Di masa Kekaisaran Perancis, Napoleon menyerbu Rusia dan menguasai Moskow pada tahun 1812, ia pernah memerintahkan agar katedral tersebut dipindahkan ke Paris,
Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, tidak serta merta negara-negara di belahan dunia ini langsung mengakui kemerdekaan tersebut. Salah satu negara yang mengakui kemerdekaan Indonesia setelah lima tahun Proklamasi Kemerdekaan RI adalah Rusia yang dulu bernama Uni Soviet (Uni Republik Soviet Sosialis/URSS)
Hubungan diplomatik Indonesia-Rusia diawali mengirim kawat dari Menteri Luar Negeri URSS A.Ya.Vyshinskiy kepada Perdana Menteri RI merangkap Menteri Luar Negeri Mohammad Hatta yang berisi berita keputusan pemerintah URSS mengakui pemerintah Republik Indonesia dan sekaligus membuka hubungan diplomatik.
Sebaliknya dalam kawat balasan, Bung Hatta menyatakan rasa terimakasihnya atas pengakuan Indonesia merdeka tersebut. Hubungan kedua negara ini menarik, karena persoalan pertama yang muncul ke permukaan adalah pertukaran informasi kedua negara. Itu sebelum kedua duta besar negara masing-masing menempati posnya masing-masing.
Adalah Adam Malik sebagai Direktur Kantor Berita ANTARA pada bulan April 1952 melakukan kunjungan peninjauan selama sebulan di Uni Soviet. Menurut informasi wartawan Rosihan Anwar ketika itu, ANTARA ini satu-satunya kantor berita milik nasional.
Selesai kunjungan selama sebulan tersebut, Adam Malik menulis buku “Rusia Soviet yang Saya Lihat. ”
Dalam hal ini, Pemerintah Indonesia banyak mempelajari masalah Rusia dari wartawan Adam Malik. Apalagi setelah kunjungan Adam Malik ini, pemerintah Rusia pada 1 September 1952, di Moskwa menandatangani persetujuan tentang pertukaran informasi antara Kantor Berita ANTARA dan Kantor Berita Uni Soviet, TASS.
Dalam hal ini, pemerintah Indonesia pada waktu itu sangatlah berterimakasih kepada wartawan Adam Malik, karena melalui informasinyalah, terjalin hubungan kedua negara. Bahkan dengan informasi Adam Malik tersebut, dimulailah membuka perwakilan di negara masing masing.
Baca Juga: Turki, Rusia dan Stabilitas Libya
Setelah bertukar informasi ini berlangsung, hampir dua tahun, sudah tentu saling mengenal dan mempelajari negara masing-masing, maka pada 13 April 1954, barulah Duta Besar Berkuasa Penuh RI yang pertama untuk URSS menyerahkan Surat Kepercayaan kepada Ketua Presidium Soviet Tertinggi K.E.Voroshilov. Sebagai Duta Besar RI untuk URSS dan Polandia waktu ini diangkat Adam Malik.
Sebaliknya pada 20 September 1954, Duta Besar Berkuasa Penuh URSS yang pertama untuk RI, D.A.Zhukov menyerahkan Surat Kepercayaan kepada Presiden RI Soekarno.
Tidak lama setelah membuka hubungan diplomatik kedua negara, pada 27 November 1954 para Duta URSS, Ukraina dan Belarusia di Komite I Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan dukungan atas tuntutan RI mengenai pengembalian Irian Barat kepangkuan RI. Bahkan pada bulan Agustus 1955, URSS memberikan suara setuju dimasukannya masalah Irian Barat dalam agenda persidangan ke-10 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Dalam hal ini terlihat sangat jelas, Uni Soviet banyak membantu kepentingan Indonesia. Bahkan memberikan pinjaman kepada Indonesia tanpa bunga. Dari Uni Soviet pula Indonesia memperoleh bantuan aneka persenjataan canggih merebut Irian Barat.
Presiden Soekarno kemudian melakukan kunjungan resmi pertama ke URSS dari tanggal 28 Agustus – 12 September 1956. Ini merupakan langkah pertama Soekarno untuk melihat dari dekat bagaimana hubungan kedua negara di masa depan.
Moskow di Mata Wartawan Indonesia
Bulan Desember selalu saya ingat menjadi kenangan tersendiri untuk pribadi saya, karena pertama kali mengunjungi Uni Soviet (sekarang Rusia). Waktu itu, saya diutus tokoh pers B.M. (Burhanuddin Mohammad) Diah mengunjungi Irak, tetapi di dalam perjalanan ke "Negara Seribu Satu Malam" itu, saya melalui Rusia karena ini merupakan permintaan saya secara pribadi untuk melihat berbagai perkembangan baru di sana.
Pada tanggal 10 Desember 1992, saya meninggalkan Jakarta ke Moskow dengan pesawat Uni Soviet, Aeroflot. Pesawat mengudara selama 13 jam dan di Moskow dijemput oleh koresponden harian "Merdeka" Svet Zakharov.
Tiga malam di Moskow, saya menuju ibukota Irak, Baghdad, terapi karena jalur udara ditutup oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), saya harus melalui Yordania. Sepulang dari Baghdad, saya kembali lagi melalui Moskow menuju Jakarta. Ketika kembali ke Moskow dari Baghdad, saya bisa lebih leluasa berjalan-jalan.
Saya bersama koresponden harian "Merdeka" menuju Lapangan Merah." Di sana terdapat makam para kepala negara Uni Soviet.Tanggal 22 Desember 1992 itu, udara kota Moskow sangat dingin. Salju mulai turun. Saya hadir di sana saat-saat negara itu sedang dalam peralihan.
Mikhail Gorbachev yang disebut-sebut sebagai tokoh pembaruan Uni Soviet (nama Rusia waktu itu), ketika itu tidak lagi berada di kantornya. Peralihan kekuasaan secara damai sedang berlangsung di sana.
Sudah tentu keadaan masyarakat juga sedikit terganggu. Ada di antara mereka acuh tak acuh dengan pembaruan yang dikumandangkan Gorbachev. Yang jelas, sejak dikumandangkannya pembaruan di Uni Soviet, rakyat terjebak ke arah perbedaan pendapat. Di berbagai kota di Moskow, saya menyaksikan dari dekat banyaknya para pengemis dan kaki lima-kaki lima penjual pakaian bekas. Menyedihkan.
Waktu itu, memang Gorbachev, tokoh pembaharu dan penganut Lenin yang setia mengumandangkan kosep Perestroika, dan merumuskan prinsip dasar-dasarnya. Pada akhirnya, rakyat Uni Soviet tidak memahami apa yang dilakukannya. Ia pun mengundurkan diri sebagai presiden pada Desember 1991.
Banyak yang mengatakan bahwa Gorbachev mengundurkan diri karena masalah kesehatan. Gorbachev kemudian digantikan oleh Yeltsin. Jadi kepergian saya ke Uni Soviet, berada di bawah kepemimpinan Yeltsin. Akhirnya Yeltsin pada tanggal 31 Desember 1999, di bawah tekanan internal yang besar, pun mengumumkan pengunduran dirinya, meninggalkan kursi kepresidenan dan menyerahkan pimpinan Rusia ke tangan Perdana Menteri Vladimir Putin .
Terpulihnya Putin sangat tepat bagi Rusia. Mikhail Gorbachev ketika bertemu dengan Putin pada bulan Agustus 2000 memastikan dia tidak akan merusak Demokrasi Rusia. Begitu pula Boris Yeltsin menyatakan Putin kepada seluruh rakyat Rusia bahwa "Dia dapat mengulangi kejayaan Rusia yang baru pada abad 21".
Svet Zakharov yang selalu setia menemani saya di Moskow mengantar saya berjalan-jalan ke Katedral Saint Basil yang terletak di Lapangan Merah. Lapangan Merah di sini bukan berarati merah dalam arti kata sebenarnya, tetapi mengacu kepada “merah” dalam bahasa Rusia yaitu indah.
Memang Katedral Saint Basil ini indah sekali. Lihatlah arsitek bangunannya. Menara-menara kathedral ini memiliki karakter yang unik. Dibangun saat Ivan the Terrible berkuasa pada abad ke-15. Menurut Svet Zakharov yang selalu setia mendampingi selama di Moskow, arsiteknya , Postnik Yakoviev, sengaja dibutakan atas perintah Ivan untuk mencegah dia membangun kathedral yang lebih indah dari Saint Basil. Kathedral ini juga melambangkan keberhasilan Ivan melawan Tartar Mongolia pada tahun 1552 dalam pengepungan kota Kazan.
Di masa Kekaisaran Perancis, Napoleon menyerbu Rusia dan menguasai Moskow pada tahun 1812, ia pernah memerintahkan agar katedral tersebut dipindahkan ke Paris, tetapi tidak ada teknolgi yang memadai untuk memindahkannya. Diambil jalan pintas dengan meledakkan pakai mesiu.Keinginan Napoleon tidak tercapai, karena hujan turun.
Saya sangat kagum melihat peninggalan sejarah Rusia yang ada di dalam Kathedral Saint Basil. Hal ini menunjukkan betapa pemerintah Rusia dan warganya sangat mencintai sejarah. Saya berangan-angan, suatu ketika bangsa Indonesia pun memiliki tempat khusus seperti di Rusia—tidak terpencar-pencar sebagaimana museum sekarang ini—sehingga rakyat pun bisa melihat kejayaan bangsanya di satu tempat.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews