Sejarah Kelam Tommy Soeharto, Simpul Oligarki di Balik Prabowo Subianto

Jumat, 28 Desember 2018 | 06:01 WIB
0
867
Sejarah Kelam Tommy Soeharto, Simpul Oligarki di Balik Prabowo Subianto
Tommy Soeharto di Barisan Prabowo [Kompasiana.com/tilariapadika]

"In 1990, the American firm AT&T was competing with Japan's NEC and Sumitomo for the right to sell $300m of telephone equipment. The Americans engaged as their "agent" the President's oldest daughter, Siti Hardijianti Rukmana, known as "Tutut". The Japanese hired Hutomo "Tommy" Mandala Putra, the youngest boy. The unfortunate officials presented with the dilemma of choosing between two of the President's offspring came up with an ingenious solution: they doubled the size of the contract, and awarded the prize jointly."

Kutipan di atas adalah penggalan artikel Richard Lloyd Parry di Independent, terbit 13 Desember 1996, berjudul "Suharto Inc. Probably the biggest family business in all Asia." 

Artikel yang telah berusia lebih dari 20 tahun ini bercerita tentang bagaimana keluarga Soeharto membangun kekayaannya berbasis kolusi dan nepotisme, membuat keluarga ini diduga sebagai keluarga terkaya di seluruh Asia.

Saat Richard menulis artikelnya, harta kekayaan Soeharto berdasarkan taksiran CIA pada 1989 sebesar USD 30 miliar. Jika gunakan kurs Rp 13.000, nilai saat ini mencapai Rp 390 triliun. Kekayaan ini berpusat di 4 anak Soeharto, Tutut, Bambang, Tommy and Sigit, membuat mereka masuk dalam daftar 13 orang Indonesia non-peranakan terkaya saat itu.

Kasus penggelembungan kontrak pengadaan alat telepon menjadi dua kali lipat demi mencegah perseteruan antara Tutut Soeharto yang bermain untuk AT&T dengan Tommy Soeharto yang berkongsi dengan perusahaan Jepang Nec dan Sumitomo hanyalah satu contoh dari sekian banyak fakta bagaimana proyek pemerintah dan perekonomian dikelola dengan semangat nepotisme di lingkaran keluarga Cendana.

Hingga saat ini, 20 tahun setelah Soeharto tumbang, meski jumlah kekayaannya sudah berkurang jauh, 3 anak Soeharto masih termasuk dalam jajaran orang terkaya Indonesia walau posisi mereka bukan lagi pamuncak.

Dalam peringkat orang terkaya Indonesia 2018, Tommy Soeharto, yang kini paling kaya di antara putra-putri Soeharto berada di peringkat ke-60 dengan taksiran kekayaan mencapai USD 670 juta atau sekitar Rp 9,7 triliun. Sebagian besar kekayaan itu ditenggarai terkumpul berkat kontrak bisnis di masa lalu yang ia peroleh berkat statusnya sebagai anak penguasa.

Berikut kita akan melihat beberapa contoh kasus bagaimana kekayaan Tommy Soeharto itu terkumpul.

#1 Monopoli perdagangan cengkih

Di masa lampau, salah satu sumber kekayaan Tommy Soeharto berasal dari monopoli cengkih yang diberikan ayahnya melalui Keputusan Presiden Nomor 20 tahun 1992 dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1992. Kepres dan Inpres cengkih ini menetapkan Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkih (BPPC) sebagai lembaga pemegang monopoli perniagaan cengkih. Petani wajib menjual cengkih ke BPPC dan perusahaan di Indonesia hanya boleh membeli cengkih via BPPC.

Lucunya BPPC didirikan oleh 3 lembaga, salah satunya adalah perusahaan milik Tommy Soeharto, PT Kembang Cengkih Nasional.

Bukan saja dihadiahi monopoli, BPPC juga mendapatkan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) melalui Bank Bumi Daya senilai Rp 759 miliar.

Monopoli perdagangan cengkeh oleh Tommy Soeharto melalui BPCP dinilai merugikan petani sebab uang hasil penjualan yang seharusnya dinikmati petani diduga disunat BPCP. Menurut dugaan, Tommy Soeharto mendapat untung hingga Rp 1,4-Rp 1,7 triliun dari skema ini.

Monopoli cengkeh yang merugikan petani ini sempat diproses hukum pada 10 tahun lampau namun kandas oleh surat disposisi perintah penghentian penyidikan dari Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung Marwan Effendy tanpa alasan yang jelas.

#2 Meraup untung rente Ekspor-Impor minyak

Pada masa kekuasaan Soeharto, Pertamina mengimpor BBM dan mengekspor minyak mentahnya melalui Perta Oil Marketing dan Permindo Oil Trading. Tommy Soeharto dan Bambang menguasai porsi saham yang besar di dua perusahan ini sejak pertengahan 1980an.

Menurut mantan Menteri Pertambangan dan Energi Subroto, Pertamina seharusnya bisa melakukan ekspor-impor minyak secara langsung tanpa melalui perantara.

Pada 1997-1998, dua perusahan ini menangani 500 ribu barel per hari ekspor-impor minyak Pertamina dan meraup untung dari komisi tahunan hingga 50 juta dollar. Ini belum termasuk keuntungan hasil mark-up. 

Diberitakan Times, rekan bisnis Tommy dan Bambang di industri migas mengaku dari bisnis ekspor-impor minyak itu Tommy dan Bambang mendapat tambahan pendapatan dari mark up harga sekitar 200 juta dolar per tahun pada era booming minyak 1980an, dan sekitar 100 juta dolar per tahun pada era 1990an.

#3 Mobil Timor

Juli 1996, Tommy Soeharto meluncurkan Sedan Timor, merek proyek mobil nasional meski seutuhnya merupakan sedan build-up dari KIA Motors Korea. Nama aslinya KIA Sephia. Peluncuran Timor ini terjadi hanya 2 bulan setelah wafatnya Ibu Tien Soeharto, 28 April 1996.

Ironi, beredar rumor kematian Ibu Tien itu akibat diterjang peluru dalam pertikaian Tommy Soeharto dan Bambang Trihatmodjo berebut proyek mobil nasional.

Mantan Kapolri Jenderal Sutanto sudah membantah rumor itu dan mengaku Ibu Tien meninggal karena serangan jantung. Namun publik tak mudah percaya kepada kisah yang keluar dari mulut Jenderal Orde Baru.

Terlepas dari benar atau tidaknya kematian Ibu Tien karena diterjang peluru salah satu putranya, Tommy dan Bambang memang berseteru dalam proyek mobil nasional.

Peluncuran Timor alias KIA Sephia 2 bulan lebih awal kabarnya untuk mencegah didahului Bambang Trihatmodjo dengan Bimantara Nanggala dan Cakra yang juga diklaim sebagai mobil nasional. Jika Timor aslinya KIA Sepphia, "mobil nasional" Bambang juga sebenarnya Hyundai Accent. Ini pertarungan sesama Korea di belakang anak-anak Soeharto. Seperti pertarungan AT & T Amerika Serikat dan Sumitomo Jepang dalam pengadaan alat telekomunikasi di belakang Tutut dan Bambang.

Seperti dalam tata niaga Cengkeh, Tommy Soeharto melalui PT Timor Putra Nasional, anak perusahaan Humpuss mendapat proyek mobil nasional melalui penunjukan langsung. Soeharto terlebih dahulu mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1996 tentang Pembangunan Industri Mobil Nasional. 

Ternyata yang dimaksudkan sebagai pembangunan industri mobil nasional adalah kerjasama dagang antara putra bungsunya dengan perusahaan Korea Selatan.

Untuk membantu PT Timor Putra Nasional memenangkan persaingan dagang di pasar mobil tanah air, Soeharto menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 1996 tentang Pembebasan Bea Masuk Komponen Impor.

Berbekal Kepres 42/1996 ini, Tommy Soeharto bisa menjual Timor separuh harga dibandingkan mobil sejenis. Timor bisa diperoleh dengan harga Rp 37 juta, sementara harga Corolla, salah satu pesaingnya Rp 76 juta. Saat itu yang bisa menyaingi harga Sedan Timor hanya mobil Korea yang diimpor kakak sekaligus saingan Tommy, Bambang, yaitu sedan Cakra yang dijual dengan harga sekitar Rp 40 juta.

Pada 22 April 1998, oleh pengaduan Jepang, Dispute Settlement Body WTO memutuskan bahwa program mobnas Indonesia melanggar asas perdagangan bebas sebab menciptakan monopoli bagi perusahaan mobil Korea Selatan. Seiring tumbangnya Soeharto, sedang Timor pun tak lagi berstatus mobil nasional dan kehilangan hak istimewanya.

#4 Tukar Guling  PT Goro Batara Sakti dan Bulog

Skandal Tommy Soeharto bersama PT Goro Batara Sakti mungkin salah satu skandal Tommy Soeharto yang paling terkenal. Selain karena kasus ini berujung pada penembakan Hakim Agung Syaifuddin Kartasasmita; juga karena peradilan terhadap PT Goro Batara Sakti adalah rangkaian panjang beberapa peradilan berbeda. Ada peradilan pidana korupsi yang terjadi pada 1999-2000, yang berlanjut di tingkatan kasasi hingga 2011. Ada peradilan perdata yang hingga tingkat kasasi MA baru berakhir pada 2015; ada pula gugatan pailit pada 2004.

Kasus tukar guling yang merugikan negara 96 miliar (nilai 20 tahun lalu) bahkan berekor panjang hingga 2018 ini sebab salah satu terpidananya, Hokiarto yang melarikan diri sejak 2011 baru berhasil ditangkap pada 2017 dan kini dieksekusi penjara di Cipinang. Baru pada Mei 2018 lalu, Seksi Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Jakarta Utara berhasil melakukan penagihan dan eksekusi pidana uang pengganti sebesar Rp. 32,5 miliar atas Hokiarto.

Dalam Keputusan Mahkamah Agung Nomor 886 K/Pdt/2015 dijelaskan bahwa kasus ini bermula ketika Kabulog Beddu Amang pada 17 Februari 1995 membuat Memorandum of Understanding (MoU) dengan Tommy Soeharto selaku Komisaris Utama PT. Goro Batara Sakti. MoU itu terkait ruislag (tukar guling) Kompleks Pergudangan Bulog (sebidang tanah, gedung kantor, dan gudang seluas + 50 Ha) di  Kelapa Gading Jakarta Utara dengan tanah seluas + 125 Ha di kawasan dengan peruntukan pergudangan yang ketika itu diklaim milik PT. Goro Batara Sakti.

MoU Beddu Amang dan Tommy dilanjutkan dengan surat Beddu Amang kepada Menkeu Marie Muhamad disertai MoU Kabulog dan Menkeu yang salah satu poinnya menyatakan menurut Presiden Soeharto ruislag tersebut dapat dilakukan dengan bekerja sama dengan PT. Goro Batara Sakti.

Menkeu pun mengirim surat kepada Presiden Soeharto pada 31 Juli 1995 yang kemudian mendapat balasan dari Presiden melalui Mensesneg pada 11 Oktober 1995 yang menjelaskan bahwa Presiden Soeharto menunjuk PT. Goro Batara Sakti sebagai pelaksana ruislag dengan Bulog.

Oleh adanya dugaan korupsi ruislag Bulog-PT Goro, pada 19/2/1999, Beddu Amang, Tommy Soeharto, dan Richardo Gelael (Dirut Goro) jadi terdakwa. Namun PN Jaksel pada 14 Oktober 1999 membebaskan Tommy dan Richardo dengan alasan tidak ditemukan bukti-bukti kuat. Atas putusan ini, Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi.

Di tingkat kasasi, pada 22 September 2000, Majelis Agung Mahkamah Agung, yang diketuai M Syafiuddin Kartasasmita memutuskan menghukum Tommy dan Gelael masing-masing 18 bulan penjara dan denda Rp30,6 miliar.

Tommy Soeharto melawan keputusan ini, mengajukan PK pada 30 Oktober 2002 dan mengajukan grasi kepada Presiden Abdurrahman Wahid pada 3 Oktober 2000.

Gus Dur menolak grasi Tommy Soeharto pada 2 November 2000, 2 hari kemudian JPU hendak mengeksekusi penahanan Tommy. Gaga! Tommy telah melarikan diri. Ia menjadi buronan.

Untuk kasus korupsi tukar guling Bulog-Goro, Tommy kemudian dinyatakan tak bersalah oleh putusan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung pada 1 Oktober 2001. Banyak orang menilai keputusan ini merupakan bentuk 'tukar guling' agar Tommy mau menyerahkan diri.

#5 Pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita

Pada 26 Juli 2001, Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita tewas tertembak.

Pada 6 Agustus 2001, dalam pengejaran terhadap Tommy Soeharto (terkait status DPO atas kasus korupsi tukar guling Bulog-PT Goro) polisi berhasil menemukan rumah yang disewa Tommy selama masa pelariannya. Rumah itu terletak di Jalan Alam Segar III No. 23, Pondok Indah, Jakarta Selatan.

Ketika digeledah, polisi menemukan 13 telepon genggam yang dirangkai dengan bom; 74 batang dinamit yang juga sudah dirangkai puluhan bom; satu pucuk pistol kaliber 32; dua senapan jenis M-16; tiga kotak peluru kaliber 22; beberapa granat jenis manggis; sejumlah rompi dan jaket anti peluru;  serta 10 sarung tangan dan satu borgol. 

Polisi juga menemukan sejumlah dokumen yang mengaitkan hubungan Tommy Soeharto dengan Gerakan Aceh Merdeka.

Hasil penggeledahan ini membuat polisi menduga Tommy Soeharto terlibat pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin dan sejumlah aksi peledakan bom di Jakarta.

Pada 7 Agustus 2001, polisi tangkap Mulawarman dan Noval Hadad, dua tersangka penembak Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita yang mengaku membunuh atas perintah Tommy Soeharto. Dua hari kemudian Polda Metro Jaya mengumumkan perintah tembak di tempat atas Tommy Soeharto.

Tommy berhasil ditangkap pada 28 November 2001 di Pondok Indah, Jakarta Selatan.

Pada 26 Juli 2002, PPN Jakpus memvonisnya 15 tahun penjara sebab terbukti memerintahkan pembunuhan Hakim Agung Syafiudddin Kartasasmita.

Pada 6 Juni 2005, MA menolak permohonan PK Tommy Soeharto namun juga memutuskan mengurangi masa hukuman penjara Tommy Soeharto jadi 10 tahun penjara. Setelah mendekam di penjara selama 6 tahun, Tommy bebas bersyarat pada 30 Oktober 2006.

Masih banyak catatan kelam Tommy Soeharto yang akan terlampau panjang jika dijabarkan semuanya.

Kini Tommy Soeharto Ketua Partai Berkarya, salah satu peserta pemilu 2019. Dalam pilpres 2019, Partai yang kepengurusannya berisi anak-cucu dan loyalis Soeharto ini berbaris di kubu Prabowo Subianto.

Sepertinya keluarga Cendana memiliki posisi tawar yang besar di kubu Prabowo-Sandiaga, tampak dengan munculnya narasi kembali ke masa Orde Baru yang kian santer disuarakan tokoh-tokoh koalisi, termasuk oleh elit-elit Partai Gerindra.

Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno mungkin saja diuntungkan oleh dukungan Tommy Soeharto dan para loyalis Cendana melalui Partai Berkarya. Selain kanalisasi suara pemilu Partai Berkarya ke Prabowo-Sandiaga dalam pilpres dan dukungan sumber daya manusia, mungkin saja Tommy dan Partai Berkarya membawa pula bala bantuan logistik ke dalam koalisi.

Namun di sisi lain, kehadiran Partai Berkarya membantah sendiri narasi yang kerab Prabowo Subianto teriakkan dengan lantang, yaitu perlawanan terhadap oligarki bisnis yang memanfaatkan kekuasaan sebagai sumber rente ekonomi. 

Bagaimana bisa Prabowo menjanjikan kebebasan Indonesia dari oligarki bisnis perampok rente ekonomi sememtara kereta yang ia tumpangi menuju kekuasaan digerakkan oleh para oligarki itu?

Adalah kecemasan yang masuk akal bahwa jangan-jangan jika berkuasa nanti, Prabowo mengambil alih peran Soeharto, menjadikan kekuasaannya sebagai alat bagi-bagi proyek dan hak istimewa dalam bisnis bagi keluarga Cendana dan orang-orang dekatnya. Mungkin bukan oleh kemauan Prabowo sendiri melainkan sebagai konsesi, balas jasa atas dukungan politik yang ia peroleh menuju kekuasaan. Bagaimana pun, politik borjuis adalah take and give. Ketika aktor-aktor kunci politik adalah para pengusaha kakap, apalagi yang mereka harapkan selain rente dari kekuasaan itu?

Sumber:

  1. Richard Lloyd Parry (Independent, 13/12/1996) "Suharto Inc. Probably the biggest family business in all Asia."
  2. John Colmey and David Liebhold (Times, 24/05/1999). "The Family Firm."
  3. Mahkamah Agung Republik Indonesia, "Putusan Nomor 886 K/Pdt/2015."
  4. DW.com, 07/06/2016) "Mesin Uang Gurita Cendana."
  5. DW.com (25/05/2007) "Kasus Tommy-BPPC Diperiksa Lagi"
  6. Detik.com (15/05/2018) "Bayar Rp 32 Miliar, Ini Jejak Koruptor Hok di Kasus Bulog-Goro."
  7. Detik.com (07/03/2006) "Tommy Soeharto Sudah Jalani 2/3 Masa Hukuman."
  8. ICW (antikorupsi.org, 03/08/2007) "perkara Uang Tommy; Data Ruilslag Bulog-Goro Lebih Komplet."
  9. Koran Tempo (07/08/2001) "Tommy Di Balik Teror Bom."
  10. Gatra.com (04/11/2000) "Kronologi Kasus Tommy Soeharto."
  11. Hukumonline (26/07/2002) "Keempat Dakwaan Terbukti, Tommy Divonis 15 Tahun Penjara."
  12. Hukumonline.com (01/10/2001) "PK Mahkamah Agung Bebaskan Sang Buronan."
  13. Kumparan.com (31/03/2017) "Rentetan Kasus Hukum Tommy Soeharto."
  14. Kapanlagi.com (17/08/2006) "Tommy Soeharto Bebas Bersyarat Pada September 2006."
  15. Liputan6.com (25/07/2018) "3 Anak Soeharto Ada di Jajaran Orang Terkaya Indonesia."
  16. Liputan6.com (07/08/2001) "Tommy Soeharto Dalang Pembunuh Syafiuddin Kartasasmita."
  17. Suhendra (Tirto.id. 09/05/2017) "Mobnas Rasa Korea dan Persaingan Tommy Versus Bambang Tri"

***