Presiden Jokowi Harus Hentikan 31 Juta DPT “Genderuwo” Mendagri

Rabu, 12 Desember 2018 | 19:40 WIB
0
357
Presiden Jokowi Harus Hentikan 31 Juta DPT “Genderuwo” Mendagri
Koalisi Adil Makmur mempertanyakan data 31 juta DPT

Jika tak ingin dituding “menang curang”, Presiden Joko Widodo harus segera memerintahkan Mendagri Tjahjo Kumolo menarik kembali data 31 juta rekaman KTP Elektronik tapi belum masuk Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Pasalnya, 31 juta rekaman KTP Elektronik “genderuwo” itu diserahkan Kemendagri setelah KPU menetapkan DPT. Apalagi, data itu diminta untuk dibuka ditolak KPU dengan alasan rahasia. Rakyat semakin curiga, ada apa di balik pelarangan tersebut.

Adanya permintaan Kemendagri kepada KPU untuk menyisipkan data pemilih tambahan sebanyak 31.975.830 jiwa sebagai tambahan pemilih menimbulkan kecurigaan adanya permainan penggelembungan suara pada pemilu 2019 mendatang.

Pasalnya, data yang diserahkan oleh kemendagri ke KPU tersebut diserahkan setelah KPU menetapkan DPT sebanyak 185 juta pemilih untuk pilpres 2019 mendatang. Kemendagri terkesan sangat memaksakan DPT tersebut untuk dimasukkan ke KPU.

Karena sebelum penetapan DPT Kemendagri telah menyerahkan Data Penduduk Pemilih Potensial Pemilu (DP4) ke KPU sebanyak 196 juta, namun setelah ditelisik oleh KPU dan Parpol, hanya ditetapkan sebanyak 185 juta pemilih. Karena masih ditemukan adanya DPT ganda sebanyak 25 juta.

Tapi, KPU seakan bertindak tak netral, pasalnya data sisipan dari Kemendagri sebanyak 31 juta tersebut belum boleh dibuka dengan alasan kerahasiaan karena adanya tekanan dari Kemendagri ke KPU yang meminta agar data tersebut tidak dibuka.

Masyarakat mencurigai hal tersebut merupakan dugaan rencana pelanggaran pemilu yang sengaja dilakukan oleh pihak penguasa untuk mengamankan suara. Apalagi, beberapa survei menyatakan elektabilitas Jokowi saat mendekati hari pemilihan kian menurun.

Sekjen DPP PKS Mustafa Kamal menilai bahwa ada pelanggaran prinsip yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terkait pengungkapan temuan 31.975.830 jiwa yang sudah merekam KTP elektronik tapi belum masuk dalam DPT.

“Ada pelanggaran prinsip yang dilakukan Kemendagri. Baru menyerahkan data tambahan 31 juta ke KPU dan itu pun atas permintaan KPU berkali-kali, setelah kami menetapkan DPT,” ujar Mustafa Kamal, seperti dilansir Tribunnews.com, Rabu (17/10/2018).

Menurutnya, DP4 seharusnya diberikan Kemendagri sebelum DPT diputuskan. Sehingga, dia menuding, pemerintah terutama Kemendagri sudah melanggar prinsip serta berpotensi terjadi pelanggaran undang-undang.

Padahal, KPU beserta jajaran bersama dengan peserta pemilu sudah melakukan pengecekan data ganda di DPT. “Nah, kenapa ada data baru lagi? Jumlahnya 31 juta lagi. Ini potensi juga tidak terjadi transparansi,” ungkap Mustafa Kamal.

“KPU sudah perlihatkan political will bersama peserta pemilu. Kenapa Kemendagri seperti tanda kutip menyelundupkan 31 Juta?” lanjutnya. Ia mengkhawatirkan, adanya temuan data 31 jiwa itu berujung kepada ketidakpastian di dalam proses pemilu.

Sebelumnya, Badan Pemenangan Nasional (BPN) paslon Prabowo Subianto – Sandiaga Uno mempertanyakan temuan sebanyak 31.975.830 warga yang sudah merekam KTP Elektronik, namun belum masuk DPT. Ia meminta Kemendagri meningkatkan profesionalisme.

“Sehingga, kami semua mendapatkan kepastian hukum tentang data kependudukan. Kami minta Kemendagri bersikap transparan. Padahal dalam proses penetapan DPT, itu wakil Kemendagri hadir dan dimintai pendapatnya. Tapi tak ada pendapatnya,” tambahnya.

Sebelumnya, seperti ditulis Tribunnews.com, BPN Prabowo – Sandi mendatangi KPU, Jalan Imam Bonjol, Jakarta, Rabu (17/10/2018). Maksud kedatangan poros Indonesia Adil Makmur itu  untuk mempertanyakan adanya data 31 juta “genderuwo” dari Kemendagri itu.

Sekretaris Jenderal Gerindra Ahmad Muzani mengatakan bahwa data tersebut terbilang aneh karena diserahkan Kemendagri ke KPU setelah KPU menetapkan untuk pemilu 2019 yang mencapai 185 juta pemilih.

“Kami terkejut ada data 31 juta sekian belum masuk dalam daftar pemilih. Kami datang ke KPU untuk meminta penjelasan. Itu bukan angka kecil,” kata Muzani dalam siaran persnya, Rabu (17/10/2018).

Dalam pertemuan dengan pimpinan KPU itu, Muzani juga didampingi Sekjen PKS Mustafa Kamal, Sekjen Partai Berkarya Priyo Budi Santoso, dan anggota BPN Prabowo – Sandi dari PAN Abdul Hakam Naja, serta Ketua DPP Partai Gerindra Ahmad Riza Patria dan politisi PAN Dian Fatwa.

Menurut Muzani, sebelum penetapan DPT, Kemendagri telah menyerahkan DP4 kepada KPU mencapai 196 juta. Setelah disisir KPU dan parpol, KPU lalu menetapkan DPT hanya 185 juta.

‎Ketika itu, koalisi Prabowo – Sandi mengkritik bahwa dari 185 juta DPT tersebut masih ada sekitar 25 juta pemilih ganda. “Ini data apa lagi yang 31 juta itu. Apakah itu pengurangan atau penambahan dari angka 185 juta,” tanya Muzani.

“Kemudian apakah memang DP4 masih berubah setelah ditetapkan DPT? Apakah masih bisa ubah DPT, padahal sudah ditetapkan? Ini yang ingin kami mohon penjelasan dari KPU,” ujar Muzani lagi.

Menurutnya, KPU menerima keluhan dari koalisi Prabowo – Sandi.  KPU siap menyisir data baru dari Kemendagri tersebut. KPU akan teliti terlebih dahulu apakah itu data yang sudah masuk dalam 185 juta atau benar-benar data baru.

Sayangnya, KPU belum mengetahui data yang disebut oleh Kemendagri tersebut. Alasannya KPU tidak bisa mengakses karena ada surat edaran dari Kemendagri bahwa data 31 juta itu belum boleh dibuka. Alasannya karena “bersifat rahasia”.

“Tadi KPU menyebut adanya surat edaran dari Kemendagri yang menyebutkan tidak boleh membuka data itu. Alasannya karena masih rahasia. Kalau KPU saja tidak bisa buka, gimana kami. Ini misterius,” tegas Muzani.

Potensi Curang

Munculnya 31 juta DPT dari Kemendagri tanpa kejelasan identitas NIK dan KK 16 digit terindikasi sebagai DPT “genderuwo”. Karena, muncul tiba-tiba dan diminta Kemendagri memasukkan ke dalam DPT untuk pemilu dan pilpres 2019.  

Dari sinilah muncul pertanyaan, siapakah pemakai 31 KTP Elektronik dan KK Aspal yang tercantum dalam DPT genderuwo dari Kemendagri itu di Tempat Pemungutan Suara (TPS) nantinya? Dugaan pun bergulir liar di kalangan masyarakat.

Mengingat pengalaman saat Pilkada DKI Jakarta 2017 banyak “warga” keturunan China yang ingin mencoblos tapi tak bisa karena dilarang para saksi, karena hanya punya “KTP” Sementara dan tidak punya KK, sehingga tidak bisa memilih.

Mengapa sampai bisa punya KTP sementara tapi tidak ada KK? Jawabnya: Karena memang difasilitasi! Makanya, mengapa blangko pembuatan KTP Elektronik langka beberapa tahun ini? Karena diberikan kepada genderuwo supaya bisa nyoblos.

Kini, mungkin saja mereka sadar. Kalau mereka hanya membawa KTP Elektronik tanpa KK tidak dibenarkan untuk mencoblos. Ketika menyadari kekeliruan itu, mereka berusaha untuk memperbaikinya, dengan meng-copy data KK dan KTP penduduk Indonesia sekaligus lalu di cetak seperti asli.

Sehingga, data KK dan KTP pun akan terlihat sinkron dan terdaftar resmi dalam sistem KPU pasca dicetak dan diinput ke dalam sistem. Pertanyaan pun berlanjut: mengapa mereka bisa mencetak dan menggandakan KTP?

Mudah sekali jawabannya. Sedangkan uang saja bisa mereka cetak tanpa melalui PT Peruri, hanya izin dari BI. Apalagi KK dan KTP? Sudah tahu kan perusahaan yang mencetak kertas KTP dan KK?

Konon, perusahaan itu juga mendapat tender untuk mencetak kertas suara. Selain mencetak kertas STNK, BPKB, dan kertas bersegel lainya termasuk prangko! Nah, saat Pilkada Jabar 2018 dan Pilpres 2019 nanti, cetakan KTP dan KK itu akan mereka gunakan.

Lantas, siapa saja yang akan menggunakan KTP dan KK itu? Diduga, tentu saja pada Pilpres 2019, akan ada sebagian besar warga China yang masuk sebagai tenaga kerja di perusahaan-perusahaan China yang berada di Indonesia.

Sebagian lagi, digunakan warga China kelahiran yang pro capres petahana. Dan umumnya, orang China kelahiran ini berada di Surabaya, Medan, dan Kalimantan. Benarkah semua itu, hanya Mendagri dan Presiden yang bisa menjawabnya.

Karena itulah, supaya dugaan “potensi curang” ini tidak semakin liar, seharusnya Mendagri Tjahjo Kumolo segera menarik kembali data 31 DPT itu, sebelum Presiden Jokowi berniat untuk memerintahkan penarikan tersebut!

***