu materai, kertas HVS dan bolpoint untuk memaksa membuat surat pernyataan memintan maaf. Kadang warga masyarakat tersebut dihadirkan kepada tokoh yang sangat dihormati tersebut untuk meminta maaf.

Apakah tokoh agama mempunyai "hak privillege" atau keistimewaan tersendiri-seperti "privillege" seorang presiden dan wakil presiden?

Mengapa tokoh agama yang tidak mengadu atau delik aduan-tapi ormasnya bisa melakukan persekusi kepada masyarakat yang dianggap merendahkan harkat dan martabatnya?

Mengapa pasal penghinaan presiden dan wakil presiden harus masuk pasal delik aduan kalau harkat dan martabatnya merasa direndahkan? Sedangkan tokoh agama tidak begitu. Ormasnya malah lebih sigap dengan bekal: meterai, kertas dan bolpoint.

Masyarakat kita memang kadang lucu dan aneh. Presiden dan wakil presiden masuk pasal delik aduan.

Bahkan pernah, ormas bersorban mendatangi Tempo karena dianggap merendahkan sang Imam Besar. Makanya Tempo lebih takut ormas dibanding takut pada pejabat. Tempo berani membuat hidung presiden memanjang, tapi tidak berani membuat tokoh agama hidungnya memanjang.

***