Mengapa Jokowi Harus Bercermin kepada Politik India dan Perancis?

Dituntut kemampuan memahami secara empatik dan emosional kebutuhan, keinginan dan cita-cita masyarakat pemilih, bukan hanya memahami secara rasional-stastistik.

Minggu, 12 Mei 2019 | 22:08 WIB
0
577
Mengapa Jokowi Harus Bercermin kepada Politik India dan Perancis?
Macron dan Modi (Foto: IBTimes India)

Indonesia perlu belajar dari peristiwa politik terbaru India. Kekalahan partai pemerintah, BJP, di negara bagian Hindi Madhya Pradesh, Rajasthan, dan Chhattisgarh, benar-benar menjadi pukulan telak bagi rezim Modi karena ketiga negara bagian tersebut adalah benteng pertahanan utama Partai BJP.

Hasil pemilu tersebut adalah cerminan peningkatan kekecewaan atas kinerja partai BPJ, baik di New Delhi maupun di daerah-daerah yang menjadi basis kekuasaannya.

Sebaliknya, kondisi tersebut pun menunjukkan semakin moncernya citra Partai Kongres sebagai partai alternatif yang kredibel dan siap menggantikan Partai BJP di pemerintahan India.

Dari beberapa analisis yang muncul, kegagalan di bidang ekonomi adalah biang keladi utama penyebab kekecewaan publik India, yang mana juga layak dijadikan bahan introspeksi dan refleksi oleh Joko Widodo dan koalisi politiknya.

Beberapa alasan tersebut antara lain kebijakan Narendra Modi yang mengabaikan sektor pertanian, padahal 60 persen penduduk India bergantung pada sektor tersebut sebagai sumber penghasilan utamanya.

Seringnya gagal panen, skema asuransi hasil pertanian yang lebih berpihak kepada perusahaan asuransi dibanding kepada petani, kurangnya perhatian pada irigasi, masalah kredit, harga hasil pertanian, hingga masalah input, telah menyebabkan peningkatan tertinggi jumlah petani yang bunuh diri di India.

Dengan kata lain, tekanan beban hidup yang tinggi di daerah perdesaan semakin berat, hampir sama dengan kondisi di negara kita di mana inflasi di desa acap kali lebih tinggi dari tingkat inflasi di perkotaan.

Baca Juga: Ketika Perancis Benar-benar Juara, Jadilah Jokowi Dua Periode

Oleh karena itu, di India, pemerintah di tingkat pusat maupun daerah menjadi target pelampiasan kekecewaan tersebut.

Tepat sebelum pemilu di tiga wilayah tersebut, ribuan petani turun ke jalan di New Delhi meminta agar pemerintah bertindak riil untuk meringankan beban hidup mereka.

Alasan kedua, kekeliruan kebijakan yang dibuat oleh BJP yang berakibat melemahkan dukungan terhadap petahana. Kekeliruan tersebut berupa kebijakan demonetisasi pemerintahan Modi pada tahun 2016 yang dianggap ceroboh.

Kebijakan tersebut telah menjadi bencana bagi ekonomi India. Akibat dari skema kebijakan tersebut, pertumbuhan ekonomi India diperkirakan terpangkas 1,5 persen dari produk domestik bruto (PDB) yang seharusnya.

Kebijakan itu pun ikut memukul pendapatan masyarakat perdesaan dan pekerja upahan yang rezekinya sangat bergantung pada aliran dana tunai.

Sampai hari ini, pekerja petani miskin di India bahkan belum pulih akibat kebijakan itu. Usaha menengah, kecil dan mikro (UMKM), yang menjadi tulang punggung perekonomian India, juga banyak yang gulung tikar akibat dari kebijakan demonetisasi dan tidak pernah mampu bangkit lagi sehingga jutaan orang menjadi terlempar ke jurang pengangguran.

Ketiga adalah peningkatan pengangguran di bawah pemerintahan BJP. Modi tidak mampu memenuhi janji kampanye bahwa partainya akan menciptakan lapangan kerja sebanyak 20 juta per tahun atau sekitar 100 juta pekerjaan selama pemerintahannya. Janji tersebut kini tinggal impian dan janji semata.

Kenyataannya, pemerintahan Modi hanya mampu mencetak 1,5 juta lapangan kerja, jauh panggang dari api.

Dengan jumlah pengangguran muda yang meningkat drastis, di mana penduduk India lebih dari 65 persen kelompok muda (di bawah umur 35 tahun), pamor Modi semakin meredup.

Alasan selanjutnya adalah ketidakpuasan publik atas pengelolaan isu kasta. Di mana kasta pendukung utama Modi berbalik arah karena ada perlakuan yang merugikan pada aspek ekonominya. Bahkan tanah ulayat milik mereka diubah menjadi tanah publik untuk pembangunan tanpa ganti rugi yang memadai.

Ketidakpuasan mereka tersebut terlampiaskan di kotak suara di tiga negara bagian yang menjadi basis utama Partai BJP.

Di Indonesia, isu agama bisa berbalik memangsa Jokowi jika tidak mampu dikelola dengan baik melalui kebijakan-kebijkan distribusi kesejahteraan yang lebih adil.

Tak bisa dimungkiri, selama ini Jokowi acap kali dipertentangkan dengan isu agama, mulai dari kriminalisasi ulama, membela penista agama, pembubaran ormas keagamaan, dan lain-lain.

Kemudian, penyebab lainnya adalah makin kukuhnya dinasti Nehru di bawah kepemimpinan Rahul Gandhi dalam mengelola Partai Kongres. Sehingga Partai Kongres mampu memenangi pemilu di tiga Negara bagian utama tersebut.

Bahkan yang mengejutkan, tidak ada analis politik dan hasil survei sebelumnya yang memenangkan partai cicitnya Nehru tersebut. Tapi terbukti, kerja Rahul Gandhi tidak sia-sia.

Dengan gaya kampanye yang energik dan didukung oleh usianya yang masih muda (48 tahun), ganteng, kaya, humble, serta merakyat, maka Partai Kongres berhasil merebut kemenangan yang gemilang di kandang lawan, yang sebelumnya belum pernah dimenangi oleh Partai Kongres.

Konon, pembalikan preferensi pemilih tersebut terjadi dalam masa kampanye tiga bulan saja di mana Rahul berpidato rata-rata dua jam pada 82 kali pertemuan raksasa yang melibatkan jutaan pemilih.

Baca Juga: India dan Pakistan

Oleh karena itu, Partai BJP harus segera mengubah taktik kampanyenya untuk dapat bertahan di New Delhi. Selain India, Jokowi juga layak belajar dari peristiwa terbaru di Perancis. Situasi Prancis saat ini terus diwarnai demonstrasi berkepanjangan.

Menjelang dua tahun berkuasa, Presiden Emmanuel Macron dinilai tidak peduli terhadap warga biasa walau ia diusung Partai Sosialis.

Ia dianggap telah mengkhianati janjinya untuk mereformasi ekonomi dan pasar tenaga kerja. Demonstrasi yang digerakkan oleh orang-orang yang menyebut dirinya sebagai Gilet Jaune atau Rompi Kuning itu digelar sejak 17 November 2018 hingga 12 Januari 2019.

Asal demonstran beragam dan dari hari ke hari kian meluas. Semula hanya para pembayar pajak dari kalangan pekerja (industri) dan kelas menengah, lalu diikuti kaum perempuan, pemuda, dan mahasiswa.

Bahkan data mutakhir menunjukkan bahwa demonstrasi telah melibatkan 282.000 orang dan menyebabkan 10 orang tewas--termasuk polisi, hampir 1.000 terluka, 1.723 ditangkap, dan 1.220 ditahan.

Memang, posisi Macron belum goyah. Celakanya lagi, ia justru mengecam para demonstran itu sebagai pemberontak.

Mengapa rakyat Perancis berunjuk rasa? Alasan utamanya tak berbeda dengan kemenangan Partai Kongres di tiga kantong utama BJP di India, yakni ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah di satu sisi dan perlakuan rezim terhadap rakyat yang kurang baik di sisi lain.

Kebijakan Macron memangkas pajak barang mewah dan menaikkan pajak bahan bakar minyak (BBM) yang mengakibatkan masalah besar bagi publik Perancis adalah salah satu contoh kebijakan yang dianggap tidak propublik.

Dengan kebijakan itu, Macron merepresentasikan kepentingan kaum kaya Prancis, apalagi dengan keputusannya pasca-demonstrasi 15 Desember 2018, yang tetap tidak ingin menaikkan pajak bagi kelas atas.

Bahkan ada yang menganggap bahwa Macron mengelola Perancis seperti sebuah negara kecil Singapura serta melupakannya sebagai negeri yang revolusioner dan sumber revolusi yang mengilhami dunia.

Pelajaran yang sangat berharga layak dipetik dari kedua kasus di atas. Pelajaran utamanya adalah empati terhadap keadaan riil dari kehidupan publik dan kemampuan dalam menerjemahkan empati tersebut ke dalam berbagai agenda aksi dan berbagai kebijakan jauh lebih bermakna bagi pemilih.

Hal itu lebih penting ketimbang membangga-banggakan "barang baru" yang dimiliki oleh pemimpin gaya baru, yang pada tataran tertentu lebih banyak gagal dipahami oleh publik karena belum mampu melahirkan perbaikan nyata begi kehidupan publik.

Di sinilah ranah Jokowi, atau siapa pun penguasanya nanti dan seterusnya, untuk keluar dari parameter-parameter umum yang dikeluarkan oleh lembaga resmi atau lembaga-lembaga survei.

Karena, terkadang angka resmi adalah angka yang terlalu menyederhanakan kompleksitas kehidupan jutaan pemilih.

Intinya adalah mampu memahami secara empatik dan emosional kebutuhan, keinginan, perasaan, pemikiran, dan cita-cita masyarakat pemilih, bukan hanya memahami secara rasional-stastistik.

Semoga.

***

Catatan: Judul awal artikel ini di Kompas.com adalah "Refleksi Politik dari India dan Perancis"