Di teve teve swasta, dan media mainstream proses itu dimulai dengan memberi panggung kepada kelompok radikal asbun – sekadar ngomong beda, menjual kontroversi demi menarik penonton dan iklan.
Media teve swasta mainstream di Jakarta yang gemar menghadirkan sosok sosok kontroversial, kaum puritan agama, kelompok pro khilafah, di studio mereka - seharusnya belajar dari perkembangan Afganistan terbaru.
Sejak Taliban kembali berkuasa, kelompok itu memberlakukan pembatasan ketat pada perusahan media dan melanggar hak asasi manusia. Wartawan dipukuli dan ditahan karena pekerjaan mereka.
Saluran televisi juga telah berhenti menayangkan drama dan sinetron yang menampilkan perempuan atas perintah otoritas Taliban.
Sejak Minggu (25/6/2022) lalu, semua presenter dan reporter televisi perempuan Afganistan harus mematuhi perintah Taliban untuk mengenakan penutup wajah sesuai dekrit penguasa setempat. Kelompok Taliban mewajibkan cadar bagi semua perempuan Afganistan yang tampil di depan umum, termasuk pembawa acara televisi.
Mereka - penyiar teve di sana – dipaksa menutupi wajah dalam tugasnya atau kena sanksi hukum. Selain itu, anak anak perempuan dan perempuan dewasa kehilangan banyak hak mereka, yaitu pendidikan, pekerjaan, dan kebebasan.
Potensi yang sama terjadi di sini, di Indonesia ini, saat pro khilafah yang mereka beri panggung mendapat kekuasaan, kelak.
Setelah merebut kekuasaan lagi pada Agustus 2021, penguasa baru Islam garis keras kembali mengubah kebijakan itu dalam beberapa pekan terakhir, membenarkan tindakan terburuk pada aktivis hak asasi manusia, dan semakin memperumit hubungan Taliban dengan masyarakat internasional.
Sejak menguasai Afganistan tahun 1996-2001, kelompok fundamentalis Islam memberlakukan serangkaian larangan pada kaum perempuan, mengharuskan mereka untuk mengenakan burqa, dan menjauhkan mereka dari kehidupan publik dan pendidikan.
Alih alih memperbaiki ekonomi dan membantu warganya yang sedang kelaparan, mereka sibuk menutupi wajah kaum perempuan.
Kelompok Taliban menunjukkan kegilaannya dengan tidak peduli pada negara tetangga dan tekanan dunia internasional. Padahal rakyatnya susah dan merengek bantuan asing. Para orangtua tega menjual anaknya karena kelaparan.
Pelajaran penting dari politik Afganistan yang sangat nyata adalah jika kekuasaan jatuh ke tangan ke kelompok fanatik agama sangat membahayakan. Langsung menghancurkan peradaban suatu bangsa.
Semua pencapaian pembangunan puluhan tahun, bahkan ratusan tahun - bisa hancur dan kembali ke titik nol. Atau lebih buruk lagi.
Fanatisme pada ajaran agama telah membutakan, menghilangkan akal sehat mereka.
Baca Juga: Pemerintahan Baru Taliban
KINI kaum menengah intelektual di Kabul dan Afganistan dipaksa hidup dalam penjara peradaban masa lalu. Didikte orang bodoh fanatik yang berkuasa dan bersenjata.
Orang orang gunung yang fanatik dan bersenjata itu merangsek ke ibukota, menguasai pusat pemerintah. Dan klas menengah di Afganistan yang nyaman dulu itu - kini jadi tahanan negara.
Proses yang sama sedang berlangsung di Indonesia saat ini. Orang orang fanatik agama memaksakan aturan agama dari negeri gurun pasir dan merusak budaya dan peradaban di bumi Nusantara warisan leluhur sendiri di hari ini.
Afganistan jatuh ke Kelompok Taliban karena klas menengah terpelajar dan kaum mapan tak peduli politik. Sibuk nge-mall, senang senang, atau cari cuan. Mentang mentang sudah bayar pajak lalu enak tidur. Tak lihat perkembangan sekitar. Asyik sendiri. Hal yang sama terjadi di Indonesia.
Para penegak hukum korup dan gampang disogok. Mudah diancam atau diiming iming promosi jabatan, dengan menggadaikan pasal pasal penegakkan negara. Cincai cincai.
Seperti kodok yang dipindah dalam panci air yang direbus. Merasa nyaman saja, hangat, enak, tahu tahu melepuh, matang dan tak bisa lompat lari dari panci air mendidihnya.
Provinsi yang menerapkan hukum/ aturan agama masih menjadi daerah terbelakang dari pembangunan, karena intoleran, korup dan pejabatnya cenderung memaksakan hukum hukum kitab suci dari 14 abad lalu - dalam kehidupan modern di abad 21 ini.
Saat negara negara maju di belahan dunia lain sibuk berlomba ke bulan, menjajagi kehidupan di planet Mars mereka sibuk membahas surga dan neraka. Melebarkan jilbab dan menumbuhkan jenggot, mengharamkan perempuan pamer rambut, pakai celana panjang - mendorong poligami sambil mengkafirkan golongan yang menentang mereka.
Proses pembodohan itu sedang dan terus berlangsung kini.
Talibanisasi di Aceh, Sumatera Barat, Banten, Jawa Barat, juga provinsi lainnya, sedang berlangsung, tentunya bukan dari Taliban Afganistan, melainkan Talibanis Melayu sawo matang berhidung pesek. Dengan spirit yang sama: fanatisme agama ala gurun pasir abad 6!
Taliban taliban Melayu di sejumlah kabupaten yang memaksakan Syariat Islam ala Wahabi-Salafi dan Takfiri. Wajib hijab, pembatasan pada perempuan. Hukum cambuk, qanun dll.
Mereka menyingkirkan adat dan beralih pada hukum agama, menyandarkan hukum agama pada ajaran kitab dari negeri asing. Copy paste. Tak ada olah pikir. Seutuhnya seperti 14 abad lalu. Meromantisir kehidupan zaman Nabi. Menghidupkan puritanisme gurun pasir abad 6 dalam kehidupan di hari ini.
Pembodohan massal atas nama agama.
Di teve teve swasta, dan media mainstream umumnya, proses itu dimulai dengan memberi panggung kepada kelompok radikal asbun – sekadar ngomong beda. Sekedar menjual kontroversi. Demi menarik perhatian penonton dan iklan.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews