Gemerlapnya Koalisi dan BPN Berakhir di Keredupan Coffee Morning

PR Pemerintah dan DPR adalah merevisi Undang-undang terkait penetapan capres-cawapres yang merujuk pada prosentase kemenangan suara/kursi koalisi berdasarkan Pemilu sebelumnya.

Sabtu, 29 Juni 2019 | 08:20 WIB
0
739
Gemerlapnya Koalisi dan BPN Berakhir di Keredupan Coffee Morning
Effendi Ghazali (Foto: Tribunnews.com)

Sudah tepat, keputusan Prabowo Subianto selaku "kepala suku" Koalisi Adil Makmur (KAM) dan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi membubarkan koalisi sekalgus badan pemenangan pemilu. Tidak ada upaya hukum lebih tinggi yang bisa ditempuh setelah Mahkamah Konstitusi menolak semua gugatan Prabowo Subianto atas dugaan kecurangan Pilpres 2019.

Sampai di sini Prabowo paham aturan, meski pada saat mengumumkan pengakuan menerima keputusan MK Kamis 27 Juni 2019 lalu sempat menyinggung kemungkinan langkah hukum lainnya dan langkah politik yang masih mungkin ia tempuh. Okelah kalau memang ada celah hukum, tetapi tidak di sistem ketatanegaraan Indonesia, sebab putusan MK bersifat final dan mengikat. Di sini tidak ada banding, kasasi, peninjauan kembali dan seterusnya. 

Akan tetapi soal keputusan politik yang akan ditempuh, inilah yang menarik perhatian publik. Rupanya Prabowo tidak mau masyarakat menunggu terlalu lama apa putusan politik yang akan ditempuh. Jawabannya terjadi pada Jumat, 28 Juni 2019 pukul 15.00 WIB di Jalan Kartanegara. Di sana para sekjen alias "ketua harian partai" KAM hadir. Bukan untuk merapatkan barisan, tetapi membubarkan barisan!

Keputusan penting yang mengakhiri ingar-bingar perpolitikan Tanah Air ini diambil setelah elite dan petinggi parpol kubu 02, yaitu Prabowo dan kawan-kawan, menggelar pertemuan tertutup di kediaman Prabowo Subianto, Jalan Kertanegara IV, Kebayoran Baru, Jakarta.

Dalam pertemuan tertutup tersebut hadir sejumlah tokoh dan petinggi parpol antara lain Presiden PKS Sohibul Iman, Sekjen PAN Eddy Suparno, Sekjen PKS Mustafa Kamal, Sekjen Gerindra Ahmad Muzani, Sekjen Partai Demokrat Hinca Panjaitan, Ketua Dewan Penasehat Partai Berkarya Titiek Soeharto, Direktur Media BPN Prabowo-Sandi, Hashim Djojohadikusomo, Rachmawati Soekarnoputri dan politikus Amien Rais.

Adalah Wakil Ketua BPN Prabowo-Sandi, Ahmad Muzani yang beranjak ke Media Center Prabowo-Sandi, tidak jauh dari kediaman Prabowo, untuk menyampaikan pengumuman penting ini.

“Sebagai koalisi, tugas Koalisi Adil Makmur dianggap selesai, dan juga Badan Pemenangan Nasional juga selesai,” kata Muzan seraya mengungkapkan salah satu pertimbangannya adalah keputusan MK yang menolak semua gugatan Prabowo-Sandi. “Karena MK sudah memutuskan,” imbuhnya.

Muzani juga menyampaikan, langkah berikutnya menyerahkan kepada masing-masing partai untuk menentukan sikap politiknya dengan alasan Partai Gerindra, sebagai "pimpinan koalisi" tidak bisa mengintervensi masing-masing partai politik dalam menentukan langkahnya ke depan.

Muzani berharap komunikasi tetap bisa terjalin untuk membahas permasalahan bangsa dalam sebuah forum kumpul bersama yang dinamakan "kaukus" atau coffee morning. Kaukus ini dapat digunakan untuk forum kerja sama di parlemen yang dimungkinkan harus bersatu dalam kepentingan bersama.

Dengan bubarnya Koalisi Adil Makmur dan Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi ini berakhir sudahlah gemerlap pesta demokrasi Pilpres maupun Pileg yang mengharu biru itu. Pembubaran serupa boleh jadi akan disusul oleh koalisi kubu pemenang, yaitu koalisi partai pendukung Joko Widodo-Ma'ruf Amin.

Yang tersisa adalah hikmah dan evaluasi. Hikmah dari kekalahan harus segera diambil oleh pihak yang kalah selain mengakui kemenangan lawan. Itu yang sebenarnya harus diajarkan Prabowo kepada para pendukungnya yang tentu masih belum bisa menerima kekalahan yang oleh sebagian di antara mereka dianggap bagai mimpi di siang hari bolong ini.

Bagi yang menang, tentu saja jangan jumawa. Sebaiknya merangkul yang kalah, tetapi tidak untuk bagi-bagi kekuasaan. Bagi-bagi kekuasaan hanya kepada yang berkeringat dan yang telah berusaha untuk memenangkan Pilpres, masak iya kekuasaan (baca: hadiah) dibagi-bagi kepada yang kalah.... enak bener!

Baca Juga: Prabowo Bubarkan Koalisi dan BPN, Jangan Ada yang Macam-macam!

Yang kalah ya harus belajar menerima kekalahan secara sportif, jiwa besar dan elegan, yang ketiga hal itu sayangnya belum ditunjukkan Prabowo-Sandiaga kepada rakyat Indonesia terutama kepada para pendukungnya sendiri. Memaksa Prabowo bersikap seperti Hillary Clinton saat mengakui kemenangan Donald Trump boleh dibilang seperti "menggantang asap mengukir langit", jadi tidak usah terlalu dipaksakan jugalah.

Evaluasi wajib dilakukan terhadap penyelenggaraan pemilu itu sendiri. Apa iya Pilpres dan Pileg harus dipaksakan serentak dilakukan secara bersamaan. Bukankah itu sangat melelahkan dan terbukti  telah merenggut korban jiwa KPPS yang tidak sedikit?

Apakah sebaiknya Pileg dan Pilpres dipisah lagi, toh Effendi Ghazali yang mengajukan judicial review kepada MK tentang hal ini sudah bernyanyi dangdut Kegagalan Cinta... "kau yang mulai kau yang mengakhiri". Ya, Effendi yang menghendaki pileg dan pilpres diserentakkan, tetapi dia pulalah yang menghendaki pileg dan pilpres dipisahkan lagi.

Tetapi yang harus digarisbawahi dan layak direnungkan adalah terkait penetapan capres-cawapres yang merujuk pada prosentase kemenangan suara/kursi koalisi berdasarkan Pemilu sebelumnya, yang sangat mengunci calon potensial, di mana capres-cawapres ditentukan partai peraih suara terbesar saja.

Ini adalah pekerjaan rumah terbesar baik DPR maupun pemerintah untuk merevisi Undang-undang Pemilu.

***