Pengambil kebijakan yang baik harus jeli analisa risiko. Ia tidak boleh melihat hanya dari satu aspek. Karena terlewat sedikit bisa fatal akibatnya.
Desakan lockdown dari berbagai kalangan kian masif melihat angka pasien Corona meningkat. Pemerintah merespon siapkan aturan. Pertanyaannya, sesiap apa kita melaksanakan lockdown? Tidak, ini bukan soel ekonomi, dampak lockdown yang paling bahaya bukan itu, tapi soal kesehatan. Di awal, saya menolak ini jauh sebelum Jokowi umumkan "no lockdown", jadi bukan masalah bela siapapun, murni analisa risiko.
Dalam dunia kerja risiko tinggi, ada yang namanya mitigasi, upaya menekan risiko serendah mungkin namun tetap harus masuk akal, bisa diterapkan. Kita coba dari tahap yang sangat awal, yaitu pengumuman karantina. Ada 2 kemungkinan respon,
1. Masyarakat santuy, nurut. Dampak? Tidak ada. Sukses.
2. Masyarakat panik, borong, mudik. Dampak? Kerumunan.
No.1 tak masalah, tapi no.2 masalah besar. Lanjut. Saat pengumuman, bagaimana cara kurangi pergerakan, cegah kerumunan atau mudik? Siagakan Polri/TNI sebelumnya. Kritisi lagi. Kalau warga tenang tak masalah, tapi jika malah panik melihat mereka wara-wiri dan memicu aksi pergi ke luar? Sudah tutup jalan tol luar kota, bandara dan pelabuhan, jalur pantura, pantasel dan terminal bis.
Jika masih nekat? Dampaknya, macet di gerbang tol, jalan dan terminal. Kalau semua duduk di kendaraan, nurut dialihkan balik, ini oke. Tapi kalau malah protes, keluar, memaksa buka blokir dan bersitegang dengan aparat? Bisa dicegah? Kalau bisa, oke. Jika tidak? Masalah besar. Kerumunan massa artinya potensi penularan masal. Lolos ke daerah, potensi menular. Tujuan lockdown itu minimalkan pergerakan, tapi bagaimana jika di lapangan justru memicu kerumunan dan penularan?
Ini belum bahas soal risiko chaos, amuk massa, penjarahan dan faktor ekonomi. Belum, belum sampai situ. Ini baru mitigasi aspek sosial dari karantina Jakarta. Rumit? Memang begini risk mitigation plan (rencana pengurangan risiko) dilakukan. Tiap aksi dikritisi dampaknya. Tidak setengah-setengah, harus tiap kemungkinan diantisipasi.
Baca Juga: Setelah Jokowi Blak-blakan Jadi Tahu Motif di Balik Desakan "Lockdown"
Lockdown memang solusi ideal, tapi jangan lupa, kita tidak cuma bicara soal virus, ada faktor manusia, perilaku, budaya dan sosial yang ikut terdampak. Negara otoriter seperti China jauh lebih mudah terapkan ini. Kita belum tentu. Kalau tak jeli antisipasi risiko, yang menanti justru malapetaka.
Italia gagal, lockdown awal membuat ribuan orang pindah dari kawasan utara ke selatan. Di Malaysia, orang malah ramai balik kampung. Di Manila, bandara dan jalan tol dipenuhi warga yang ingin keluar. Tak bisa dicegah.
Yang terbaru, di India, mungkin ratusan ribu orang bergerak saat lockdown. Mereka memenuhi jalan, bergerombol ke luar kota. Polisi? Tak berdaya. Malah ada yang jadi sasaran amuk warga.
Andai ingin karantina Jakarta, saya harap kita sudah jauh lebih matang dari negara di atas, antisipasi bisa dijalankan di lapangan, bukan cuma di atas kertas. Kalau tak sanggup, cari solusi lain.
Lockdown mungkin cocok di daerah. Bukan karantina rumah, tapi wilayah. Ini memungkinkan karena warga daerah tak akan mudik ke kota. Penyaluran bantuan pun relatif lebih mudah. Di Jakarta, bantuan banjir saja jauh dari merata padahal tak semua wilayah kena. Jika lockdown, sanggupkah pusat dan pemprov suplai bantuan sampai pelosok gang kampung? Saya percaya bantuan turun dari atas, tapi pastikah sampai ke semua di bawah?
Rumit? Njelimet? Ya memang. Mitigasi risiko itu sulit karena kita berhadapan dengan manusia. Dunia tidak berpusat di kita, pikiran orang belum tentu sama. Lockdown, patuh, selesai. Ini ideal, sangat bagus jika bisa. Tapi kenyataan kadang jauh dari ideal. Sekali lagi, kita berhadapan dengan faktor manusia. Virus tak bisa berpikir. Kalau orang ingin cuci tangan, virus tak bisa kabur dari tangan pindah ke bahu, begitu kering, pindah lagi ke tangan. Beda dengan manusia. Ketika ia dihalangi, ia mampu berpikir mencari jalan.
Jadi solusi tidak bisa cuma dilihat dari satu sisi, harus menyeluruh. Bukan apa-apa, kalau gagal, yang jadi korban justru kita, mulai dari nakes sampai warga, termasuk yang meminta karantina Jakarta.
Jika pemerintah memang siap dengan antisipasi kerumunan dan mudik masal, saya insyaAllah dukung 10000%. Saya tak ragu sedikit pun atas efektifitas karantina Jakarta dalam menekan penyebaran. Tapi jika itu di luar kemampuan, cukup itu di negara lain saja. Jangan ulangi kesalahan yang sama. Cari cara lain.
Baca Juga: Selamatkan Rakyat, "Lock Down" Segera Indonesia, Pak Presiden!
Pusat tak akan mampu kerja sendiri tanpa daerah, daerah pasti kesulitan jika tanpa pusat. Contoh, penelusuran kontak dengan pasien, pusat banyak bergantung dengan daerah karena daerah memiliki Dinas Kesehatan yang bisa lebih cepat telusuri jejak. Sebaliknya, daerah juga perlu pusat dalam pengadaan APD, persiapan lab, RS darurat termasuk tes cepat. Jadi, semua saat ini harus saling isi, saling bantu.
Warga saling bantu semampunya. Lupakan dulu soal bara pilpres. Silakan untuk yang masih ingin marah, luapkan semua kekesalan karena lambannya pemerintah. Buat yang masih sibuk nyinyir, sila puaskan. Tapi jangan lupa, setelah itu, sempatkan berkontribusi nyata sekecil apapun. Sedikit pun akan bernilai, walau hanya sebuah masker untuk nakes, nasi bungkus untuk pekerja harian atau tips bagi ojek online.
Pengambil kebijakan yang baik harus jeli analisa risiko. Ia tidak boleh melihat hanya dari satu aspek. Karena terlewat sedikit bisa fatal akibatnya. Tetaplah berkepala dingin di tengah panik masal. Negara punya segudang intel lapangan yang bisa memprediksi respon publik. Jika memang siap, segera karantina. Mohon sekali masyarakat ikuti himbauan, jangan mudik. Tapi jika ini berpotensi mudik besar-besaran dan kerumunan, maka jangan pernah ragu. Tinggalkan.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews