Membaca Berita dengan Prasangka

Netizen Indonesia sudah terkenal lantang dalam beropini, namun sayang... untuk konflik Ukraina ini kadang netizen berpendapat tanpa dibekali pemahaman yang memadai atas konsep Hubungan Internasional, ekonomi, sejarah, apalagi militer.

Kamis, 17 Maret 2022 | 08:49 WIB
0
253
Membaca Berita dengan Prasangka
Tentara (Foto: bisnis.com)

Perang di Ukraina cukup banyak dibicarakan oleh netizen Indonesia. Ada tanggapan dari netizen yang menunjukkan kalau yang bersangkutan cukup memahami konflik yang ada. Tapi ada sangat banyak komentar atau postingan yang agak lucu, atau turut menyebarkan hoax dari pihak yang bertikai. Ada beberapa hal yang mendasari komentar-komentar asal njeplak itu. Yaitu : 

Netizen sudah punya prasangka lebih dulu. Misal, pihak A adalah pihak yang jahat, sehingga tidak boleh dipercaya sedikitpun, tapi di saat yang sama netizen tersebut menelan bulat–bulat keterangan dari pihak B.

Ada seorang dosen di friendlist saya yang pola pikirnya seperti ini. Pokoknya, ambil posisi berseberangan dengan pihak A dalam segala situasi, tanpa perlu melihat apa masalahnya.

Alangkah menyedihkannya kalau prinsip semacam ini juga diajarkan ke mahasiswa-mahasiswanya.

 Media bias dalam memberitakan sesuatu. Ya… mungkin memang tidak ada sumber berita yang 100% netral. Tapi hal ini bisa disiasati dengan membaca berbagai sumber yang berlawanan. Jangan menuduh 1 pihak sebagai sumber propaganda, tapi menelan bulat–bulat berita dari pihak lawannya. Kemampuan berpikir kritis dan literasi yang cukup akan bisa mengantisipasi kemungkinan jadi korban propaganda.

Alasan kedua, kemampuan berbahasa Inggris netizen terbatas. Netizen yang bisa memahami kalimat–kalimat dalam bahasa Inggris yang sederhana, belum tentu punya kemampuan yang memadai untuk memahami artikel yang cukup rumit. Tidak jarang, netizen salah memaknai berita dalam suatu artikel.I tulah sebabnya, dalam test TOEFL/IELTS ada sesi Reading.

Contoh dalam kasus ini ialah soal tuduhan pihak Ukraina membuat fake news. Berita yang ada justru menunjukkan kalau tuduhan tersebut yang fake news. Tapi Sebagian netizen Indonesia justru salah tangkap, karena kemampuan berbahasa Inggrisnya masih kurang canggih.

Alasan ketiga, netizen tidak mau membaca suatu berita secara mendetail. Ada netizen yang sengaja men screenshot suatu berita, lalu berkhayal dan membuat interpretasi sendiri sesuai prasangka yang ia miliki atas pihak–pihak yang bertikai. Situasi real di lapangan tidak ikut dicermati, dan statement atau artikel lengkap juga tidak dibaca dengan teliti. Padahal kalau artikelnya dibaca dengan benar, maka sering terjadi judul berita yang di screenshot itu tidak mencerminkan isi utuh artikelnya. Contoh dari hal ini ialah mengenai tuduhan lab biologi di Ukraina.

Akibat dari alasan-alasan di atas, ditambah emosi dalam membela satu pihak, tidak jarang menghasilkan postingan atau komentar yang salah atau bahkan jadi jahat.

Contoh dari hal ini adalah peristiwa serangan atas rumah sakit bersalin di Mariupol. Ada netizen yang dengan penuh semangat memposting tuduhan Rusia bahwa semua itu dibuat-buat. Ketika di hari berikutnya ada konfirmasi di sumber berita lain yang terbilang netral, yang mengatakan si ibu dan bayinya meninggal gara–gara luka-lukanya akibat pengeboman, apakah netizen tadi meralat postingannya? Sudah pasti tidak!

Sekalipun hal ini menyangkut nyawa manusia, tapi karena hati netizen yang memposting sudah dipenuhi prasangka, fanatisme dan kebencian maka tidak mungkin yang bersangkutan meralat postingannya. Ya hal itu juga menunjukkan karakter dari netizen yang bersangkutan, sih… 

Saat ini, kita mendapatkan berita gembira bahwa sudah ada titik terang dari perundingan perdamaian antara Ukraina dan Russia. Namun, saya yakin… setelah ini bakal muncul postingan dan komentar–komentar lucu dari netizen mengenai hal ini. Pasti kebanyakan tidak membaca secara mendetail (atau mampu memahami) poin–poin kompromi dari kedua belah pihak.

Yang namanya perundingan perdamaian itu pasti membutuhkan kompromi. Pasti kedua belah pihak juga mengurangi tuntutan–tuntutannya, serta mengakomodasi kemauan pihak lawan.

Untuk netizen yang tidak bisa membedakan peace talks dengan kapitulasi, tidak akan mampu memahami hal ini. Pasti akan seenaknya membuat interpretasi sendiri atas judul berita yang dibaca, sambil pura–pura lupa isi postingannya sendiri beberapa minggu sebelumnya. Pura–pura tidak tahu bahwa tuntutan dari pihak yang día dukung sudah tidak disebut–sebut lagi. 

Netizen Indonesia sudah terkenal lantang dalam beropini, namun sayang... untuk konflik Ukraina ini kadang netizen berpendapat tanpa dibekali pemahaman yang memadai atas konsep Hubungan Internasional, ekonomi, sejarah, apalagi militer. (Ada loh yang bersorak sorai mendukung dan yakin negara yang sedang diisolasi bakal baik–baik saja).

Ditambah 3 hal di atas dan faktor emosi, maka kita mendapatkan opini yang kurang berkualitas.

***