Pengalaman Saya...

Dalam konteks inilah saya pikir aporisma yang ditinggalkan Ibnu Sina dapatlah menjadi panasea paling mujarab menghadapi pandemik ini.

Sabtu, 4 April 2020 | 08:07 WIB
0
468
Pengalaman Saya...
Penanganan virus corona di jerman (Foto: Detik.com)

Seberapa tenang saya menghadapi pandemik Corona ini? Bagi saya pribadi yang penting tidak meremehkan, karena sikap ini bisa berbalik menyerang. Dengan apa yang disebut sikap sembrono, abai, atau kehilangan kewaspadaan. Namun menganggapnya terlalu berlebihan juga tidak.

Dalam hal ini patokan saya adalah sikap resmi Dr. Terawan, orang yang bukan sekedar Menkes RI. Tapi saya pikir adalah figur yang tidak sekedar punya otoritas, tapi terutama kapabilitas dan integritas. Bahwa Covid-19 adalah sebagaimana virus biasa, ia bisa sembuh dengan sendirinya. Tentu dengan sejumlah catatan: tubuh punya imunitas cukup, gaya hidup sehat, dan sikap respek terhadap sesama (baca: orang lain).

Namun sebagai orangtua, yang memiliki dua anak yang bersekolah jauh dari tanah air. Yang tidak sekedar kuliah, tapi juga bekerja dan sejumlah kegiatan ekstra yang menggunakan bahasa mereka: "24 jam sehari itu terasa tidak pernah cukup". Tentu saya harus merasa khawatir. Dan peristiwa itu pun, akhirnya menghampiri.

Anak pertama saya, Ayodya Bhagaskara Setiono yang tinggal di Hamburg. Ia memang sudah tinggal menyelesaikan akhir masa kuliahnya, jadi beban akademisnya tak lagi berat. Kenapa tak kunjung lulus? Jawabannya: agak aneh di usia segini, sudah lulus kuliah di Jerman? Di sini katanya, usia 27 adalah angka rata-rata. Terlalu cepat tidak baik. Pret, bapakmu selak pengen putu le...

Saya tentu tidak khawatir, karena di luar dia sudah cukup tobat dan terhukum dari kebiasaan "ngebir"-nya. Juga gaya hidupnya saat ini, tiba-tiba jadi terlalu sehat. Nge-gym tak pernah lewat, jadi badannya mirip-mirip Hulk kata adiknya. Juga makannya lebih banyak nyayur sendiri di rumah....

Nah, di anak kedua ini yang saya agak khawatir. Di luar, suka avonturir dan menantang bahaya. Ia juga masih di setengah perjalanan masa kuliah. Ndilalah, dia juga bekerja di sebuah restoran siap saji ala Italia di Stasiun Utama Berlin. Tidak terbayangkan betapa ramai dan hirup pikuknya. Area yang sangat potensial menjadi ajang pertukaran penyakit.

Dan bom itu terjadilah...

Dia, Adhyatma Brahmantyadaru Setiono tiba-tiba dalam satu dini hari mentelpon saya. Singkat saja: "Saya sakit, Pak". Mak deg!

Tapi saya mencoba tetap tenang, memangnya saya punya pilihan apa? Beberapa hari kemudian, ketika dalam perjalanan ke tempat kerjanya. Ia mengabari bahwa "restoran" tempat bekerjanya harus tutup untuk satu jangka waktu tertentu. Saya pikir, ini semacam "blessing in disguise". Berkah terselubung bahwa ia bisa lebih banyak istirahat di rumah.

Baca Juga: Virus Corona di Turki

Saya tanya perkembangan sakitnya: ia hanya bilang, bahwa dilarang ke rumah sakit. Disuruh tetap tinggal di rumah. Cuma diminta tetap istirahat, makan yang bergizi, dan olahraga yang cukup. Jadi komunikasi dan konsultasi sakitnya, hanya melalui sambungan seluler tanpa pernah bertatap muka.

Dia dianggap "cukup berobat di rumah", karena faktor usia, tingkat keparahan, dan barangkali daya tampung rumah sakit dan sumberdaya yang memang lebih pantas difokuskan pada yang lebih tua dan menderita. Di Jerman, nyaris tak ada gejolak yang berarti dengan fenomena "diskriminatif" seperti itu. Sekalipun hal tersebut bukan berarti menyepelekan yang terjangkit maupun yang jadi korban.

Pemerintah dan masyarakat-nya secara umum, tampak tetap tenang, dan tidak terlalu mempermasalahkan kesiapan ini-itu. Walau pun tetap ada yang lebay, tapi secara rerata tetap cool dan bisa diatur. Yang di banyak negeri lain, termasuk negara ini, didramatisir sedemikian rupa yang ujung-ujungnya menjadi sensasi-sensasi politik dan mencari panggung belaka.

Hingga dua minggu kemudian, pusing, demam, dan gejala flu-nya mulai sembuh. Dan hanya tersisa batuk-batuknya saja. Imunitas tubuhnya sudah berhasil menyembuhkan tubuhnya sendiri. Dijadualkan tanggal 12 April besok, ia diundang ke klinik terdekat untuk dilakukan rapid test. Untuk apa? Hanya sekedar memastikan bahwa apakah ia masih berpotensi sebagai carrier atau spreader atau tidak.

Jangan lupa justru di tubuh orang yang sudah sehat itu, virus memang tak lagi berkutik. Tapi ia masih tetap hidup dan berpotensi cari inang yang baru. Dengan cara apa? Ya melalui batuknya itu. Hal ini menjelaskan kenapa kebutuhan masker itu memang lebih untuk orang sakit daripada orang yang sehat. Lalu kalau iya masih ada? Ia diminta tetap tinggal di rumah.

Sesederhana itu? Ya! Sesederhana itu.....

Saya membayangkan, mungkin ratusan ribu bahkan jutaan orang di Jerman, juga seluruh Eropa bahkan dunia juga mengalami hal serupa dengan dirinya. Terpapar Covid-19, atau bisa jadi berbagai jenis virus lainnya. Hanya reaksi menghadapinya juga menjadi sangat berbeda.

Alasan inilah kenapa saya sangat percaya pada tesis Dr. Terawan. Kita tidak akan pernah tahu sebersih apa atau sekebal bagaimana? Ataukah sebenarnya kita telah terpapar, atau sudah sembuh, kemudian malah tanpa sadar justru jadi carrier baru. Kita tidak tahu....

Dalam konteks inilah saya pikir aporisma yang ditinggalkan Ibnu Sina dapatlah menjadi panasea paling mujarab menghadapi pandemik ini.

"Kepanikan adalah setengah penyakit, Ketenangan adalah setengah obat, dan Kesabaran adalah setengah dari kesembuhan".

***