Terasa merdu bagi yang mendengar suara makianmu. Seperti suara-suara malaikat surga. Kau memang diutus untuk lantang berteriak dan menelanjangi musuhmu. Sedemikian dosakah yang kau maki hingga tidak terasa banyak orang pedih mendengar kata- kata orang yang mengaku mempunyai pengetahuan luas tentang agama.
Kau mungkin diutus malaikat untuk menegur, mengritik dan melakukan aksi akrobat agar didengarkan Pemimpin negeri ini yang lebih bekerja dalam senyap, tidak pernah balik memaki, hanya menceploskan simbol-simbol umum tentang perilaku manusia yang sering sontoloyo, sering bersifat genderuwo yang suka menakut-nakuti.
Tahukah ekspresi dalam suara pergaulan sahabat Jawa. Tabok itu tidak menyakitkan, tidak akan membuat lebam apalagi luka.
“Tak tabok kowe le, huss kalau ngomong yang benar, mosok umpatan comberan kau teriakkan kepada banyak orang sih, apalagi kepada orang yang tidak pernah menyakiti kamu, kamu sadar yang kau ucapkan le?”
“Wajahmu, dan kacamatamu itu sedang plesiran atau sedang berdakwah. Kok seperti sedang berjemur di pantai yang di sekelilingnya banyak bokong dijemur jadi bisa melirik sesukanya. Hehehe maaf.”
Saya tidak marah dan dendam mendengar perkataamu. Tidak, hanya sayang gelar yang tersemat di depan nama itu terlalu berat bila harus memaki- maki orang yang tidak pernah membuatmu sengsara. Dendam apa sih pada Presiden sehingga menantang dengan kata – kata kasar dengan bahasa pasar.
Saya yang mendengar kotbahmu itu dibuat merinding disko, sebegitu hinakah presidenmu hingga kau tega melontarkan kata- kata yang dilarang dilingkungan sekolah. Dosa apakah yang membuat anda dengan garang melontarkan ujian kebencian.
Beruntung Presiden adalah orang yang panjang sabar. Ingat yang melaporkan anda pada yang berwajib itu bukan presiden yang kau hina, yang melaporkan adalah mereka yang risi dengar kata- kata dari seorang pendakwah, pemimpin agama yang seharusnya menyejukkah jiwa dan raga.
Mengapa banyak pemimpin umat lebih suka melontarkan ujaran kebencian, melontarkan kutukan, meneriakkan semangat pemberontakan?
Bukankah lebih elok jika bisa mengritik dengan cara halus. Seperti Kyai-Kyai jaman dulu yang ilmunya sundul langit tapi rendah hatinya sampai dlongsor ke tanah saking sederhananya.
Semakin berisi semakin runduk dan tak sekalipun melontarkan kata- kata jorok yang menyakitkan. Entah ilmu apa sih pemimpin agama sekarang yang sepertinya lebih kagum dengan bahasa-bahasa populer yang sekali jebret bisa merangkul jutaan viewer. Dan apapun kata- katanya yang ndlewer bahkan sedikit jorok diterima dengan riang gembira.
Duh, aduh bagaimana rasanya menjadi manusia spontan yang dengan entengnya mengatakan “Banci”, “Plorotin saja celananya”. Waduh itu suara nurani anda atau karena kebiasaan bicara seperti dipasar.
Anda yang mengaku habaib, ajari kami bahasa kasih dong bukan bahasa padang pasir. Indonesia itu multietnis, beragam agama hadir. Presiden juga pemeluk agama yang taat, rajin bertarekat dan puasa Senin Kamis…
Tidak bisakah berbagi kata dengan adab tinggi dengan bahasa tutur terkontrol seperti para santri pesantren yang tentu diajari tata krama, etika sopan santun, kontrol diri, kontrol jiwa sehingga semakin berilmu semakin luruh.
Jika tidak setuju dengan segala kebijaksanaan pemerintah tidak perlulah memprovokasi umat dengan ujaran kebencian. Bisa dengan sindiran halus atau pasemon. Yang ngeri ketika mendengar lebih baik busuk di penjara dari pada minta maaf.
Oke boleh saja berani busuk dipenjara? Kami tunggu apakah antara ucapan dan tindakan itu sama atau jangan–jangan nanti kabur dan takut balik-balik seperti saudara anda yang sampai sekarang masih belum berani pulang menunggu pergantian Presiden.
Yang terhormat Bahar Smith... saya yakin anda akan ditabok dengan bahasa kasih. Kalau anda sedang senang memaki saya maklumi mungkin anda sedang berusaha meraih popularitas sehingga perlu sensasi, tetapi mbok yao caranya yang lebih smooth, manis dan menyejukkan hati yang mendengarkan kotbah anda.
Salam Kasih Semoga anda sukses memaki-maki di penjara. Sampai….uhuk uhuk.
Salam.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews