71 Tahun Hubungan Diplomatik Indonesia-Rusia

Di masa Kekaisaran Perancis, Napoleon menyerbu Rusia dan menguasai Moskow pada tahun 1812, ia pernah memerintahkan agar katedral tersebut dipindahkan ke Paris,

Kamis, 4 Februari 2021 | 07:11 WIB
0
348
71 Tahun Hubungan Diplomatik Indonesia-Rusia
Vladimir Putin Berhasil Membawa Rusia Bangkit Lagi

Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, tidak serta merta negara-negara di belahan dunia ini langsung mengakui kemerdekaan  tersebut. Salah satu negara yang mengakui kemerdekaan Indonesia setelah lima tahun  Proklamasi Kemerdekaan RI adalah Rusia yang dulu bernama Uni Soviet (Uni Republik Soviet Sosialis/URSS)

Hubungan diplomatik Indonesia-Rusia diawali mengirim kawat dari Menteri Luar Negeri URSS A.Ya.Vyshinskiy kepada  Perdana Menteri  RI merangkap Menteri Luar Negeri Mohammad Hatta yang berisi berita keputusan pemerintah URSS mengakui pemerintah Republik Indonesia dan sekaligus membuka hubungan diplomatik.

Sebaliknya dalam kawat balasan, Bung Hatta menyatakan rasa terimakasihnya atas pengakuan Indonesia merdeka tersebut. Hubungan kedua negara ini menarik, karena persoalan pertama yang muncul ke permukaan adalah pertukaran informasi kedua negara. Itu sebelum kedua duta besar negara masing-masing menempati posnya masing-masing.

Adalah Adam Malik sebagai Direktur Kantor Berita ANTARA  pada bulan April 1952 melakukan kunjungan peninjauan selama sebulan di Uni Soviet.  Menurut  informasi  wartawan  Rosihan Anwar ketika itu,  ANTARA ini satu-satunya kantor berita milik nasional.    

Selesai kunjungan selama sebulan tersebut, Adam Malik menulis buku “Rusia Soviet yang Saya Lihat. ” 

Dalam hal ini, Pemerintah Indonesia banyak mempelajari masalah Rusia dari wartawan Adam Malik. Apalagi  setelah kunjungan Adam Malik ini, pemerintah Rusia pada 1 September 1952, di Moskwa menandatangani persetujuan tentang pertukaran informasi antara Kantor Berita ANTARA dan Kantor Berita Uni Soviet, TASS.

Dalam hal ini, pemerintah Indonesia pada waktu itu sangatlah berterimakasih kepada wartawan Adam Malik, karena melalui informasinyalah, terjalin hubungan kedua negara. Bahkan dengan informasi  Adam Malik tersebut,  dimulailah membuka perwakilan di negara masing masing.

Baca Juga: Turki, Rusia dan Stabilitas Libya

Setelah  bertukar informasi ini berlangsung, hampir dua tahun, sudah tentu saling mengenal dan mempelajari negara masing-masing, maka pada 13 April 1954, barulah  Duta Besar Berkuasa Penuh RI yang pertama untuk URSS menyerahkan  Surat Kepercayaan kepada Ketua Presidium Soviet Tertinggi K.E.Voroshilov. Sebagai Duta Besar RI untuk URSS dan Polandia waktu ini diangkat Adam Malik.

Sebaliknya pada 20 September 1954, Duta Besar Berkuasa Penuh URSS yang pertama  untuk RI, D.A.Zhukov menyerahkan  Surat Kepercayaan kepada Presiden RI Soekarno.

Tidak lama setelah membuka hubungan diplomatik kedua negara, pada 27 November 1954 para Duta URSS, Ukraina dan Belarusia di Komite I Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan dukungan atas tuntutan RI mengenai pengembalian Irian Barat kepangkuan RI. Bahkan pada  bulan Agustus 1955, URSS memberikan suara setuju dimasukannya masalah Irian Barat dalam agenda persidangan ke-10 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Dalam hal ini terlihat sangat jelas, Uni Soviet banyak membantu kepentingan Indonesia. Bahkan memberikan pinjaman kepada Indonesia tanpa bunga. Dari Uni Soviet pula Indonesia memperoleh bantuan aneka persenjataan canggih merebut Irian Barat.

Presiden Soekarno kemudian melakukan kunjungan resmi pertama ke URSS dari tanggal 28 Agustus – 12 September 1956. Ini merupakan langkah pertama Soekarno untuk melihat dari dekat bagaimana hubungan kedua negara di masa depan.

Moskow di Mata Wartawan Indonesia

Bulan Desember selalu saya ingat menjadi kenangan tersendiri untuk pribadi saya, karena pertama kali mengunjungi Uni Soviet (sekarang Rusia). Waktu itu, saya diutus tokoh pers B.M. (Burhanuddin Mohammad) Diah mengunjungi Irak, tetapi di dalam perjalanan ke "Negara Seribu Satu Malam" itu, saya melalui Rusia karena ini merupakan permintaan saya secara pribadi untuk melihat berbagai perkembangan baru di sana.

Pada tanggal 10 Desember 1992, saya meninggalkan Jakarta ke Moskow dengan pesawat Uni Soviet, Aeroflot. Pesawat mengudara selama 13 jam dan di Moskow dijemput oleh koresponden harian "Merdeka" Svet Zakharov.

Tiga malam di Moskow, saya menuju ibukota Irak, Baghdad, terapi karena jalur udara ditutup oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), saya harus melalui Yordania. Sepulang dari Baghdad, saya kembali lagi melalui Moskow menuju Jakarta. Ketika kembali ke Moskow dari Baghdad, saya bisa lebih leluasa berjalan-jalan.

Saya bersama koresponden harian "Merdeka" menuju Lapangan Merah." Di sana terdapat makam para kepala negara Uni Soviet.Tanggal 22 Desember 1992 itu, udara kota Moskow sangat dingin. Salju mulai turun. Saya hadir di sana saat-saat negara itu sedang dalam peralihan.

Mikhail Gorbachev yang disebut-sebut sebagai tokoh pembaruan Uni Soviet (nama Rusia waktu itu), ketika itu tidak lagi berada di kantornya. Peralihan kekuasaan  secara damai sedang berlangsung di sana.

Sudah tentu keadaan masyarakat juga sedikit terganggu. Ada di antara mereka acuh tak acuh dengan pembaruan yang dikumandangkan Gorbachev. Yang jelas, sejak dikumandangkannya pembaruan di Uni Soviet, rakyat terjebak ke arah perbedaan pendapat. Di berbagai kota di Moskow, saya menyaksikan dari dekat banyaknya para pengemis dan  kaki lima-kaki lima penjual pakaian bekas. Menyedihkan.

Waktu itu, memang Gorbachev, tokoh pembaharu dan penganut Lenin yang setia mengumandangkan kosep Perestroika, dan merumuskan prinsip dasar-dasarnya. Pada akhirnya, rakyat Uni Soviet tidak memahami apa yang dilakukannya. Ia pun mengundurkan diri sebagai presiden pada Desember 1991.

Banyak yang mengatakan bahwa Gorbachev mengundurkan diri karena masalah kesehatan. Gorbachev kemudian  digantikan oleh Yeltsin. Jadi kepergian saya  ke  Uni Soviet, berada di bawah kepemimpinan  Yeltsin.  Akhirnya Yeltsin pada tanggal 31 Desember 1999, di bawah tekanan internal yang besar, pun mengumumkan pengunduran dirinya, meninggalkan kursi kepresidenan dan menyerahkan pimpinan Rusia ke tangan Perdana Menteri Vladimir Putin . 

Terpulihnya Putin sangat tepat bagi Rusia. Mikhail Gorbachev ketika bertemu dengan Putin pada bulan Agustus 2000 memastikan dia tidak akan merusak Demokrasi Rusia. Begitu pula Boris Yeltsin menyatakan Putin kepada seluruh rakyat Rusia bahwa "Dia dapat mengulangi kejayaan Rusia yang baru pada abad 21".

Svet Zakharov yang selalu setia menemani saya di Moskow  mengantar saya berjalan-jalan ke Katedral Saint Basil yang terletak di Lapangan Merah. Lapangan Merah di sini bukan berarati merah dalam arti kata sebenarnya, tetapi mengacu kepada “merah” dalam bahasa Rusia yaitu  indah.

Memang Katedral Saint Basil ini indah sekali. Lihatlah arsitek bangunannya. Menara-menara kathedral ini memiliki karakter yang unik. Dibangun saat Ivan the Terrible berkuasa pada abad ke-15. Menurut  Svet Zakharov yang selalu setia mendampingi selama di Moskow, arsiteknya , Postnik Yakoviev, sengaja dibutakan atas perintah Ivan  untuk mencegah dia membangun kathedral yang lebih indah dari Saint Basil. Kathedral ini juga melambangkan keberhasilan Ivan melawan Tartar Mongolia pada tahun 1552 dalam pengepungan kota Kazan.

Di masa Kekaisaran Perancis, Napoleon menyerbu Rusia dan menguasai Moskow pada tahun 1812, ia pernah memerintahkan agar katedral tersebut dipindahkan ke Paris, tetapi tidak ada teknolgi yang memadai untuk memindahkannya. Diambil jalan pintas dengan meledakkan pakai mesiu.Keinginan Napoleon tidak tercapai, karena hujan turun.

Saya sangat kagum melihat peninggalan sejarah Rusia yang ada di dalam Kathedral Saint Basil. Hal ini menunjukkan betapa pemerintah Rusia dan warganya sangat mencintai sejarah.  Saya berangan-angan, suatu ketika bangsa Indonesia pun memiliki tempat khusus seperti di Rusia—tidak terpencar-pencar sebagaimana museum sekarang ini—sehingga rakyat pun bisa melihat kejayaan bangsanya di satu tempat.

***