Apalagi dengan menggoreng isu PKI kali ini. Bukannya Tommy Soeharto akan mendapatkan simpati, diprediksi sebaliknya justru malah akan membuat rakyat semakin menjauhi.
Sungguh. Ini fakta, dan sama sekali bukan sekedar halusinasi yang direka agar jadi sebuah cerita.
Di halaman rumah, selain ditanami singkong, pisang, dan bila kebetulan memasuki musim palawija, selalu saya tanami jagung dan kacang-kacangan, hingga saat ini saya pun masih menyisakan dua pohon cengkeh yang tumbuh kerdil, bak hidup segan mati tak mau.
Bukan, bukan saya malas memberi pupuk, atau mengurus sebagaimana mestinya, tapi faktanya memang seperti itu. Padahal usianya sudah cukup tua juga. Orangtua saya menanamnya sekitar pertengahan tahun 70-an.
Dua pohon cengkeh itu memang merupakan peninggalan almarhum orangtua saya. Sehingga selain dianggap sebagai monumen kenang-kenangan terhadap mereka yang telah melahirkan dan membesarkan saya hingga sekarang ini, terus terang saja, oleh saya pun dijadikan sebagai pengekal ingatan terhadap rezim Orde Baru yang telah menghancurkan harapan petani cengkeh saat itu, dengan cara menurunkan harga salah satu komoditi unggulan pertanian tersebut hingga membuat para petani kehilangan gairah dan semangatnya lagi untuk membudidayakannya.
Baca Juga: Ada Apa Isu PKI Ramai Dibahas Lagi?
Betapa tidak, sejak saya mulai memiliki ingatan yang jelas, bisa jadi ketika saya memasuki usia 6 tahun, tepatnya di sekitar tahun 1966, di kebun dan di halaman rumah banyak sekali pohon cengkeh yang ditanam oleh orang tua saya.
Dari hasil panen cengkeh juga hidup keluarga kami bisa dikatakan berkecukupan, selain dari hasil panen padi di sawah - tentu saja. Bahkan memasuki tahun tahun 1972-an, saat saya duduk di bangku SMP, saya sudah dibelikan sepeda motor oleh ayah saya. Ketika itu tepat sesuai panen cengkeh.
Demikian juga saat di bangku SMA, adalah masa-masa yang paling indah dalam kehidupan saya. Kebutuhan uang saku selalu dipenuhi oleh orangtua.
Akan tetapi, kalau tidak salah saat memasuki tahun 1992, dan saya sendiri sudah berkeluarga, muncul Keppres yang menandai terbentuknya lembaga badan penyangga dan pemasaran cengkeh (BPPC) yang dipimpin langsung oleh putra mahkota Cendana, yankni Hutomo Mandala Putra, alias Tommy Soeharto.
Adapun tugas daripada Tommy Soeharto sebagai ketua konsorsium BPPC tersebut adalah menjadi satu-satunya pengontrol di bidang per-cengkeh-an. Semua petani wajib menjual hasil panen cengkehnya ke koperasi unit desa (KUD), dan kemudian dibeli oleh BPPC.
Di tengah monopoli itu, BPPC juga mendapat kredit dari Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) sebesar Rp569 miliar, pun dapat pinjaman komersial dari Bank Bumi Daya sebesar Rp190 miliar. Tentu saja semua diperintahkan oleh Soeharto. Dana itu seharusnya sebagian disalurkan sebagai bantuan ke petani. Apa daya, bantuan itu tak pernah sampai, dan diperkirakan meluncur mulus ke para petingginya.
Sebagai pihak satu-satunya yang bisa membeli cengkeh, maka BPPC pun bebas memainkan harga. Mereka membeli cengkeh dari petani dengan harga semurah-murahnya, dan menjual ke pabrik rokok dengan harga semahal-mahalnya. Sebelum ada BPPC, harga terendah cengkeh adalah Rp20 ribu per kilogram. Setelah ada lembaga ini, harga cengkeh turun drastis hingga Rp2 ribu per kilogram. Seketika, cengkeh yang tadinya emas, menjadi onggokan rempah tak berharga.
Karena itu juga Tommy Soeharto dan BPPC-nya dijuluki VOC gaya Orde Baru.
Begitulah kisahnya.
Sehingga bukanlah kenangan manis dan indah yang dirasakan saya dan keluarga manakala ingat Orde Baru dan Tommy Soeharto. Melainkan keculasan dan kekejamannya yang bisa jadi melebihi kejamnya kaum kolonial Tempo Doeloe.
Jadi fakta apa lagi yang akan didustakan?
Dan sekarang ini, manakala bangsa ini sedang dilanda keprihatinan di tengah pandemi Covid-19 yang menimbulkan dampak signifikan di segala sektor kehidupan, tetiba muncul kembali isu bangkitnya PKI yang sejatinya sudah terkubur lama sekali.
Adapun mereka yang pertama kalinya menghembuskan isu tersebut, di antaranya ada nama Tommy Soeharto, yang konon melalui akun Twitter @tommy_soeharto mencuit tentang kebangkitan PKI.
Ada apa dengan Tommy Soeharto? Demikian pertanyaan yang muncul atas sikap putra mahkota Cendana ini
Baca Juga: Sejarah Kelam Tommy Soeharto, Simpul Oligarki di Balik Prabowo Subianto
Apakah dia masih berambisi untuk merebut panggung yang dulu dikuasai ayahnya selama 32 tahun, dan bermimpi untuk memimpin negeri ini dengan segala cara yang pernah berlaku di masa ayahnya menjadi penguasa tunggal rezim Orba, yang kental dengan kolusi, nepotisme, dan korupsi (KKN), serta mengeruk sumberdaya alam Indonesia ini hanya demi kejayaan keluarganya seperti saat itu, dan menainjan isu PKI sebagaimana yang dilakukan Soeharto sendiri saat merebut kekuasaan dari Presiden Soekarno di tahun 1966 yang telah lalu?
Sepertinya impian mas Tommy Soeharto ini, tidaklah semudah saat almarhum ayahnya merebut kursi RI-1 dari Bung Karno. Lantaran rakyat Indonesia sekarang ini lain dengan masa tahun 1960-an. Terlebih lagi rekam-jejak mas Tommy Soeharto sendiri sudah bukan rahasia lagi.
Terbukti beberapa kali mendirikan partai politik, tak pernah lolos ke Senayan, sebagaimana pemilu lalu dengan partai berkarya-nya itu. Dan itu apalagi artinya kalau bukan nama trah Soeharto sudah tak laku lagi bagi rakyat Indonesia sekarang ini.
Apalagi dengan menggoreng isu PKI kali ini. Bukannya akan mendapatkan simpati, diprediksi sebaliknya justru malah akan membuat rakyat semakin menjauhi.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews