Kekuatan PPPK di Indonesia

Rabu, 17 September 2025 | 09:00 WIB
0
26
Kekuatan PPPK di Indonesia
Perjalanan pendidikan

Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN) dalam Buku Statistik Aparatur Sipil Negara Semester II Tahun 2024, terlihat adanya perubahan signifikan dalam struktur Aparatur Sipil Negara (ASN) di Indonesia. Selama satu dekade terakhir (2015–2024), tren pertumbuhan ASN menunjukkan dinamika yang menarik. Jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) terus mengalami penurunan, sementara Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) justru meningkat pesat sejak skema ini diterapkan pada 2021.

Per 31 Desember 2024, jumlah total ASN mencapai 4,73 juta orang. Dari angka tersebut, PNS masih mendominasi dengan 3,56 juta orang (75%), sementara PPPK mencapai 1,16 juta orang (25%). Fakta ini menegaskan bahwa dalam empat tahun terakhir, pemenuhan kebutuhan ASN lebih banyak mengandalkan PPPK dibanding PNS.

Fenomena ini tidak dapat dilepaskan dari perubahan paradigma dalam manajemen kepegawaian negara. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara secara jelas membedakan kedudukan PNS dan PPPK. PNS diangkat secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian, sementara PPPK diangkat berdasarkan perjanjian kerja dengan jangka waktu tertentu. Meskipun berbeda status hukum, keduanya memiliki peran strategis yang sama dalam mendukung jalannya pemerintahan dan pelayanan publik.

Di sisi lain, data menunjukkan bahwa sebagian besar ASN masih bekerja di instansi daerah, yaitu 3,70 juta orang (78%), sedangkan ASN di instansi pusat hanya 1,02 juta orang (22%). Hal ini mempertegas bahwa kekuatan birokrasi Indonesia ada di level daerah, dan kehadiran PPPK menjadi jawaban atas kebutuhan tenaga profesional yang cepat, fleksibel, dan sesuai dengan perkembangan zaman.

Kekuatan PPPK terletak pada fleksibilitas dan orientasi kinerja.

Sistem perjanjian kerja memungkinkan pemerintah merekrut tenaga sesuai kebutuhan nyata, baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, maupun layanan teknis lainnya. Hal ini sekaligus menjadi solusi terhadap tantangan keterbatasan jumlah PNS, yang cenderung berkurang karena faktor pensiun dan moratorium.

Namun, dinamika posisi PPPK juga tidak terlepas dari polemik. Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Dosen ASN PPPK Indonesia  Dr. Moh. Nor Afandi, M.Pd.I mendesak Kepala BKN, Prof. Zudan Arif Fakrullah, agar mengklarifikasi  setelah pernyataannya dalam sebuah kuliah umum di Universitas Lancang Kuning (Unilak) pada 14 Agustus 2025 menuai kontroversi. Dalam video yang ramai beredar di media sosial, Prof. Zudan menyebut PPPK sebagai “tenaga siap pakai untuk mengisi kekosongan sementara di PNS.” Pernyataan tersebut dipandang merendahkan karena menempatkan PPPK seolah-olah hanyalah ban serep dari PNS.

Kritik keras dari aliansi PPPK menunjukkan adanya sensitivitas yang harus diperhatikan pemerintah dalam membangun citra dan posisi PPPK di mata publik. Jika pemerintah terus menekankan bahwa PPPK hanya sebatas pengisi kekosongan, maka semangat kerja dan loyalitas pegawai dapat tergerus. Padahal, di banyak sektor strategis, PPPK justru menjadi tulang punggung layanan publik, mulai dari guru hingga tenaga kesehatan.

Di titik ini, penting ditegaskan bahwa tenaga PPPK masih sangat dibutuhkan dan tidak bisa dipandang sebelah mata. Banyak instansi pemerintah, terutama di daerah, yang mengandalkan keberadaan PPPK untuk menjamin keberlangsungan layanan publik. Dosen dan Guru PPPK menjadi kunci keberhasilan pendidikan, tenaga medis PPPK berkontribusi besar dalam pelayanan kesehatan, dan tenaga teknis PPPK membantu memastikan administrasi publik tetap berjalan lancar. Tanpa mereka, banyak sektor pelayanan masyarakat akan terganggu.

Solusi: Pengangkatan PPPK menjadi PNS tanpa Tes

Melihat fakta di atas, salah satu solusi yang perlu dipertimbangkan pemerintah adalah memberikan jalur khusus bagi PPPK untuk diangkat menjadi PNS tanpa melalui tes ulang. Pertimbangan ini berangkat dari beberapa alasan:

PPPK sudah melewati proses seleksi ketat. Mereka direkrut melalui mekanisme resmi, dengan persyaratan dan tes kompetensi tertentu yang serupa dengan rekrutmen PNS.
Telah terbukti kinerja dan pengabdiannya. Banyak PPPK telah bekerja selama bertahun-tahun di bidang strategis seperti pendidikan dan kesehatan. Loyalitas dan kontribusi mereka layak mendapatkan pengakuan formal.

Efisiensi birokrasi.

Alih status PPPK ke PNS tanpa tes akan memotong prosedur panjang yang justru bisa menghambat pemenuhan kebutuhan aparatur negara.
Penguatan motivasi kerja. Dengan status yang lebih jelas, PPPK akan lebih termotivasi untuk meningkatkan kinerja dan mengabdikan diri bagi masyarakat.
Dengan demikian, kebijakan afirmasi pengangkatan PPPK menjadi PNS tanpa tes dapat menjadi solusi win-win. Pemerintah tidak hanya memperkuat jumlah ASN tetap, tetapi juga memberikan penghargaan yang setara atas pengabdian para PPPK.

Jika dikelola dengan bijak, PPPK bukanlah “ban serep,” melainkan aset penting dalam pembangunan birokrasi modern Indonesia. Sinergi antara PNS dan PPPK akan menciptakan aparatur yang lebih profesional, adaptif, dan responsif terhadap kebutuhan publik di era transformasi digital.