Istilah "Propaganda Rusia" belakangan ini menjadi trending topik perbincangan dibincangkan setelah Jokowi menyebutnya saat menghadiri kampanye dukungan dari Forum Alumni Jawa Timur di Surabaya pada 2 Februari 2019.
"Problemnya adalah ada tim sukses yang menyiapkan propaganda Rusia! Yang setiap saat mengeluarkan semburan-semburan dusta, semburan hoax, ini yang segera harus diluruskan Bapak-Ibu sebagai intelektual," ungkap capres petahana ini sebagaimana yang dikutip Detik.com.
"Propaganda Rusia", Apa itu?
Dari Wikipedia disebutkan, "The propaganda of the Russian Federationis propaganda that promotes views, perceptions or agendas of the government of Russia. The media include state-run outlets and online technologies, and may involve using "Soviet-style 'active measures' as an element of modern Russian 'political warfare'".
Dijelaskan juga, "Russia has been accused of using social media platforms to spread messages of propaganda to a global audience by spreading fake news as well as putting out advertisements and creating pseudo-activist movements. The popularity of Sputnik on social media and its use of viral, clickbait headlines has led it to be described as "the BuzzFeed of Propaganda" by Foreign Policy magazine".
Dari ulasan yang diunggah Wikipedia, jelas tidak ada yang salah pada terminologi yang digunakan oleh Jokowi. Pasalnya, sejak 2012 atau tepatnya sejak Pilgub DKI 2012, konten-konten fake news atau hoaxdan juga artikel dengan judul-judul klik bait telah disemburkan oleh para buzzer lewat jejaring media sosial. Konten-konten tersebut kemudian di-viral-kan oleh pengguna medsos lainnya.
Kala itu pasangan cagub-cawagub Jokowi-Ahok menjadi bulan-bulanan propaganda Rusia. Jokowi diserang dengan sederetan hoax, seperti disebut-sebut sebagai anggota Illuminati dan Freemason. Dan, Prabowo Subianto sebagai Ketua Umum Gerindra, partai pengusung pasangan Jokowi-Ahok, tidak luput dari serangan ala propaganda Rusia. Prabowo dituding sebagai antek komunis China lantaran mengusulkan Ahok yang beretnis Tionghoa sebagai pendamping Jokowi.
"Propaganda Rusia" ini kemudian dikenal juga dengan "Firehose of Falsehood" setalah Christopher Paul dan Miriam Matthews mengunggah "The Russian "Firehose of Falsehood" Propaganda Model: Why It Might Work and Options to Counter It" lewat situs Rand.org pada 2016.
"We characterize the contemporary Russian model for propaganda as "the firehose of falsehood" because of two of its distinctive features: high numbers of channels and messages and a shameless willingness to disseminate partial truths or outright fictions. In the words of one observer," tulis keduanya.
Jokowi bukan Sekadar Dihantam "Firehouse of Falsehood"
Jokowi memang diserang dengan serentetan fitnah, hoax, fake news, dan lain sebagainya. Dan, serangan-serangan tersebut terus diputar ulang seolah tidak ada matinya. Misalnya fitnah bawa Jokowi keturnan PKI, fitnah Jokowi buan anak dari Sudjiatmi. Jokowi bukan alumni SMAN 6 Surakarta, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Selain Jokowi, PDIP yang menjadi partai politik tempat Jokowi berpiprah pun kerap menjadi sasaran fitnah. Demikian juga dengan ketua umumnya, Megawati Soekarnoputri. Contohnya, fitnah atau hoax yang menyebut Megawati mengatakan PDIP tidak membutuhkan suara umat Islam. Meski salah seorang penyebar fitnah tersebut sudah diproses hukum, namun fitnah tersebut masih terus dimainkan.
Demikian juga dengan berita palsu atau fake news dengan judul klik bait "Presiden Jokowi: Di Dalam Dokumen Asli PKI Tidak Sepenuhnya Bersalah, Mereka Hanya Terkena Fitnah Di Zaman Itu". Meski sejak 22 September 2017 situs Turnbackhoax.id sudah menjelaskan jika berita tersebut fake, namun ada saja yang menyebarluaskannya.
Dari satu akun Facebook ini saja, sejumlah konten hoax, fake news, dan ujaran-ujaran kebencian disebarluaskan setiap harinya. Bisa dibayangkan seberapa kencang propaganda "Firehouse of Falsehood" yang disemburkan dalam setiap harinya.
Tetapi, proaganda yang dihantamkan ke arah Jokowi jauh lebih jahat dari "Propaganda Rusia" atau "Firehose of Falsehood". Sebab, propaganda yang tengah dilancarkan sejak 2012, tepatnya sejak Jokowi dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia, menarasikan Islam dalam situasi terancam.
Dalam propaganda ini, segala sesuatu sebisa mungkin dikaitkan dengan latar belakang agama. Misalnya, penegakan hukum terhadap pendakwah dinarasikan sebagai kriminalisasi ulama. Tujuan dari narasi ini tentu saja untuk meng-head to head-kan Jokowi dengan umat Islam Indonesia.
Ada banyak konten yang digunakan sebagai upaya mengadudomba Jokowi dengan umat Islam Indonesia, Contohnya adalah foto di bawah ini.
Meskipun sudah diluruskan lewat sejumlah media (cek Google), fake news ataupun meme tentang perobohan 164 masjid untuk proyek tol Semarang-Brebes masih tetap di-viral-kan.
Bukan hanya itu, untuk menguatkan narasi Islam dalam situasi terancam,peristiwa yang terjadi sebelum Jokowi menjadi presiden dipelintir seolah terjadi di era Jokowi. Misalnya, video pembongkaran masjid di Medan yang terjadi pada 2010 disulap seolah terjadi di era Jokowi.
Perhatikan puisi "Islam Indonesia Dihancurkan" karya Nandang Buhanuddin yang sempat diunggah oleh situs PKSpiyungan.org (Bisa dibaca di sini.)
" ... Akankah kita diam saat Islam dimajinalkan?
Akankah kita berpangku tangan saat peran umat dipinggirkan?
Kita berhadapan dengan mafia dunia yang diprogramkan
Penjajahan baru dan Indonesia akan dihancurkan
Bangkit kawan segala hal persiapkan
Latihan militer jangan dilupakan
Bangun kembali Hizbul Wathan yang dibanggakan
Penjajahan ekonomi, penindasan minoritas, harus kita singkirkan..)
Upaya memancing kemarahan umat Islam pun dimainkan lewat meme seperti di bawah ini.
Dan, sebenarnya propaganda semacam ini sudah dilancarkan sejak Jokowi masih menjabat Gubernur DKI Jakarta. Ketika itu kata "himbauan" yang diucapkan Jokowi untuk tidak takbir keliling di jalan saat Iedul Adha 2013 dipelintir menjadi "larangan"
Propaganda yang saat ini sedang diarahkan kepada Jokowi ini sebenarnya lebih mirip dengan propaganda yang dilancarkan Hizbut Tahrir untuk menumbangkan Presiden Libya Moamar Khadafi, seperti dalam publikasi ini Gaddafi Wor on Islam".
Karena jauh lebih ganas dari "Propaganda Rusia" aka "Firehose of Falsehood", maka propaganda yang menyerang Jokowi bisa disebut sebagai "Firehose of Falsehood Plus-plus".
Menariknya, jika diamati, propaganda yang menyerang Jokowi yang di-viral-kan lewat medsos lebih banyak dalam bentuk meme. Dengan demikian, pengguna medsos dapat lebih mudah dan cepat menyerap konten-konten yang disebarluaskan.
Dan, di antara banyak pengguna media sosial, banyak yang tidak menyadari jika konten yang di-share atau diunggahnya termasuk hoax. Barulah, setelah mengetahui jika konten yang di-share atau diunggahnya adalah hoax mereka menghapusnya. Tetapi, bagi yang tidak mengetahuinya, konten-konten tersebut tetap terpajang di berandanya.
Foto di atas membuktikan jika pemilik akun tersebut tidak tahu jika konten yang dibagikannya adalah hoax dan sumber konten telah dihapus oleh pengunggahnya, Bisa dibilang jika pengelola akun diatas merupakan korban dari para buzzFeed.
Maka jelas, korban dari "propaganda Rusia" aka "Firehose of Falsehood" atau juga "Firehose of Falsehood Plus-plus" adalah pengguna medsos yang tidak tahu cara melacak kebenaran sebuah konten.
Jika "propaganda plus-plus" ini tidak dilawan, korbannya adalah anak bangsa Indonesia dan juga NKRI. Karenanya, propaganda jenis ini hasrus dijadikan musuh bersama, termasuk juga oleh pasangan Prabowo-Sandiaga Uno beserta para pendukungnya.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews