Apapun negara, agama atau rasmu, nyatanya kita hidup mengirup udara yang sama. Memandang langit yang sama. Dan kini memerangi virus yang sama.
Warga di Wuhan, China, kemarin sedikit bergembira. Mereka menyanyikan lagu kebangsaan Tiongkok. Hari itu tidak ada ditemukan kasus baru di Wuhan.
Sementara di AS, dalam sehari kemarin, ditemukan 5.894 kasus baru. Kenaikannya sampai 76%. Jauh lebih tinggi dibanding Italia yang hanya naik 15%. Memang secara total jumlah orang yang positif Corona di Italia saat ini mencapai 41.000 lebih. Sementara total di AS 13.000-an.
Dengan kondisi itu, kepanikan melanda AS. Warga di sana berburu semua isi supermarket. Pemerintahan Trump rupanya tidak siap menghadapi wabah yang melanda.
Sebetulnya bukan hanya Trump. Semua pemerintahan di dunia tidak ada yang siap menghadapi gelombang mengagetkan ini. Tapi ketika ketidaksiapan ditunjukan AS yang selama ini dikenal sangat garang dan jagoan dunia, kita jadi terkejut.
AS sendiri kabarnya kini sedang mencari bantuan ke beberapa negara lain. Alat pelindung kesehatan untuk petugas medisnya kekuarangan. Bangsal RS yang bisa ditampati pasien ternyata tidak mencukupi.
Bahkan masker juga hilang di pasaran AS. Selama ini AS mengandalkan masker dari impor negara lain. Nah, ketika negara produsen juga sedang membutuhkan, mereka menahan ekspor ke negara lain.
Indonesia, misalnya. Kementerian Perdagangan telah melarang produsen kesehatan untuk meskpor produknya ke luar negeri. Khususnya yang berkenaan dengan perangkat yang dibutuhkan untuk memerangi Corona.
AS yang makin gamang. Sementara China mulai menunjukan giginya. Mereka mengirimkan bantun ke negara-negara yang berteriak meminta tolong. Alat dan tenaga medis dari China, kini sedang sibuk di Iran, Irak, Perancis sampai Italia. Mereka juga menawarkan bantuan ke pemerintahan Indonesia.
Sementara AS, meski butuh, kayaknya gengsi meminta bantuan dari China. Makanya Trump harus mengeluarkan semua jurusnya sendiri untuk memerangi Corona ini.
Tapi toh, ia terpaksa harus menghubungi negara lain untuk meminta bantuan. Tentu saja belum tentu bisa. Masalahnya Eropa juga sedang babak belur. Indonesia juga sedang mempersiapkan diri lebih serius.
Nah, AS sedang kalut sekarang. Infrastrukturnya belum tentu sanggup menghandle serbuan virus ini.
AS boleh saja punya film hebat tentang bagaimana mereka memerangi wabah dunia. Kayak film Outbreak atau Contagion itu. Tapi, yang sekarang terjadi adalah real. Bukan dalam kisah film. Di alam nyata, nyawa dan kepentingan manusia yang real sedang dipertaruhkan.
Kondisi ini mengingatkan kita pada pidato Presiden Jokowi beberapa waktu lalu dalam pertemuan IMF di Bali. "Winter is comming," begitu katanya. Jokowi saat itu menyerukan pada semua kekuatan dunia untuk bekerjasama. Tidak lagi sibuk dengan perang dagang yang konyol dan merugikan.
Dunia buruh kerjasama. Kita tidak bisa hidup sendiri untuk menguasainya. Dalam perspektif ekonomi sudah dibuktikan, kerjasama jauh lebih menguntungkan ketimbang saling mematikan. Kita harus mengganti makna kompetisi dengan kooperasi.
Kerjasama hanya butuh sedikit energi dibanding kompetisi. Dengan manfaat dan keuntungan yang sangat besar. Kerjasama apabila dilakukan dengan posisi seimbang akan saling memberikan manfaat. Sedangkan kompetisi yang kelewat batas justru akan saling menghancurkan.
Tampaknya wabah Corona ini bisa menjadi pelajaran penting para petinggi negara adidaya. Tidak ada gunanya lagi sok-sokan menguasai dunia dengan gaya penantang petenteng. Sehebat apapun sebuah negara, ia tetap butuh uluran tangan negara lain. Kesombongan tidak lagi punya tempat di dunia yang egaliter ini.
Apapun negara, agama atau rasmu, nyatanya kita hidup mengirup udara yang sama. Memandang langit yang sama. Dan kini memerangi virus yang sama.
"Cuma nasibnya saja yang masih beda, mas," ujar Abu Kumkum.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews