Fenomena hoax adalah sebuah kenyataan sejarah. Dia lahir bersama dengan kelahiran era kebebasan media informasi. Namun, keberadaannya sering kali merusak tatanan masyarakat. Karena itu, fenomena hoax ditempatkan dalam ketegangan antara idealisme bermedia dan etika bermedia.
Media komunikasi massa,baik media cetak maupun media daring selalu berkembang mengikuti perkembangan zaman serta kemajuan teknologi. Peran media dalam penyebaran suatu berita akan sangat mempengaruhi pola pikir masyarakat dan kondisi sosial ekonomi di suatu wilayah.
Oleh karena itu, sangatlah penting untuk sebuah media dalam menyebarkan fakta atau kebenaran dalam berita yang akan disebarluaskan. Menurut The Contemporary English – Indonesian Dictonary, mengartikan hoax sebagai senda gurau, olok-olok, bersenda gurau, berolok-olok.
The Oxford Thesaurus American Edition, mengartikannya sebagai deception – tipuan atau lelucuon. Kamus Inggris – Indonesia tulisan John Echols dan Hasan Shadily, mengartikan hoax sebagai olok-olok, cerita bohong, dan memperdayakan. Kamus Besar Bahasa Indonesia tidak menggunakan kata hoax, tetapi dia menggunakan kata-kata yang dekat dengan pengertian hoax di atas, yaitu: berita rekaan yang dibuat untuk tujuan tertentu; atau sensasi yang terlalu dibesarkan untuk menarik perhatian masyarakat.
Perjalanan demokrasi di Indonesia disadari atau tidak dalam kondisi terancam oleh pemberitaan yang tidak bertanggungjawab. Penyebaran hoax semakin mekar sejak lahirnya media sosial sehingga hoax pun mendadak ikut menjadi bagian dari permainan busuk politik.
Pada kontestasi politik Pemilu 2019, seolah muncul dugaan penggunaan hoax sebagai strategi politik. Disebut ancaman serius karena pembuat berita bohong acapkali dimaksudkan untuk mendelegitimasi proses pemilu yang sedang berlangsung demi meraih kekuasaan.
Walaupun fenomena semacam itu tidaklah fenomena khas Indonesia karena negara lain, seperti Amerika Serikat dan Brasil, juga menghadapi peredaran hoax dalam kontestasi politik mereka, usaha dan perjuangan untuk memberantas hoax jangan sampai "kendor".
Kita semua memahami bahwa pelaku industri hoax juga sangat menyadari bahwa informasi bohong disertai data abal-abal bisa menjadi sarana ampuh untuk menciptakan persepsi publik. Tujuannya tentu saja meraih dukungan dan suara dalam kontestasi politik. Namun dalam suasana politik seperti saat ini, arus hoax yang kian deras mengalir di media sosial justru berpotensi mempertajam polarisasi dan pembelahan dalam masyarakat alias berpotensi membelah warga secara ekstrim berdasarkan pilihan politik.
Dengan begitu, hoax yang terus-menerus diproduksi di media sosial akhirnya berpotensi pula merongrong keutuhan bangsa. Inilah ujung permainan kebohongan yang mesti kita takutkan.
Selanjutnya, selain untuk menggiring persepsi publik, hoax juga bisa dimainkan secara strategis oleh kelompok-kelompok tertentu yang menginginkan Indonesia tetap dilingkupi instabilitas. Kelompok semacam ini sangat resah saat melihat Indonesia damai. Mereka menikmati berbagai peluang di balik berbagai kekacauan informasi yang ada di ruang publik.
Dalam bangsa yang beragam seperti Indonesia, ditambah pula dengan suasana politik jelang pemilihan presiden yang sedang mendidih. Risikonya pun sangat strategis, yakni kerentanan kohesi sosial yang bisa berimbas pada disintegrasi bangsa. Kelompok tersebut acapkali memainkan isu-isu lokal untuk "digoreng" di level nasional.
Mereka mencari titik-titik kegagalan pemerintah yang berkuasa di berbagai penjuru daerah, lalu dibedak-bedaki, dipoles dengan data-data dan fakta-fakta fiktif, diberi narasi kebencian dan kemudian ditutup dengan narasi ketakutan, lalu disebar di ruang publik nasional.
Walhasil, hal kecil mendadak menjadi besar, viral, dibagikan oleh banyak kalangan, dan kemudian menebalkan rasa saling benci di antara dua kubu pendukung politik. Jika sudah masuk pada level saling benci dan tak ditemukan instrumen mitigasi yang tepat, tinggal menunggu waktu untuk "pecah" dan "meledak".
Oleh karena itu, permainan berbahaya dengan menggunakan narasi kebohongan, narasi kebencian, dan narasi ketakutan harus dimitigasi sedemikian rupa.
Artinya instrumen itulah yang mudah dan efektif untuk melawan atau menumbuhkan hoax. Saatnya pemerintah untuk tegas menyatukan gerakan para pengelola media itu untuk menjadi ujung tombak melawan berita berkonten negative ini.
Harusnya bisa apabila para media ini mau bersatu. Hanya saja dalam kenyataan harus diakui persaingan di antara bisnis media ini sangatlah ketat. Bahkan sangat mungkin ada bisns medaia yang menjadi fasilitator untuk menumbuhkan semangat menyebarkan berita hoax itu. Semata-mata untuk kepentingan bisnisnya.
Misalnya dengan acara-acara talk-show yang mengundang pertentangan negative akan menjadi panutan bagi masyarakat Indonesia untuk ditonton dan ditiru mentah-mentah. Apalagi masyarakat yang pendidikannya sangat rendah bahkan tidak berpendidikan. Berita berit yang tidak benar akan dimakan dan ditelan habis-habisan oleh mereka.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews