Tidak ada kata rekonsiliasi pada para pendukung khilafah. Sebab sejatinya, mereka membenci keberagaman.
Prabowo bertemu Jokowi. Itu biasa. Para tokoh politik boleh bersaing. Jika tujuannya membangun Indonesia, pada satu titik mereka akan bertemu juga. Ketika panggilan untuk membangun bangsa lebih baik, mereka akhirnya akan bergandengan tangan juga.
Para pendukung Jokowi senang-senang saja melihat dua tokoh itu rekonsiliasi. Kita berharap keduanya menjadi lokomotif yang menggerakkan bangsa ini menuju kemajuan.
Sebagian pendukung Prabowo juga sudah cuek. Hasil survei Kompas beberapa waktu lalu mengindikasikan bahwa orang yang masih menolak hasil Pemilu jumlahnya gak banyak. Hanya sekitar 3% saja. Mereka inilah yang masih teriak-teriak curang.
Sementara rakyat lain menganggap Pemilu berjalan jujur dan adil. Proses di MK menandakan akhir dari perdebatan soal Pilpres. Semuanya klir. Terang benderang dan terbuka.
Yang tidak mungkin bertemu adalah orang yang mencintai Indonesia dengan yang membenci Indonesia. Yang tidak mungkin disatukan adalah para pendukung khilafah dengan penjaga kebhinekaan. Yang tidak mungkin jalan beriringan adalah mereka yang mau menegakkan negara agama dengan mereka yang tetap yakin Indonesia sebagai negara plural.
Keduanya seperti minyak jelantah dan air. Gak mungkin bersatu.
Kalau kini masih ada yang ngotot memprotes Prabowo karena mau bergandengan tangan dengan Jokowi, itu karena dalam diri mereka membenci persatuan. Mereka tidak suka Indonesia ini aman dan tenteram. Mereka adalah orang-orang yang dibesarkan dalam kubangan kebencian atas nama agama.
Yang tidak mungkin bertemu adalah orang yang mencintai Indonesia dengan yang membenci Indonesia. Yang tidak mungkin disatukan adalah para pendukung khilafah dengan penjaga kebhinekaan. Yang tidak mungkin jalan beriringan adalah mereka yang mau menegakkan negara agama dengan mereka yang tetap yakin Indonesia sebagai negara plural.
Jadi jangan berharap mereka suka terbangunnya suasana kondusif. Sebab, di mana pun, satu-satunya jalan buat menegakkan khilafah adalah dengan membuat kekacauan dan perpecahan. Mimpi khilafah gak mungkin tegak jika Indonesia bersatu.
Maka kita lihat sekarang, sebagian kecil pendukung Prabowo seperti dicentil bijinya. Kelojotan gak karuan. Mereka marah. Mereka frustasi tidak bisa lagi menjadikan Prabowo sebagai kuda troya untuk menjalankan rencana besarnya.
Sesungguhnya rakyat yang waras tidak suka dengan perpecahan. Rakyat yang adem otaknya tidak setuju dengan permusuhan. Hanya yang korslet caramikir-nya saja yang membenci melihat orang berbaikan.
Padahal ajaran agama memerintahkan menjalin silaturahmi. Menjalin persahabatan. Tapi, mereka ngaku beragama, sedangkan mereka tetap membanci silaturahmi.
Pada orang-orang seperti ini kita memang tidak berharap banyak. Persatuan hanya bisa dicapai apabila dua belah pihak mau bersatu. Jika satu pihak membuka diri, pihak lainnya terus menyarangkan kebencian, persatuan tidak mungkin bisa dicapai.
Jembatan bisa terhubung jika kedua sisinya sama-sama membangun. Jika satu sisi membangun jembatan, sisi lain merobohkannya, tidak ada penghubung yang bisa berdiri.
Baca Juga: Praktik Politik Khilafah
Jadi kita juga gak perlu resah dengan gerombolan yang kini memprotes Prabowo karena mau bergandengan tangan dengan Jokowi. Sebab sudah tabiat mereka membenci orang yang menyebarkan kebersamaan.
Kepada mereka yang membenci persatuan, itulah sesungguhnya musuh kita bersama. Jangan terjebak pada jargon persatuan, lalu kita membiarkan mereka yang mau merobek persatuan berkelakuan seenaknya.
Musuh Indonesia saat ini adalah mereka yang mau menjadikan negara indah ini sebagai negara agama. Merekalah duri dalam diri bangsa. Keberadaan merekalah yang membuat kita terus berdiri di sini, menentang kekuatan yang ingin memporakporandakan Indonesia.
Kita perlu menggalang persatuan pada semua elemen. Sepanjang mereka menunjukkan sikap bersedia membangun bangsa secara bersama. Sedangkan pada kekuatan yang mau mengubah pondasi bernegara kita, hanya ada satu kata: lawan!
Tidak ada kata rekonsiliasi pada para pendukung khilafah. Sebab sejatinya, mereka membenci keberagaman.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews