Bahaya Efek Simpang Vaksin AstraZeneca, Indonesia Harus Waspada!

Seringan apapun infeksinya, long-haul Covid-19 akan menyebabkan gejalanya terus ada selama beberapa bulan di organ-organ tubuh yang terpengaruh.

Sabtu, 10 April 2021 | 13:41 WIB
0
211
Bahaya Efek Simpang Vaksin AstraZeneca, Indonesia Harus Waspada!
Vaksin AstraZeneca. (Foto: Antara.com)

Indonesia wajib waspada terkait efek simpang Vaksin AstraZeneca. Pasalnya, selain Vaksin Sinovac, Indonesia kini juga melakukan vaksinasi dengan vaksin AstraZeneca. Peringatan ini mengacu pada catatan Arie Karimah, Pharma-Excellent alumni ITB.

Meskipun MHRA (The Medicines and Healthcare Produsts Regulatory Agency) baru akan mengumumkan hasil kaji ulangnya pada Rabu atau Kamis pekan depan, tapi hampir pasti ada kaitan antara terbentuknya gumpalan darah di otak dengan AstraZeneca.

AstraZeneca itu dibuat dengan teknologi viral vector menggunakan adenovirus chimpanzee. MHRA menerima laporan 30 kasus penggumpalan darah, dengan 7 diantaranya meninggal, setelah dilakukan vaksinasi terhadap lebih dari 18 juta orang di UK.

Pihak EMA (The European Medicines Agency) juga tengah menyelidiki laporan 44 kasus penggumpalan darah di otak, dan bersifat sangat langka, disebut sebagai CVST (Cerebral Venous Sinus Thrombosis).

Kasus itu terjadi setelah dilakukan vaksinasi terhadap 9,2 juta orang di European Economic Area, yang meliputi negara-negara Uni Eropa, Islandia, Liechtenstein, Norwegia, Perancis, Jerman, dan Belanda menghentikan sementara vaksinasi pada orang muda.

Penghentian vaksinasi dengan vaksn AstraZeneca ini, karena kasus penggumpalan darah itu banyak terjadi pada wanita muda atau setengah baya. Meski demikian kelompok ini belum dianggap sebagai kelompok berisiko.

Dugaan sementara, menurut Arie Karimah, vaksin memicu produksi antibodi yang tidak biasa. Namun, asumsi ini dibantah, mengapa tidak terjadi pada vaksin lain, yang sama-sama menjadikan spike protein virus sebagai target vaksin.

Ada kemungkinan lainnya berkaitan dengan penggunaan pil KB. Tapi, belum ada data yang diungkap: berapa persen pengguna pil KB yang disuntik vaksin AstraZeneca dan mengalami kasus CVST? Sebelumnya, Arie Karimah menulis tentang Breakthrough Infection at Michigan, Amerika Serikat.

Negara bagian Michigan, yang telah selesai memvaksinasi lebih dari 1,8 juta warganya, kini tengah menyelidiki kasus “breakthroughinfection.Breakthroughinfection itu terinfeksi setelah divaksinasi.

Mereka mencatat: 246 orang masih bisa terinfeksi, 2 minggu atau lebih setelah suntikan kedua vaksin Pfizer atau Moderna, atau setelah suntikan vaksin Johnson & Johnson, yang memang cukup sekali suntik.

Dari 1,8 juta hanya 100.000 orang yang mendapat vaksin J&J. Ada 11 orang perlu dirawat di rumah sakit. Artinya, ini “melawan pakem” bahwa kalau sudah divaksinasi jika pun terinfeksi maka infeksinya ringan, tidak memerlukan perawatan di rumah sakit.

Tiga orang meninggal, 2 diantaranya dalam waktu 3 minggu setelah vaksinasi penuh. Mesk angka-angka ini kecil bila dibandingkan jumlah yang sudah divaksinasi, namun hal itu menguatkan 2 hal yang selalu perlu diingatkan kepada publik:

Pertama, vaksin tidak memberikan garansi mutlak (risiko nol persen) tidak akan terinfeksi. Kedua, memakai masker dan protokol kesehatan lainnya masih tetap penting selama musim pandemik masih berlangsung.

Kasus “breakthroughinfection ini tidak terlalu mengejutkan, karena pada mereka yang telah berusia lanjut atau memiliki sistem immune yang lemah bisa jadi tidak mampu membentuk antibodi yang cukup untuk melawan infeksi, meski sudah “dilatih” oleh pemberian vaksin.

Dan sekalipun vaksinnya memiliki efikasi yang nyaris sempurna: Pfizer 95% dan Moderna 94%. Tapi Johnson & Johnson “hanya”: 66% untuk mencegah infeksi sedang, dan 85% untuk mencegah infeksi parah.

Di samping itu, kluster sekolah di Michigan meningkat hingga 47% hanya dalam waktu 2 minggu, sehingga sebagian sekolah memutuskan untuk belajar dari rumah kembali.

Menurut Arie Karimah, pengetahuan tentang infeksi Covid-19 terus berkembang. Apa yang dianggap benar sebulan yang lalu belum tentu masih terjaga kebenarannya bulan ini.

Perlu dipahami terlebih dahulu istilah yang benar tentang reinfeksi Covid-19, yang berbeda dengan infeksi saluran pernafasan lainnya, juga perbedaannya dengan istilah lain:

Reinfeksi: terjadi jika seseorang terinfeksi Covid-19, kemudian sembuh dan virusnya tidak terdeteksi lagi oleh PCR, tapi kemudian terinfeksi kembali dengan strain virus yang berbeda. Jadi dibutuhkan genetic sequencing untuk memastikan terjadinya reinfeksi.

Bukan sekedar munculnya kembali gejala yang sama/mirip. Di seluruh dunia baru tercatat kurang dari 50 orang yang mengalami reinfeksi, sehingga kasusnya dianggap jarang/langka. Di AS hanya tercatat 5 kasus.

Jadi, reinfeksi hanya bisa dipastikan setelah diketahui genome virus di infeksi pertama dan kedua berbeda. Perlu dilakukan 2 kali sampling pada satu orang: di infeksi pertama dan kedua. Dan pada masing-masing sampel itu dilakukan genome sequencing.

Genetic sequencing adalah proses untuk mengidentifikasi sidik jari sebuah virus yang spesifik, sehingga bisa dibandingkan dengan strain virus yang lain. Contoh genetic sequencing.

Sebagai ilustrasi kemampuan genomic sequencing AS: 10 Jan: 252 sequences per minggu; 24 Jan: 2.238 sequences per minggu; Pertengahan Feb: 6.000 sequences per minggu.

UK melakukan sequencing terhadap 5-10% dari sampel yang mereka miliki. Bagaimana dengan kita? Berapa per bulan?

Seorang epidemiologist di state of Washington mengatakan, mereka berusaha melakukan genetic sequencing untuk genotyping 5% dari seluruh sampel yang sudah terkumpul. Dengan cara ini baru memungkinkan untuk menyortir 700 sampel yang berpotensi reinfeksi.

Genotyping juga akan membantu menandai keberadaan hasil mutasi genetik (varian), yang bisa mempengaruhi seberapa mudahnya virus menyebar dan seberapa parah infeksi yang ditimbulkannya.

Long-Haul Covid: infeksi pertama memicu gejala yang sangat melemahkan tubuh, yang bisa bertahan hingga berbulan-bulan, dan partikel virusnya bisa terus terdeteksi oleh PCR.

Reaktivasi Virus Dormant. Seperti halnya bakteri, sebagian virus juga bisa mengalami kondisi tidur (dormant), yaitu virus tetap ada di dalam tubuh namun tidak aktif dan tidak menunjukkan gejala penyakit.

Mirip dengan OTG, namun bedanya kasus dormant ini yang bersangkutan pernah terinfeksi dan menunjukkan gejala. Virus dormant ini load-nya sangat rendah, dan bisa berada di bagian lain di luar saluran pernafasan, sehingga tidak terdeteksi oleh PCR.

Baik karena lokasi keberadaannya yang tidak terjangkau oleh swab, atau memerlukan CT (cycle threshold) yang sangat tinggi untuk bisa terdeteksi. Tapi mereka bisa menyerang kembali suatu hari nanti.

Rendahnya viral load. Ini jugalah yang bisa menjelaskan kenapa penderita bisa mengalami kehilangan indra penciuman (anosmia) dan rasa (dysgeusia) begitu lama, karena virusnya masih berada di dalam tubuh dan melakukan replikasi (perkembangbiakan) dalam jumlah yang sangat kecil dalam jangka waktu yang lama. Berbulan-bulan.

Arie Karimah khawatir yang dianggap reinfeksi di Indonesia adalah reaktivasi virus dormant. Contoh yang sudah sangat dikenal tentang reaktivasi virus dormant adalah pada kasus herpes genital, yang disebabkan oleh virus Herpes Simplex tipe 2.

Berapa lamakah perlindungan alamiah yang diberikan oleh infeksi Covid-19 yang pertama? Penelitian terbaru menunjukkan, antibodi dan memory T-cells dan B-cells, yang berfungsi mengingat bentuk virus dan bagaimana cara memproduksi antibodinya, bisa bertahan lebih dari 8 bulan.

Apakah mereka yang sudah pernah terinfeksi perlu waspada terhadap reinfeksi? Jawabannya: Iya. Mereka mungkin tidak perlu khawatir selama beberapa minggu, atau bahkan beberapa bulan setelah sembuh.

Namun setelah itu tidak ada jaminan tidak akan mengalami reinfeksi. Dua faktor yang akan menentukan apakah akan terjadi reinfeksi, dan berapa cepat reinfeksi bisa terjadi:

Faktor internal: berapa banyak produksi (titer) antibodi yang terbentuk saat infeksi yang pertama. Makin rendah berarti makin besar risiko mengalami reinfeksi.

Jadi mereka yang mengalami infeksi ringan juga lebih berpeluang mengalami reinfeksi, karena diduga titer antibodinya masih rendah.

Faktor eksternal: berapa sering bertemu dengan virus. Hal ini mencakup: berapa orang penular yang ditemui, berapa sering, dan berapa lama pertemuannya. Makin sering berarti makin besar risiko mengalami reinfeksi.

Apakah gejala yang muncul pada reinfeksi lebih ringan atau lebih parah? Sebagian besar lebih ringan, karena tubuh sudah menghasilkan antibodinya. namun gejala juga dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti disebutkan di atas.

Dalam studi di Qatar, Inggris, dan AS menyebutkan peluang reinfeksi hanya 0,1 - 0,2%, dan reinfeksi terjadi pada sekitar waktu 16 – 20 minggu setelah infeksi pertama.

Jadi, seringan apapun infeksinya, long-haul Covid-19 akan menyebabkan gejalanya terus ada selama beberapa bulan di organ-organ tubuh yang terpengaruh. Virusnya masih ada dan tidur.

***