Demo Omnibus dan Tuntasnya Politik Pandemi

Apa pun itu selama dilakukan dalam koridor demokrasi tidak seharusnya membuat pemerintah kalap dan bertindak di luar aturan hukum.

Rabu, 14 Oktober 2020 | 15:29 WIB
0
264
Demo Omnibus dan Tuntasnya Politik Pandemi
Demo Omnibus Law (Foto: BBC.com)

Catatan kecil untuk Ernawati Naharuddin.

Sejak demonstrasi besar-besaran menuntut penghapusan pasal bermasalah dalam Omnibus Law Cipta Kerja, kabar penyebaran covid seperti raib tertelan bumi. Ke mana ya mereka yang tak pernah lelah mengingatkan bahaya munculnya klaster baru karena mengabaikan protokol covid?

Mengapa mereka yang dulu menganggap pemerintah yang menolak lockdown dan memilih Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) lebih mementingkan aspek ekonomi dibanding nyawa manusia bisa memahami ratusan bahkan ribuan orang berkumpul dengan mengabaikan protokol covid demi memperjuangkan kesulitan hidup buruh, komunitas tempatan, kelompok rentan, kerusakan lingkungan dan demokrasi ekonomi.

Ke mana para pemuja Nana Akufo--Addo, Presiden Ghana yang mendapat apresiasi WHO yang ucapannya dikutip di seluruh dunia, "Kami tahu menghidupkan kembali ekonomi. Yang kami tidak tahu bagaimana caranya menghidupkan orang mati". Di Indonesia, cuitan Nana adalah sumpah serapah terhadap mereka yang menolak lockdown.

Berawal saat penduduk dunia kebingungan menghadapi pandemi dengan karakter yang tak lazim, di tengah kecemasan dan ketidakpastian, para pemimpin dan masyarakat dunia tidak punya pilihan kecuali manut terhadap fatwa WHO selaku pemegang otoritas tertinggi dunia kesehatan. Sialnya WHO sendiri tidak memiliki prosedur standar yang jelas.

Sembari berusaha meyakinkan akan otoritasnya yang tidak perlu diragukan, pandangan serta kebijakan WHO berubah-ubah, dari teknis penggunaan masker hingga vaksin. Akibatnya lambat laun setiap negara berusaha mencoba menginterpretasi protokol sesuai kepentingan dalam negeri mereka.

Wuhan yang lebih awal terjangkit dianggap sukses dan diharapkan jadi patron bagi dunia menghadapi pandemi rupanya punya cerita sendiri. Kisah sukses Wuhan dengan strategi lockdown bukan semacam soft drink yang bisa diminum kapan, dimana dan oleh siapa saja. Sebuah pilihan strategi sangat ditentukan oleh konteks kehidupan sosial masyarakat.

Sistem otoritarian di bawah Partai Komunisme China memungkinkan penerapan lockdown menuai hasil maksimal namun tidak serta merta bisa di copy paste negara lain. Pada masyarakat liberal di bawah pemerintahan demokrasi, strategi lockdown dengan pembatasan ekstrim terhadap hak-hak individu butuh adaptasi, apa lagi di negara-negara berkembang dengan kompleksitas masalah memerlukan strategi penanganan yang jauh lebih canggih.

Munculnya perlawanan terhadap protokol karena problem kultural hingga alasan kebutuhan hidup sehari-hari adalah contoh kongkrit pentingnya formula yang tepat demi efektivitas penanganan. Belum lagi kondisi sosial politik yang rawan membuat permasalahan makin liar.

Indonesia adalah negara dengan kompleksitas penangan masalah covid yang berkelindan sempurna dengan perseteruan politik dalam negeri.

Lantas ke mana para pengeritik yang selama ini getol menuding pemerintah mengabaikan protokol covid yang sengaja membahayakan nyawa warga negara demi kepentingan ekonomi dalam demonstrasi besar-besaran omnibus law?

Ke mana pula suara kritis yang kemarin menuntut penundaan pilkada serentak 2020 demi mencegah munculnya klaster baru akibat pilkada?

Salah satu analisa spekulatif atas pertanyaan tendensius di atas adalah, di luar kepentingan genuine para buruh, mahasiswa serta aktivis pro demokrasi yang habis-habisan mengabaikan protokol covid itu adalah 'keterlibatan' mereka yang melihat demo penolakan omnibus sebagai momentum emas mendelegetimasi kekuasaan pemerintah untuk tidak mengatakan bertujuan melengserkan pemerintah yang sah.

Tak yakin, tengok misalnya teriakan revolusi dalam demo omnibus.

Namun apa pun itu selama dilakukan dalam koridor demokrasi tidak seharusnya membuat pemerintah kalap dan bertindak di luar aturan hukum.

***