Damai Pemilu di Bulan Ramadan

Demonstrasi dan kasus HS yang sudah jadi tersangka sebenarnya hanya riak kecil dari sebuah skema besar menyoal delegitimasi KPU.

Senin, 13 Mei 2019 | 20:36 WIB
0
444
Damai Pemilu di Bulan Ramadan
Ilustrasi (Foto: Wordpress.com)

Hitung mundur pengumuman resmi rekapitulasi suara dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) sisa 9 hari lagi, Walhasil, tensi politik nampak kian memanas dan sulit dikendalikan. Isu miring bergerak bukan hanya bak bola liar tapi lebih dari itu, seperti guyuran hujan yang sulit dihindari. Eskalasi tekanan terhadap KPU makin digencarkan dengan skema mengendalikan persepsi publik menyoal wacana delegitimasi KPU.

Tak tanggung-tanggung, KPU bahkan sudah diduduki sebagian pendukung salah satu paslon capres-cawapres yang memang sejak awal sudah nyaring berkoar-koar tentang kecurangan pemilu dan keberpihakan KPU. Fatalnya, aksi yang didatangi sejumlah masa ormas tersebut, diikuti dengan tindakan yang tidak patut, seperti video ancaman “pemenggalan kepala Jokowi” oleh HS yang viral belakangan ini.

Baca Juga: 5 Butir Penting Deklarasi Penulis untuk Pemilu Damai

Demonstrasi dan kasus HS sebenarnya hanya riak kecil dari sebuah skema besar menyoal delegitimasi KPU. Kalau KPU sebagai representasi Pemilu di Indonesia dirongrong sedemikian kuat, dikhawatirkan Pemilu kita terciderai dan dinilai sebagai preseden buruk bagi Pemilu berikutnya. Seharusnya, yang perlu kita lakukan adalah mendukung KPU agar tetap bekerja secara independen, bebas dari tekanan pihak manapun.

Sebagai masyarakat akar rumput, seharusnya kita mulai belajar mengendalikan diri, belajar untuk lebih dewasa menyikapi dinamika politik, dan belajar lagi untuk menyadari bahwa kita tak boleh diperalat siapapun untuk mencapai hasrat politik mereka. Jangan lagi kita menjadi mahluk-mahluk mekanistik yang digerakkan oleh mesin hasrat kekuasaan elite lantaran terjebak logika perebutan kekuasaan.

Herbert Marcus menyebut realitas semacam ini sebagai "rasionalitas teknologis", atau dalam pandangan Max Horkheimer disebut "rasio intsrumental". Maksudnya, elite politik gencar merasionalisasikan kinerja dan interaksi mereka supaya diterima publik dengan kesan seolah-olah tanpa paksaan. Contoh paling aktual saat ini, ya, melalui pendekatan legitimasi agama seperti menggerakkan masa kelompok agama demi kepentingan politik.

Selain itu, narasi propaganda yang dibangun lewat kanal-kanal komunikasi politik seperti media sosial pun menuai hasil signifikan. Kembali lagi contoh ke kasus HS, saat dia mengucap sumpah dengan mengafiliasikan diri sebagai orang Poso, lalu mengikuti ucapannya dengan ancaman “penggal”, sejatinya sangatlah melukai logika kemanusiaan kita, logika primordial kita, juga kebangsaan kita.

Logika terbaliknya, HS sudah membawa-bawa nama baik orang Poso dalam ucapan “makarnya” itu, seakan-akan orang Poso itu bar-bar. Itu melukai hati orang Poso yang kini sudah adem-ayem pasca konflik sosial yang tak mengenakkan di masa lalu.

Bukan cuma itu, seorang rektor kampus swasta di Bogor malah sibuk menebar hoax lewat media sosial menyoal praktik klenik dalam Pilpres 2019 yang dialamatkan pada salah satu paslon. Fatalnya, informasi tersebut hanya didapat dari orang yang tidak ia kenal di facebook, lalu dengan sentimentilnya ia kembali menyebar hoax itu ke publik.

Tentu saja, sebagai seorang akademi dengan jabatan rektor, semestinya bisa berpikir jernih ketimbang orang awam. Tapi ini kebalikannya, malah menjadi produsen hoax di jagat maya.

Kaczmarczyk dalam bukunya Cyberdemocracy Change of Democratic Paradigm in the 21st Century (2010) menjelaskan bahwa demokrasi virtual melahirkan partisipasi aktif, interaktif, berjejaring, dan dapat bersifat personal.

Sehingga tak heran, jika informasi politik yang beredar di media sosial sangat cepat menjadi viral dalam diskursus publik lantaran setiap orang merasa menjadi bagian dari informasi yang diproduksi dan didistribusikan tersebut. Sayangnya, kerap kali kita (saya juga mungkin Anda) tidak jerni menyaring derasnya informasi yang diterima, sehingga cenderung termakan info bualan semata.

Baca Juga: Warganet Minta Pengancam Jokowi Dipancung, Lalu Apa Bedanya dengan Dia?

Oleh karena itu, mumpung lagi di bulan puasa, bulan suci Ramadan ini, mari kita belajar mengerangkeng syakwa sangka akibat politik pecah belah yang dimainkan oleh pihak tak bertanggung jawab. Saran saya, jangan lagi ada tendensi berlebihan jika bicara politik.

Mari kita serahkan semuanya pada mekanisme Pemilu yang sudah ditetapkan oleh undang-undang dan memberikan kepercayaan kepada KPU dan Bawaslu selaku penyelenggara Pemilu.

Kita harus legawa membiarkan semua kecurangan atau ketidakpuasan apapun terkait Pemilu diselesaikan secara hukum sesuai amanat undang-undang. Jangan habiskan diri kita untuk kedengkian politik yang diternak para aktor politik panggung belakang. Ingat, Pemilu itu milik rakyat, bukan untuk mereka pemburu kekuasaan yang jauh dari hati nurani rakyat.

***