Jiwa Entrepreneur

Proyek DP 0 persen itu untuk kepentingan media. Gagal atau berhasil, layak atau tidak, populis atau idealis, berita-berita tentang program tersebut telah menghidupi media.

Jumat, 19 Maret 2021 | 09:34 WIB
0
160
Jiwa Entrepreneur
Anies Baswedan (Foto: CNN Indonésia)

Saat ‘ngopi-ngopi’ tadi, saya dan beberapa sahabat membahas tentang ‘jiwa entrepreneur’. Dimulai dari teman Tionghoa kami yang berkisah bila ayahnya kurang bakat dagang dibanding orang-orang Tionghoa umumnya. Maka perekonomian rumah tangga sangat ditopang kemampuan dagang ibunya, sementara ayahnya sebenarnya sangat berbakat musik.

Sayang, kata sahabat saya itu, ayahnya besar di masa keluarga Tionghoa tidak begitu berkenan bila anaknya menjadi pemusik. Takut masa depan tak terjamin.

Bukannya dari bermusik bisa dapat uang yang banyak ya, tanya salah satu dari kami. Teman saya segera menjawab, “Iya sih. Kalo jadi, kalo kagak? Dan perbandingan yang berhasil dibanding yang gagal banyakan yang gagal. Apalagi masa itu pentas musik langka, dan hanya skala besar. Itu pun langka terjadi. Belum ada job musik sederhana kayak organ tunggal. Keyboard canggih belum ada. Mau makan apa kita?”

Akhirnya musik cuma bisa untuk hobby. Cari makan tetap di jalur lain. Pembicaraan kami pun beralih ke orang Nusantara yang aneh di mata orang banyak etnik lain di dunia: membayar sejumlah uang untuk mendapat pekerjaan. Mulai dari lowongan perusahaan swasta, sektor publik hingga anggota Legislatif. Membuat kisah tentang calo atau makelar pekerjaan jadi cerita sehari-hari. “Kan bego ya. Kerja itu kan buat cari uang,” kata salah seorang sahabat. “Cari uang kok dimulai dengan buang uang…”

Kami tentu tertawa tergelak-gelak. “Itu namanya jiwa ‘gambling’ masyarakat kita besar.”sahabat yang lain ikutan nyeletuk. “Orang punya rumah cuma satu, nekat dijual demi modal ikut pilkades atau jadi caleg. Padahal sehari-hari dia pengangguran, prestasi nggak ada, terkenal juga enggak, di nalar aja… gimana mau menang? Rasionalitas memang bukan ciri masyarakat kita”

Dalam artikel ‘Ekonomi Politik Kebudayaan’ yang ditulis oleh Sugeng Bayu Wahono, dikatakan bahwa cara berpikir Barat mengandalkan rasionalitas. Logis dan positivistik, dalam arti berbasis sains. Maka teori ekonomi Klasik, yang menjadi pelopor kajian ekonomi modern, bertumpu pada asumsi rasionalitas. Bahwa semua pelaku ekonomi dianggap rasional dan bukan normatif dalam mengambil keputusan.

Dalam pandangan ekonomi Klasik, seseorang lebih memilih membeli rumah meski yang paling murah sekalipun, daripada tas branded Gemes yang seharga rumah itu. Menjual rumah untuk membeli tas Gemes, dalam kacamata ekonomi Klasik tentu saja sesuatu yang membuat Adam Smith menangis karena merasa gagal dipahami.

Entah bagaimana pendapat Adam Smith tentang pebisnis kaya yang kehilangan hartanya karena memelihara berondong atau menjadi sugar daddy. Siapa tahu bagi Smith, kepuasan bercinta adalah sesuatu yang bisa dikapitalisasi.

Karena semua dianggap rasional inilah, teori ekonomi klasik abai terhadap dimensi etis dalam kajian-kajiannya. Kultur Barat, yang menjadi tempat kelahiran ekonomi klasik, cenderung memisahkan antara ilmu pengetahuan dan moralitas. Kealpaan dimensi etis ini melahirkan ekses buruk dari ekonomi klasik: timbulnya pelaku ekonomi liberal yang menindas.

Lahirlah orang-orang miskin termarjinalisasi dan gagal bangkit dari kemiskinannya karena faktor-faktor produksi dikuasai pemodal besar. Sebagaimana lelucon terkenal tentang siapa yang paling jahat di muka bumi. Ternyata jawabannya bukan setan ataupun iblis, melainkan ‘rentenir lintah darat di masa hyper inflasi’.

Kemudian muncul apa yang disebut politik ekonomi kritis (critical political economy), teori ekonomi dengan kebijakan-kebijakan yang dibangun dengan pertimbangan etis, sebagai kritik atas ekonomi klasik yang murni bertumpu dan memuja rasionalitas. Bila pemikiran ekonomi klasik berlatar belakang masa revolusi industri, transisi masyarakat agraris ke masyarakat industri, ekonomi kritis lahir sebagai kritik dari masyarakat industri yang sangat bermodus produksi dan memacu era kapitalisme awal.

Teori ekonomi kritis ini menyerang argumen ekonomi klasik yang dianggap mengabaikan kemanusian. Rasionalitas menyebabkan pelaku ekonomi terus memacu produksi, berorientasi pada pertumbuhan dan lupa pada pemerataan.

Salah satu pemikir terkenal ekonomi kritis adalah Karl Marx. Ia membuat serangkaian kritik terhadap kapitalisme yang terfokus untuk memacu produksi sehingga seringkali melakukan eksploitasi tenaga kerja.

Selain Marx, para ekonom neo klasik juga mulai memasukkan dimensi etis pada kajian-kajiannya. Hukum tentang kembalian yang menurun, The Law of Diminishing Return misalnya.

Bahwa pada suatu titik, pertumbuhan akan melambat, terus melambat hingga di suatu titik justru tak ada lagi pertumbuhan. Menambah tenaga kerja terus, pada akhirnya bukan meningkatkan kinerja, tetapi justru membuat para pekerja ongkang-ongkang saling mengobrol, hingga akhirnya mereka saling membuat intrik untuk melakukan demo kenaikan upah.

Di pihak lain, menambah beban kerja terus sekalipun diikuti dengan peningkatan upah, pada suatu titik akan membuat tenaga kerja sakit dan tak produktif. Berpoligami mungkin pada suatu titik akan kehilangan arti indahnya bercinta, tapi justru terasa beban yang sulit dilakukan mengingat faktor U. Ini Cuma contoh lho…

Pertambahan atau pertumbuhan bukanlah sesuatu yang linear, tetap ada limitnya. Seseorang kaya yang gemar membeli tas mahal Gemes terus menerus, pada suatu ketika kehilangan rasa gemesnya melihat tas Gemes. Apa yang dianggapnya dulu membahagiakan, memandang tas Gemes, kini baginya biasa saja. Dan mendadak ia depresi karena tak tahu lagi bagaimana mencapai kebahagiaan. Dimensi baru di luar rasionalitas perlahan masuk dalam kajian-kajian ekonomi. Era ekonomi kritis. Seperti juga John Maynard Keynes yang menganggap perekonomian tak bisa dibiarkan untuk dikendalikan pasar semata, tetapi harus ada peran negara, tepatnya kombinasi antara negara dan swasta.

Dari kajian-kajian ekonomi kritis ini kemudian lahir Marxisme lalu akhirnya Komunisme, dan sebagaimana yang kita tahu, komunisme runtuh di awal 90an. Ekonomi kritis konon menjadi terlalu utopis, terlalu fokus pada dimensi etis sehingga lupa hasrat utama manusia untuk meraih reward atas keberhasilannya. Insentif saat melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi. Kita diminta berbagi melulu, demikian pandangan awam. Berbagi makanan dalam jumlah yang sama, juga pada mereka yang malas bekerja. Begitu kira-kira gambaran sederhananya.

Teori Marx itu mulanya mendapat kritikan dari mereka yang disebut Mazhab Frankfurt. Mazhab Frankfurt menekankan pentingnya dimensi kebudayaan dalam kajian-kajian teori ekonomi. Ekonomi tak lagi sesederhana hubungan buruh dan majikan dalam analisis Marx, tapi juga telah menyebar ke ranah-ranah budaya. Sejak itu lahirlah kajian ekonomi politik kebudayaan (cultural political economy). Suatu kajian lebih lanjut dari ekonomi kritis yang selama ini sering hanya terbatas kebijakan ekonomi, kebijakan publik, serta pelayanan publik.

Sejalan dengan perkembangan global, bila teknologi informasi bukan hanya membuat kita semakin terhubung, tetapi juga makin menyerupa dalam budaya. Namun di sisi lain, ada pergolakan kuat di tengah-tengah masyarakat tentang budaya atau identitas mana yang digunakan.

Menurut Wahyono dalam artikel di atas, kulturasi ekonomi terjadi ketika pertumbuhan ekonomi mengalami pergeseran ke wacana budaya. Sebagai contoh adalah apa yang dilakukan Raja Buthan, Jigme Khesar Namgyel Wangchuk ketika mengkritik konsep Gross National Product (GNP) dalam pembangunan lalu kemudian mengajukan konsep Gross National Happiness (GNH) sebagai wacana tandingan. GNP berorientasi pertumbuhan, sebagaimana yang menjadi kritik ekonomi kritis terhadap ekonomi klasik.

Konsep GNH Raja Bhutan adalah bentuk kekuatan lokal melakukan koreksi terhadap pandangan ekonomi global yang kapitalistis dan neoliberalistis. Konsep ini mendesakkan pentingnya hubungan harmonis manusia dengan alam dan sesama sebagai sumber kebahagiaan. Ini baru salah satu bentuk kajian dalam ekonomi berwacana budaya. Yang jelas ekonomi berwacana budaya ini bersifat multidisiplin. Tidak semata rasionalitas, juga tak semata hal-hal normatif.

Sampai di sini, saya kembali teringat obrolan tentang orang yang menjual satu-satunya rumah miliknya untuk mencalonkan diri sebagai kepala desa atau anggota legislatif, atau bahkan pegawai negeri. Meski jelas-jelas perekrutan pegawai negeri masa kini bukan lagi sesuatu yang bisa diintervensi. Orang-orang yang kehilangan rasionalitasnya. Tapi tunggu dulu, Bung… ada alasan-alasan lain yang mungkin masuk akal.

Pertama, orang tersebut tidak hidup di zaman ekonomi klasik ataupun di era ekonomi kritis. Di mata Adam Smith and the gank, ia jelas tak rasional. Sebab pilihannya, sangat berbiaya tinggi sekaligus sangat berpotensi gagal. Di mata Marx, negara telah gagal menyediakan lapangan pekerjaan, sehingga ada orang yang terpaksa menyuap agar mendapat pekerjaan.

Dari sisi etis yang menjadi concern ekonomi kritis, orang tersebut juga cacat moral karena suap adalah suatu kejahatan. Meski salah satu ekses buruk sistem komunisme adalah banyaknya kasus suap karena sistem tidak berjalan dengan baik.

Di mata ekonomi berwacana budaya, kajian terhadap fenomena menjual rumah untuk mendapat pekerjaan itu malah menjadi multi dimensi. Atas nama ingin mengabdi pada negara, ingin menjadi wakil rakyat, maka jiwa nasionalis seseorang membuatnya harus mengiklaskan rumahnya sebagai biaya untuk meraih cita-citanya. Apalagi ditambah dengan janji suci mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan, mengupayakan perdamaian dan kesejahteraan, blablabla….

Tindakan menjual rumah itu bisa terlihat layak dan logis dalam kajian ekonomi berwacana budaya. Termasuk kajian mengapa bawah sadar orang Indonesia lebih memilih stabilitas meski hasilnya sedikit daripada fluktuatif eskipun hasilnya besar.

Bisa jadi ini terkait sejarah panjang bangsa ini yang hidup di negeri rawan bencana. Atau juga tercatat dalam DNA kita tentang negeri yang rawan prahara, sehingga stabilitas ekonomi selalu menjadi tujuan utama dibanding konsep bekerja keras di waktu muda, untuk pensiun dini dan menikmati hidup. Bagaimana mau hidup dari tabungan dan investasi di negeri yang selalu punya sejarah inflasi.

Tapi tunggu dulu, Saudara-saudara. Bukan berarti semua kajian dalam ranah kajian ekonomi berwacana budaya menjual rumah satu-satunya untuk berspekulasi itu adalah layak dipahami. Bagi sebagian orang, tindakan itu tidak layak. Bukan saja secara moral, tapi juga sedikit menggambarkan ketertinggalan dengan zaman.

Mengapa tidak dengan mencoba menjadi influencer dengan hanya bermodel akun medsos berbiaya murah. Saat berhasil meraih jutaan followers, subscribers, likers, saat itu artinya kita telah cukup ‘femes’ dan bisa menjadi wakil rakyat ataupun kepala desa, tanpa biaya politik yang berarti. Kecuali bila si penjual rumah itu menganut prinsip ‘harta itu tak ada artinya, yang penting berani spekulasi’…

Entah, yang jelas kajian ekonomi berwacana budaya itu menyiratkan apa yang terjadi di era sekarang, semua serba multi dimensi. Di era ‘post truth’ ini: jangan pernah memandang sesuatu hitam putih. Segala sesuatu harus dinilai dari segala aspek. Apa yang terlihat benar dalam persepsi budaya A, bisa dianggap brutal bagi budaya B, C, D dan E. Kita tak boleh semata mencari keuntungan, harus memikirkan juga sisi kemanusiaannya, namun bukan berarti kita harus tekor melulu karena kegiatan kemanusiaan tanpa kalkulasi ekonomi.

Lalu bagaimanakah menilai kebijakan rumah DP 0 persen yang hanya bisa dibeli oleh mereka yang memiliki pendapatan minimal 14 juta? Untuk siapakah rumah tersebut sebenarnya?

Karena saya seorang yang sedang gandrung ekonomi berwacana budaya, maka jawabannya: proyek DP 0 persen itu untuk kepentingan media. Gagal atau berhasil, layak atau tidak, populis atau idealis, berita-berita tentang program tersebut telah menghidupi media.

#vkd