Mengapa Harus Risma?

Proses replikasi adalah pembelajaran yang wajar dalam diseminasi inovasi. Menjadi berbau politis, ketika yang diminta pindah adalah kepala daerahnya.

Selasa, 20 Agustus 2019 | 06:53 WIB
0
667
Mengapa Harus Risma?
Tri Rismaharini (Foto: Kompas.id/Agnes Swetta Pandia)

Wacana sampah Jakarta dan Surabaya tiba-tiba menyeruak ke layar televisi di ruang peneliti pada pengujung bulan Juli 2019, setelah ingar bingar “diplomasi nasi goreng” Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan pertemuan Surya Paloh-Anies Baswedan.

”Risma mau ditarik ke Jakarta tuh… suruh nanganin sampah.”
”Mau dijadikan Kabag Persampahan?”
”Sebagai wakil gubernur?”
”Oh, tampaknya sebagai calon gubernur….”
”Lho, nanti Anies ke mana?”
”Kan nyapres.”
”Emang Risma gak pantas nyapres? Kan, 2022 gak ada pilkada.”
”Betul juga. Pilpres kayaknya lebih dulu, baru pilkada serentak 2024….”
”Kalau begitu, bisa bertarung dong, Risma dengan Anies di pilpres….”
”Sulit… Kan mulai 2021 Risma udah nganggur….”

Seiring celetukan-celetukan yang muncul dari depan layar kaca, angka-angka Rp 30 miliar untuk penanganan sampah di Kota Surabaya dan Rp3,7 triliun untuk Jakarta terus bergulir menghiasi media massa dan media sosial. Aneka meme dan anekdot pun bermunculan.

Gambar-gambar dan kutipan ucapan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dan Gubernur DKI Anies Baswedan memenuhi pemberitaan. Dunia media massa memang tak jauh dari kehidupan berburu dan meramu, hanya bisa subsisten kalau ada berita baru.

Semuanya berawal dari studi banding DPRD Provinsi DKI Jakarta ke Kota Surabaya untuk menyelesaikan peraturan daerah tentang pengelolaan sampah dengan konsep intermediate treatment facility (ITF) untuk Jakarta.

Di Balai Ruang Sidang Wali Kota, Balai Kota Surabaya, Senin (29/7/2019), terjadi perbincangan menarik antara Ketua Fraksi Nasdem DPRD DKI Jakarta, Bestari Barus, dan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Bestari menyebutkan, jumlah anggaran pengelolaan sampah di DKI Jakarta mencapai Rp 3,7 triliun. Mendengar nilai anggaran sebesar itu, Risma kaget.

”Lalu, di Surabaya berapa, Bu Risma?” tanya Bestari.

”Surabaya hanya Rp 30 miliar,” jawab Risma.

Giliran Bestari yang terkejut. Kalau dihitung-hitung, anggaran pengelolaan sampah DKI Jakarta memang 123 kali besarnya dari anggaran Surabaya. Keduanya memang pantas terkejut. Risma terkejut karena besarnya anggaran Jakarta, Bestari terkejut karena kecilnya anggaran Surabaya.

Jumlah penduduk Jakarta pada 2019, menurut proyeksi BPS DKI Jakarta, 10,6 juta jiwa. Sementara jumlah penduduk Kota Surabaya 2,9 juta jiwa. Dengan begitu, DKI Jakarta hanya 3,7 kalinya Kota Surabaya.

Luas daratan DKI Jakarta 661,52 kilometer persegi, sedangkan luas daratan Kota Surabaya 326,81 kilometer persegi. Artinya, luas Jakarta hanya dua kali lipatnya Kota Surabaya. Dengan begitu, anggaran Jakarta sebanyak 123 kalinya Surabaya untuk pengelolaan sampah memang terasa fantastis.

Tak mengherankan jika kemudian ada ide terobosan yang seolah mendadak muncul di kepala kader Nasdem tersebut.

”Apakah ibu Risma mau kita boyong ke Jakarta dalam waktu dekat? Masalah sampah ini bisa terselesaikan kalau di pilkada yang akan datang Bu Risma pindah ke Jakarta,” lanjut Bestari.

Terdapat dua pokok wacana yang kemudian berkembang. Pertama adalah soal penanganan sampah di Jakarta dibandingkan dengan Surabaya. Kedua, peluang bagi Risma untuk memimpin Jakarta.

Studi banding DPRD kali ini memang terasa istimewa, bukan saja karena nama Wali Kota Surabaya berhasil diungkit untuk sejajar, bahkan lebih tinggi daripada Gubernur DKI, tetapi juga mempertunjukkan provokasi Partai Nasdem.

Setelah minggu sebelumnya mempertontonkan manuver dengan menampilkan kemesraan Anies dan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, minggu berikutnya, Ketua Fraksi Nasdem DPRD DKI Jakarta Bestari Barus meminta Risma ke Jakarta. Wacana sampah Jakarta dan Kota Surabaya pun terasa kental dengan aroma politik.

Mengapa Surya Paloh mempertontonkan dukungannya terhadap Anies, tetapi Ketua Fraksi Nasdem DPRD DKI Jakarta mendukung Risma untuk hijrah ke Jakarta? Apakah Nasdem sedang bermain di dua kaki untuk kepentingan Pemilu 2024?

Mari kita bayangkan, skenario apa yang mungkin sedang dikembangkan lewat fenomena tersebut.

Skenario Pertama:

Kemungkinan besar Nasdem sedang bermanuver untuk mengusung Anies pada Pemilu 2024.

Dalam jajaran gubernur yang ada, Anies mungkin paling berpeluang untuk menang. Belajar dari kekalahan Nasdem yang mendukung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada Pilkada Jakarta 2017, merapat ke Anies untuk pemilu mendatang tampaknya lebih menguntungkan, daripada menjadi lawannya.

Bukan saja figur Anies, tetapi lebih-lebih barisan pendukungnya yang solid menjadi kekuatan yang cukup menentukan dalam pemilu mendatang, terlebih ketika pengganti Jokowi di tubuh partai-partai nasionalis masih tanda tanya.

Kekuatan sosok Jokowi, bagaimanapun, telah mampu membendung usaha-usaha barisan pendukung Anies memperlebar sayapnya ke tingkat nasional.

Jika yang maju bukan Jokowi, dapat diperkirakan kekalahan di tubuh nasionalis akan terjadi. Namun, pasca-Jokowi, siapa figur yang sanggup membendung gerakan partai dan ormas di belakang Anies?

Jika yang maju bukan Jokowi, dapat diperkirakan kekalahan di tubuh nasionalis akan terjadi.

Meski demikian, publikasi atas pertemuan Surya Paloh dengan Anies tampaknya menimbulkan dugaan merenggangnya hubungan Nasdem dan Jokowi serta partai-partai koalisi pendukungnya, terutama PDI-P. Jika dibiarkan terlalu lama, Nasdem mungkin akan betul-betul tersingkir dari lingkaran pendukung Jokowi.

Terlalu dini untuk berada di pusaran pinggir. Sebuah gerakan mengembalikan kepercayaan harus segera dilakukan. Melambungkan figur Risma mungkin dapat menjadi sebuah simbol keterikatan politik.

Menarik, bahwa agenda studi banding penanganan sampah itu akhirnya menjadi pintu masuk bagi Nasdem untuk menyuarakan kepentingannya, ”sambil cek ombak” potensi Risma di tingkat Jakarta dan nasional.

Selain itu, kalau Gerindra, Demokrat, dan PAN merapat ke Jokowi dan PDI-P, bukankah nanti hanya tersisa PKS sebagai pendukung Anies?

Dengan suara yang tersisa, tak mungkin kuat untuk mengusung Gubernur DKI Jakarta itu menjadi capres. Maka, masuk akal jika partai-partai nasionalis jangan sampai dibuat marah. Menyokong sosok Risma dapat menjadi simbol untuk mengatakan bahwa Nasdem mempromosikan figur nasionalis.

Skenario Kedua:

Strategi Nasdem mengusung Risma ke Jakarta adalah dalam rangka memuluskan jalan bagi Anies agar dapat bertanding tanpa lawan yang berarti. Dengan memasang Risma di Jakarta, lawan tanding Anies di tingkat nasional mungkin menjadi lebih ringan.

Mengapa harus Risma yang dikorbankan? Karena figur penantang satu-satunya yang mungkin dapat mengalahkan Anies adalah Risma. Namun, jika mencalonkan Risma, Nasdem akan selalu berada di bawah bayang-bayang PDI-P.

Sebagai partai yang cerdik, sudah saatnya Nasdem mengambil kesempatan untuk menjadi partai pemenang. Itu hanya bisa dilakukan apabila Risma tidak mencalonkan diri untuk nasional tetapi ”cukup” di Jakarta saja. Mengerangkeng Risma di Jakarta, memberi keleluasaan Anies meluncur ke tingkat nasional.

Nyaris tidak mungkin memperhadapkan Anies dengan Risma dalam Pilkada DKI. Risikonya terlalu besar bagi Anies. Dan, jika sebuah partai bisa mendapat dua pundi keuntungan, mengapa harus puas dengan satu pundi saja?

Jika Anies menjadi calon presiden, sudah tentu Nasdem menjadi partai pertama yang menentukan koalisi karena Anies bukan kader salah satu partai. Berbeda dengan Jokowi yang merupakan kader PDI-P. Kemenangan Anies pada 2024 akan makin melekatkan Nasdem pada pusat kekuasaan.

Selain itu, dengan mengusung Risma ke Jakarta, Nasdem juga menjadi partai pertama yang akan dipandang berjasa mengantarkan Wali Kota Surabaya tersebut ke posisi yang lebih prestisius, sebagai Gubernur DKI, jika terpilih (dan kalau ibu kota negara tidak keburu pindah). Kekuasaan Nasdem pun akan makin kokoh.

Skenario ketiga:

Nasdem sesungguhnya sudah bisa menimbang kekuatan kedua figur tersebut, tetapi masih bimbang apakah akan mengusung Anies atau Risma ke tingkat nasional. Untuk menaksir bobot secara akurat, perlu ada arena bertarung. Kasus sampah menjadi nekara yang cukup efektif menyedot perhatian publik atas kepemimpinan keduanya.

Berikutnya, gelanggang Pilkada DKI dapat menjadi alat ukur yang sesungguhnya. Dukungan ke tingkat nasional diberikan setelah ada pemenang dari Pilkada Jakarta. Hal ini tentu saja dilakukan dengan pengandaian bahwa pada 2022 ada pilkada serentak.

Namun, sayangnya pilkada tersebut belum tentu dilaksanakan pada 2022. Setelah pilkada serentak 2020 pilkada berikutnya baru akan dilaksanakan pada 2024, sebagaimana disebutkan dalam Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang.

Dalam Pasal 201 Ayat (8) UU tersebut disebutkan: ”Pemungutan suara serentak nasional dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada November 2024.”

Lalu, pada Ayat (9) di dalam pasal itu ditegaskan: ”Untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) dan yang berakhir masa jabatannya pada 2023 sebagaimana dimaksud pada Ayat (5), diangkat penjabat gubernur, penjabat bupati, dan penjabat wali kota sampai dengan terpilihnya gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota melalui pemilihan serentak nasional pada tahun 2024.” Sehingga, jika mengikuti ketentuan undang-undang ini, tidak ada pilkada pada 2022.

Anies yang terpilih pada 2017 akan berakhir masa jabatannya pada 2022 dan berpeluang untuk tetap di posisinya sebagai penjabat gubernur hingga dilaksanakannya pemilihan serentak nasional pada 2024. Jika pun Anies dan Risma bertarung dalam Pilkada DKI, dilaksanakan setelah pemilu nasional 2024, sekitar tujuh bulan setelahnya.

Dengan dilaksanakannya lebih dahulu pemilu nasional daripada pilkada serentak, pertanyaannya apakah kedua figur tersebut akan lebih tertarik dengan Pilkada DKI ataukah pemilu nasional? Jika Anies diproyeksikan untuk pemilu nasional, mengapa Risma hanya cukup untuk Pilkada DKI?

Risma terpilih untuk periode kedua masa jabatannya pada Pilkada Serentak 2015 untuk masa jabatan 2016-2021. Sementara itu, Kota Surabaya akan melaksanakan pilkada pada 2020 untuk memilih pemimpin baru. Dengan begitu, Risma akan masuk ke gelanggang tanpa panggung setelah habis masa jabatannya pada 2021 karena saat itu Surabaya sudah memiliki wali kota baru.

Terdapat masa ”tenggang” selama tiga tahun bagi Risma, antara selepas usai masa jabatannya dan pemilu nasional atau pilkada serentak nasional 2024.

Apakah Risma akan menganggur alias tidak punya panggung politik selama tenggang tersebut? Ataukah ada manuver politik yang dapat menempatkannya pada posisi penting selepas menjabat wali kota, menjadi pertanyaan yang krusial bagi nasib Risma.

Jika pergerakan politik membuat Risma menempati panggung baru, popularitasnya mungkin terkerek makin tinggi untuk bertarung di posisi presiden. Sebaliknya, kalau tidak ada panggung, mungkin Ia hanya punya peluang masuk ke kontestasi pilkada, sebagai calon gubernur DKI Jakarta atau Jawa Timur.

Melihat perhitungan di atas, skenario ketiga tersebut lebih menunjukkan ketidaksiapan Nasdem jika yang terjadi adalah pertarungan di level nasional antara Anies dan Risma.

Pertarungan keduanya di level presiden jelas tidak menguntungkan Nasdem yang tampaknya sedang membangun partai tengah, yang merangkul ideologi kiri dan kanan.

Harapannya untuk didukung kuat oleh kalangan Islam kalau mengusung Anies dan meraup simpati dari kaum nasionalis dengan mengusung Risma, hanya terwujud jika dua tokoh yang diusungnya bertarung di level yang berbeda.

Lawan Berat Anies

Setelah perjalanan karier politik Joko Widodo, yang melesat dari wali kota ke gubernur lalu menjadi presiden, jalur kepala daerah menjadi jalan yang terbuka luas untuk meraih kekuasaan hingga ke level puncak. Terlebih, sejak pilkada langsung dilaksanakan pada 2005, makin banyak bibit-bibit kepemimpinan yang mengakar kuat di masyarakat.

Sejumlah nama kepala daerah dan mantan kepala daerah yang moncer dan banyak dilirik sebagai pemimpin masa depan Indonesia, di antaranya, adalah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah, mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat Muhammad Zainul Majdi, mantan Gubernur Jawa Timur Soekarwo, dan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama.

Di tingkat kota, terdapat Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Wali Kota Bogor Bima Arya, Wali Kota Makassar Danny Pomanto, dan Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany. Di tingkat kabupaten, terdapat figur-figur kuat seperti Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, mantan Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi, mantan Bupati Kulon Progo Hasto Wardoyo, dan Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya.

Lalu, mengapa hanya Risma yang akan menjadi lawan berat bagi Anies?

Pertama, karena tren kepemimpinan perempuan yang meluas akhir-akhir ini. Dalam Pilkada 2018, sebanyak 14 kepala daerah dan 16 wakil kepala daerah dimenangi oleh perempuan. Di Jawa Timur terpilih lima kepala daerah dan empat wakil kepala daerah perempuan dalam pilkada tersebut.

Kedua, faktor psikologis yang mungkin akan berpengaruh pada Pemilu 2024, yaitu menghindari pertarungan antarkandidat laki-laki. Pengalaman selama dua kali pemilu lalu yang menghadapkan dua pasang kandidat laki-laki ternyata berlangsung demikian keras. Tensi atau ketegangan politik yang demikian machismo (maskulin), mungkin akan dapat dikendurkan dengan memasukkan kandidat perempuan dalam pertarungan.

Ketiga, karena prestasi-prestasi Risma yang dapat menjadi modal utama untuk berkontestasi dengan siapa pun di Indonesia.

Inovasi Kota Surabaya

Risma, perempuan kelahiran Kediri, Jawa Timur, 20 November 1961 adalah kepala daerah yang berulang kali masuk dalam daftar pemimpin terbaik dunia.

Perempuan wali kota pertama di Surabaya ini dipandang memiliki kemampuan yang komplet dari berbagai sisi. Risma tidak hanya berhasil menata taman kota dan mengelola sampah dengan baik, tetapi juga mampu mengendalikan birokrasi dengan sistem yang efisien.

Di bawah kepemimpinannya, Kota Surabaya menjadi kota yang paling inovatif di Indonesia. Ketegasan dan keberaniannya mendobrak sistem birokrasi yang kaku di satu sisi, tetapi memantulkan sikap welas asih kepada yang papa dan rakyat kecil di sisi lain, menjadikan sosoknya dicintai warganya.

Masuk ke kancah politik dengan modal kemenangan 38,53 persen pada Pilkada 2010, kinerjanya sebagai wali kota mendapat banyak apresiasi sehingga dalam Pilkada 2015 Risma berhasil mempertahankan kursi kepemimpinannya dengan perolehan 86,34 persen.

Di bawah kepemimpinan mantan Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya dan Kepala Badan Perencanaan Kota Surabaya ini, Kota Surabaya menampilkan wajah baru sebagai kota modern tetapi humanis.

Partisipasi masyarakat adalah kunci keberhasilan dari model kepemimpinan Risma. Lewat pembangunan Kota Surabaya, Risma memberikan sebuah contoh bagaimana melakukan transformasi modal sosial untuk membalik masalah menjadi berkah. Modal sosial ini ia transformasikan menjadi nilai estetika, ekonomi, dan peningkatan kualitas hidup warga kota.

Aneka inovasi yang dilakukannya merambah segala bidang, mulai dari pendidikan, perencanaan pembangunan, sistem informasi pemerintahan, kesehatan, penanganan masalah sosial, sampah, ekonomi, hingga kependudukan.

Di tangan Wali Kota Tri Rismaharini, Kota Surabaya menampakkan sebuah eskalasi pembaruan yang masif. Wajah baru senantiasa hadir dalam dimensi-dimensi ruang dan gerak.

Kota yang dulu dikenal sebagai kota pesisir yang panas ini sekarang menampilkan wajah yang lebih asri dan dingin dengan banyaknya pepohonan dan taman kota yang rindang. Wajah permukiman-permukiman kumuh di pinggir pantai pun disulap menjadi indah dan menampilkan warna pelangi.

Tak hanya penampilan luar yang berubah, Kota Surabaya juga terlihat paling sigap mengubah pelayanan birokrasi dan membuat mekanisme pengawasan internal pemerintahan yang ketat. ”

Lewat perangkat ini, semua kemacetan birokrasi bisa saya atasi dengan segera,” kata Risma sambil menunjukkan telepon seluler dan handy talky, saat presentasi inovasi Surabaya Single Window di Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB), tahun 2014.

Namun, di sisi lain, Risma juga meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam kesehatan, ekonomi, dan penanganan masalah-masalah sosial. Lewat program Campuss Social Responsibility, misalnya, mahasiswa dilibatkan dalam pendampingan kepada anak putus sekolah dan anak rentan putus sekolah agar terjamin pendidikannya.

Dengan semua upaya yang dilakukan, tak berlebihan jika Pemerintah Kota Surabaya menjadi institusi yang paling banyak memenangi penghargaan dibandingkan dengan kota-kota atau kabupaten lainnya. Berbagai penghargaan, baik nasional maupun internasional, diraihnya untuk inovasi-inovasi yang telah dilakukannya.

Di dalam negeri, setiap tahun Pemkot Surabaya juga memperoleh penghargaan untuk berbagai bidang. Selama 2014-2018, misalnya, Pemkot Surabaya telah 14 kali memperoleh penghargaan dari Kemenpan RB.

Di tingkat internasional, periode 2017-2018 saja Pemkot Surabaya memperoleh penghargaan Global Green City dari PBB, Learning City dari UNESCO, ASEANTA Awards 2018, Lee Kuan Yew World City Prize, The OpenGove Recognition of Excellence 2018, Scroll of Honour Award dari UN Habitat, dan belum lama ini sebagai Online Popular City dalam The Guangzhou International Awards.

Penghargaan Global Green City diraih Kota Surabaya dalam acara Sustainable City and Human Settlements Award (SCAHSA) yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), 31 Oktober 2017 di New York. Surabaya terpilih sebagai tiga kota terbaik dunia bersama Kota Maanheim (Jerman) dan Zhejiang Province (China).

Penghargaan Global Green City adalah penghargaan tertinggi buat kota yang dirancang dengan memperhatikan dampak lingkungan, keseimbangan ekologi, serta pembangunan masyarakat berkelanjutan. Pemerintah Kota Surabaya dianggap telah mengubah wajah kota menjadi jauh lebih bersih dan hijau, berhasil menata permukiman kumuh dan taman, serta menggerakkan masyarakat untuk peduli terhadap lingkungan.

Gelar Learning City dari UNESCO diperoleh Kota Surabaya pada 19 September 2017 di Cork, Irlandia. Surabaya mendapat kehormatan itu bersama 15 kota dunia lainnya yang mampu mengalami kemajuan luar biasa yang dicapai dalam mempromosikan pendidikan seumur hidup.

Dalam mengembangkan konsep Learning City, Pemerintah Kota Surabaya mengajak masyarakat untuk berperan aktif dengan membentuk kampung-kampung pendidikan, seperti Rumah Bahasa, Rumah Matematika, membuat Broadband Learning Center (BLC). Lewat kampung pendidikan ini, anak-anak dapat belajar secara nonformal dalam bentuk permainan dan melalui BLC warga dapat memanfaatkannya untuk belajar mengenai komputer dan internet. Konsep belajar diterapkan kepada semua lapisan masyarakat, tak terkecuali mereka dengan kebutuhan khusus.

Gelar paling bergengsi di dunia, yakni Scroll of Honour Award dari UN Habitat diterima Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini di Nairobi, Kenya, 1 Oktober 2018.

Penghargaan ini diberikan kepada empat orang dari sejumlah negara yang mempunyai kontribusi luar biasa terhadap perkembangan dan memperbaiki kehidupan perkotaan, mengelola permukiman dan mengangkat kehidupan masyarakat miskin, serta memastikan tidak ada seorang pun yang tertinggal. Risma juga dinilai membuat kota dan masyarakat menjadi inklusif, aman, memiliki daya tahan dan berkelanjutan.

Penghargaan ASEANTA Awards kategori Asean Clean Tourist City Standard diraih Kota Surabaya (bersama Kota Bandung dan Kabupaten Banyuwangi) pada 26 januari 2018. ASEANTA Award merupakan penghargaan di bidang pariwisata untuk negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Dengan penghargaan ini, Kota Surabaya dinilai memenuhi standar sebagai kota pariwisata yang bersih.

Selanjutnya, penghargaan Recognition of Excellence 2018 diterima Pemkot Surabaya dalam acara OpenGov Leadership Forum pada 22 Maret 2018.

OpenGov Recognition of Excellence ini sendiri bertujuan untuk membuat taraf atau standar baru kehidupan di wilayah ASEAN, Australia, dan Selandia Baru. Kota Surabaya dipandang sebagai kota yang bisa menemukan cara baru untuk bisa berinteraksi dengan masyarakat, memudahkan dan meningkatkan sistem pemerintahannya, mampu memberdayakan masyarakat, serta terus-menerus menggali potensi dari teknologi terbaru untuk menghadapi tantangan dengan pembaruan sistem.

Karena debutnya, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini kemudian terpilih secara aklamasi sebagai Presiden United Cities Local Government Asia-Pacific (UCLG-ASPAC) untuk periode 2018-2020.

Lee Kwan Yew World City Prize kategori Special Mention diterima Kota Surabaya di acara World Cities Summit (WCS) di Singapura, 9 Juli 2018, karena kesuksesan pemkot mengusung pemberdayaan warga di lingkungan kampung sehingga menjadikan Kota Surabaya sebagai kota unik dan memiliki karakteristik berbeda dengan kota lain di dunia. Perkampungan di Surabaya menjadi memiliki struktur tematik beragam.

Upaya pembenahan seperti saluran, paving, akses pelayanan taman baca, lapangan olahraga, boarding learning center dan pelayanan kesehatan puskesmas yang tersedia di dalam kampung itu juga menjadi nilai tambah. Pemerintah kota juga dinilai mampu menciptakan perkampungan perkotaan yang layak huni, mampu menjaga kampung serta meningkatkan perekonomian UMKM lewat program ”Kampung Unggulan” dan ”Pahlawan Ekonomi Pejuang Muda”.

The Guangzhou International Awards 2018 kategori Online Popular City juga dimenangi oleh Pemkot Surabaya pada 7 Desember 2018. Kota Surabaya menyisihkan 30 kota terbaik di dunia dalam kategori online popular city. Dalam kompetisi ini, Kota Surabaya dinilai berpartisipasi dalam pengelolaan 3R (reduce, reuse, recycle) di menyosialisasikan daur ulang dari tingkat rumah tangga. Sistem ini dinilai mempermudah kota dalam mengatur maupun mengolah sirkulasi limbah plastik di Surabaya dan mendorong warga untuk melakukan kebun kota (urban farming).

Pengelolaan Sampah

Program ”3R” (reduce, reuse, recycle) adalah pengelolaan sampah dengan pemberdayaan masyarakat, dalam rangka mengurangi sampah dan mengambil nilai ekonomis dari sampah. Sampah organik dipakai sebagai media tumbuh bagi bayi larva Black Soldier Fly (BSF), untuk memproduksi larva sekaligus mereduksi buangan sampah.

Larva dapat dijual sebagai pakan unggas dan ikan, sementara residu hasil memproses sampah dapat menjadi kompos. Sampah daun dan ranting diproses menjadi pupuk dan didistribusikan ke taman-taman di Surabaya, sebagian dipakai untuk menghasilkan gas metan.

Gerakan pengurangan sampah juga diterapkan di sekolah melalui program Eco School. Inovasi itu mampu menekan volume sampah organik 60 persen dari 1.500 ton sampah kota per hari dan mengurangi pasokan sampah dari pasar tradisional yang masuk ke TPA hingga 40 ton per hari. Gerakan ini melibatkan 28.600 kader lingkungan dan 620 fasilitator yang tersebar di seluruh Surabaya.

Selain itu, Pemkot Surabaya juga menerapkan program SWAT (Solid Waste Transportation), sistem manajemen pengangkutan sampah secara online dan terintegrasi, yang memudahkan evaluasi beberapa hal terkait penanganan persampahan.

Sistem ini meliputi identifikasi volume sampah yang masuk ke TPA, identifikasi sumber sampah untuk evaluasi implementasi retribusi persampahan, optimalisasi rute pengangkutan sampah sehingga efektif dalam pemakaian BBM angkutan sampah, dan peningkatan kinerja (disiplin) sopir sehingga berpengaruh terhadap jadwal pengangkutan sampah.

Dengan inovasi-inovasi yang dikembangkan Pemkot Surabaya, sesungguhnya pemerintah daerah lain, termasuk Jakarta, dapat mereplikasinya untuk diterapkan di wilayahnya masing-masing. Proses replikasi adalah pembelajaran yang wajar dalam diseminasi inovasi. Menjadi berbau politis, ketika yang diminta pindah adalah kepala daerahnya.

Bambang Setiawan, Litbang Kompas

***

Keterangan: Tulisan ini sudah tayang sebelumnya di Kompas.id.