Tragedi Torrey Canyon [3] Reaksi Internasional, Peringatan bagi Indonesia

Tumpahan minyak berskala besar yang diakibatkan kecelakaan pada kapal tanker berukuran besar, bisa terjadi di wilayah perairan Indonesia.

Sabtu, 27 Juli 2019 | 23:40 WIB
0
1017
Tragedi Torrey Canyon [3] Reaksi Internasional, Peringatan bagi Indonesia
Tanker Torrey Canyon (Foto: nlife.ca)

Pasca tragedi Torrey Canyon, secara resmi International Maritime Organization (IMO) menerbitkan sejumlah peraturan tambahan, khususnya yang terkait dengan teknis dan operasional perkapalan. Sebagai regulator maritim internasional di bawah PBB, IMO merilis peraturan yang disebut Annex.

Annex ini mengacu pada MARPOL 73/78, yaitu konvensi internasional tentang lingkungan hidup untuk wilayah maritim. MARPOL, akronim dari Maritime Pollution, dideklarasikan pada 17 February 1973 dan direvisi pada tahun 1978 menjadi Protocol of 1978. Sehingga, di belakang kata MARPOL, ada embel-embel 73/78. 

Hingga kini, IMO telah merilis enam peraturan atau Annex. Annex I diterbitkan pada 1983, tentang pencemaran laut oleh minyak dan cairan yang mengandung minyak yang berasal dari kapal. Annex II dikeluarkan pada 1987 tentang pencemaran laut karena bahan-bahan cair berbahaya yang berasal dari kapal.

Annex III pada tahun 1992 tentang pencemaran laut dari bahan-bahan berbahaya padat yang berasal dari kapal. Annex IV tahun 2003 tentang pencemaran laut dari kotoran manusia dan kotoran lainnya. Annex V tahun 1988 tentang pencemaran laut dari sampah yang dibuang dari kapal. Annex VI 2005 tentang polusi udara yang berasal dari kapal. 

Selanjutnya, pada konvensi tahun 1983, melalui Maritime Pollution (MARPOL), IMO mengeluarkan peraturan yang menyebutkan, kapal tanker yang selesai dibangun pada tahun 1996 dan sesudahnya, harus menggunakan double hull atau lapis ganda. 

Peraturan itu dimaksudkan untuk meminimalisir risiko jika kapal tanker pengangkut minyak menabrak karang atau benda lainnya yang berada di bawah permukaan laut. Peraturan itu disempurnakan pada tahun 1992, dimana tanker-tanker dengan bobot 5.000 dwt atau lebih yang dipesan setelah 6 Juli 1993, harus menggunakan double hull. Hal itu mengacu pada regulasi nomor 19 Annex I. Ketentuan tambahan, tanker-tanker yang telah berusia 30 tahun atau lebih, harus dikonversi menjadi double hull. 

Menyusul kecelakaan yang menimpa tanker Erika di lepas pantai Perancis pada Desember 1999, IMO menerapkan peraturan yang lebih ketat terhadap tanker-tanker single hull. Desember 2003 keluar peraturan, mulai 5 April 2005 kapal tanker single hull dengan bobot 5.000 dwt atau lebih, tidak lagi diizinkan mengangkut heavy grade oil (HGO). Sementara tanker single hull berbobot 600 -5.000 dwt, batas waktunya adalah 1 Januari 2008. 

Meskipun ketentuan-ketentuan itu sudah lama diberlakukan, namun di beberapa negara anggota IMO belum sepenuhnya diterapkan, termasuk di Indonesia. Terutama kapal-kapal yang berusia lebih dari 20 tahun atau lebih, masih banyak yang single hull. Namun begitu tetap digunakan, mengingat tingginya kebutuhan akan tanker untuk memasok bahan bakar ke pulau-pulau yang sangat banyak tersebar. 

Pada operasionalnya IMO lebih menekankan komitmen kepada negara-negara anggotanya terkait keamanan dan keselamatan wilayah maritim. Sementara tindakan di lapangan jika terjadi kecelakaan maritim, penangananannya dilakukan oleh pusat penanggulangan tumpahan minyak, baik yang merupakan lembaga negara maupun swasta.

Di sisi lain, karena anggotanya negara, peraturan dan ketentuan yang dikeluarkan oleh IMO menjadi mengikat dan memiliki kekuatan hukum yang lebih kuat. Sehingga, perangkat peraturan yang dikeluarkan oleh IMO, menjadi rujukan berbagai pihak yang berkepentingan dan berkompeten dalam penanganan oil spill. 

Khusus menyangkut kesiapan dan mekanisme penanggulangan kasus-kasus pencemaran lingkungan oleh zat-zat berbahaya dan beracun, IMO memiliki dua instrumen (yuridis), yaitu The International Convention on Oil Pollution Preparedness, Response and Co-operation 1990 (OPRC 90) dan The Protocol on Preparedness, Response and Co-operation to Pollution Incidents by Hazardous and Noxious Substances, 2000 (OPRC-HNS Protocol) . 

OPRC 90 adalah sebuah konvensi internasional yang menyiapkan rancangan untuk memfasilitasi kerja sama internasional serta asistensi dalam persiapan penanganan tumpahan minyak dalam skala besar. Konvensi ini juga mewajibkan negara anggota yang meratifikasinya, untuk membuat perencanaan dan membangun kesiapan melalui pengembangan sistem nasional dalam penanganan kasus pencemaran lingkungan. 

Pada tahun 2000 IMO juga melansir The Protocol on Preparedness, Response and Co-operation to Pollution Incidents by Hazardous and Noxious Substances, 2000 (OPRC-HNS Protocol). Dibandingkan dengan OPRC 90, instrumen ini memiliki tambahan kerangka peraturan menyangkut pencemaran lingkungan oleh zat-zat berbahaya dan beracun (HNS), seperti zat kimia. 

Baca Juga: Tragedi Torrey Canyon [1] Kegelisahan Rugiati Tersangkut di Karang Ketujuh

Negara-negara anggota IMO yang meratifikasi OPRC 90 and OPRC-HNS Protocol harus memiliki sistem penanganan atas pencemaran minyak dan zat-zat berbahaya dan beracun, dengan kewenangan meliputi seluruh wilayah negara, pangkalan operasi dan kesiagaan nasional. Ini diperlukan guna mengatasi pencemaran dengan peralatan dan waktu seminim mungkin. 

OPRC 90 maupun OPRC-HNS Protocol mendorong kerjasama di antara negara anggotanya untuk meningkatkan kemampuan, ketika diperlukan. OPRC 90 maupun OPRC-HNS Protocol juga menyiapkan tata cara bagaimana satu negara anggota meminta bantuan kepada negara anggota lain dalam penanganan kasus pencemaran berskala besar. 

Tragedi Torrey Canyon juga menstimulus kalangan produsen peralatan tumpahan minyak (PPTM) untuk menciptakan produk yang lebih modern dan efektif dalam menanggulangi tumpahan minyak.

Tentu saja, pabrikan-pabrikan besar PPTM dunia, berlomba menghasilkan inovasi pada produk-produknya. Mereka mengandalkan divisi Research and Development. 

Seiring dengan kemajuan teknologi, khususnya information technology, bukan hanya peralatan baru yang digunakan secara mekanik, tapi juga berupa software program untuk mengetahui karakteristik satu wilayah perairan, namanya Trajectory Models. Sehinga jika terjadi tumpahan minyak di wilayah tersebut, maka penanggulangannya bisa lebih efisien dan efektif, serta kerusakan lingkungan hidup bisa ditekan hingga seminimal mungkin.

Selain itu, kasus Torrey Canyon juga telah memicu bermunculannya pusat penanggulangan tumpahan minyak.

Peringatan bagi Indonesia 

Tumpahan minyak berskala besar yang diakibatkan kecelakaan pada kapal tanker berukuran besar, bisa terjadi di wilayah perairan Indonesia. Dua wilayah Indonesia yang memiliki potensi untuk terjadinya tumpahan minyak dalam skala besar karena insiden lalulintas pelayaran adalah Selat Malaka dan Selat Lombok. Kedua selat tersebut, banyak dilalui kapal-kapal tanker raksasa yang lalu-lalang dari Asia Timur ke Timur Tengah atau sebaliknya. 

Khususnya di Selat Malaka, jumlah kapal yang lewat setiap hari tidak kurang dari 300, termasuk kapal tanker. Di Selat Malaka, di antara Pulau Takong dan Pulau Pemping yang keduanya masuk wilayah Indonesia, terdapat beberapa bagian laut yang cukup dangkal. Sehingga kapal-kapal besar yang melalui area itu harus sangat hati-hati karena bagian yang cukup dalam relatif sempit.

Artinya, perairan itu memiliki risiko cukup tinggi untuk terjadinya tabrakan kapal, atau kapal tersangkut karang. Tentu saja untuk memastikan pelayaran di daerah sempit itu bisa berlangsung aman, merupakan tanggung jawab lembaga-lembaga kelautan Indonesia. 

Tahun 2010, kapal tanker kelas AFRAMax milik Malaysia, MT Bunga Kelana 3 bertabrakan dengan kapal ikan MV Wally di Selat Malaka. Akibat kejadian itu, minyak sebanyak 5.000 ton tumpah ke laut. Meskipun terjadi di wilayah perairan Singapura, minyak yang tumpah sampai juga ke perairan dan pantai Indonesia.

Pertanyaan besar terkait padatnya lalulintas laut di Selat Malaka, ‘apakah pelabuhan-pelabuhan yang ada di sekitar Selat Malaka memiliki kesiapan, peralatan dan sumber daya manusia yang memadai jika sewaktu-waktu terjadi tumpahan minyak berskala besar di sana?’ Semua tidak akan tahun kapan insiden tumpahan minyak akan terjadi, semua orang juga tidak menginginkannya.

Tapi, setidaknya Pemerintah Indonesia mempunyai kemampuan untuk memastikan persyaratan itu bisa terpenuhi. Jika tidak, setiap saat bisa saja terlambat, dan risiko yang harus ditanggung adalah kerusakan lingkungan hidup perairan yang tak ternilai. 

Padatnya lalu lintas pelayaran di Selat Malaka, membuat banyak perusahaan tanker atau kapal cargo mengalihkan rutenya melalui Selat Lombok. Selat ini relatif lebih lebar dan tidak ramai. Namun demikian, pemerintah tidak boleh mengabaikan kemungkinan terjadinya insiden laut di sana. Apalagi selat itu diapit oleh dua pulau andalan pariwisata Indonesia.

(Selesai)

***

Tulisan sebelumnya: Tragedi Torrey Canyon [2] Tanker Minyak Raksasa Itu Kandas Terbelah Tiga