Perang Bukan Guyonan

Kita boleh saja berpihak ke manapun. Silakan saja membahas dengan teori geopolitik yang rumitnya sundul langit. Tapi jangan pernah menjadikan perang sebagai bahan tertawaan.

Senin, 28 Februari 2022 | 06:00 WIB
0
157
Perang Bukan Guyonan
Anak-anak korban perang (Foto: Facebook.com)

Melihat analisis perang Ukraina - Rusia yang viral sejak kemarin, terus terang saya merasa terganggu.

Itu, yang mengumpamakan konflik kedua negara tersebut seperti hubungan antara wanita dengan mantan suaminya.

Cari aja sendiri, ya. Banyak banget yang share tulisannya. Paling nanti juga lewat di beranda Teman-teman.

Saya bukan ahli politik. Nggak punya latar belakang ilmu Hubungan Internasional juga. Pengetahuan tentang negara-negara di dunia juga nggak terlalu mendalam. Saya hanya lumayan rajin menyimak berita terkini dari berbagai kanal berita internasional. Juga baca-baca buku dan majalah sebagai pengisi waktu.

Biar para ahli saja yang membuat analisis mumpuni sesuai bidang keilmuan mereka.

Postingan ala-ala analisis tersebut mungkin bermaksud menyederhanakan penjelasan agar lebih mudah dipahami, terutama oleh para emak seperti kita (saya). Seolah para emak ini nggak akan mudeng kalau dikasih penjelasan yang detail dan mendalam. Seolah emak identik dengan hal-hal remeh-temeh, gosip kehidupan rumah tangga ala tayangan Insert atau Lambe Turah. Seolah ranah sains dan ilmiah itu bukan bagian para emak.

Tapi yang lebih mengganggu buat saya adalah, bagaimana penyederhanaan penjelasan itu berakhir dengan guyonan. Yang kemudian diikuti dengan guyonan tiada henti oleh para pembaca dan mereka yang membagikan.

Jangan-jangan memang betul bahwa kalau menjelaskan ke para emak itu nggak usah yang rumit-rumit. Bawa guyon. Bawa selow. Baru mereka ngerti.

Perang, di manapun, apapun penyebabnya, siapapun aktornya, satu yang pasti. Dalam setiap perang, selalu RAKYAT yang jadi korban. Mereka yang kesetiaannya pada bangsa tak perlu diragukan, tapi justru selalu jadi pihak yang kalah, terhimpit, terusir, tercabut nyawanya.

Sejak tinggal di Norwegia, saya banyak sekali punya teman orang-orang dari negara-negara konflik. Sudan, Somalia, Eritrea, Burundi, Palestina, Irak, Suriah, Afghanistan, Pakistan, Uyghur, Chechnya, Ukraina.

Entah sudah berapa banyak cerita yang saya dengar dari mereka selama 12 tahun tinggal di sini. 

Terpisah dengan orangtua dan kerabat hingga belasan tahun belum berjumpa. Kehilangan tempat tinggal. Tubuh yang penuh luka akibat desingan peluru atau parang. Trauma yang tak bisa dibayangkan di hari-hari mereka yang penuh dentuman bom dan tentara bersenjata laras panjang. Kehidupan keseharian di bawah rejim tirani bertangan besi. 

Perjuangan mengumpulkan harta yang tersisa agar bisa membayar orang untuk keluar dari tanah kelahiran yang berubah jadi neraka. Terombang-ambing di lautan, melihat korban berjatuhan, dan terpaksa dibuang ke lautan.

Hingga sampai ke negara tujuan yang penuh harapan baru. Itupun mereka masih harus menunggu demi mendapat status warga negara yang sah, bisa bekerja, membangun hidup baru di negeri yang aman, tenteram, damai, dan sejahtera. 

Itupun, tak semua pengungsi atau korban perang ingin menghabiskan masa tuanya kelak di negeri baru. Mereka memimpikan saat di mana tanah kelahiran mereka kembali damai tanpa perang. Mereka punya harapan untuk kembali hidup mengabdi, dan mati, di tanah kelahiran mereka suatu hari nanti.

Mereka yang selamat dari perang dan berhasil keluar tergolong kelompok yang sangat beruntung. Keberuntungan yang harus dibayar dengan sangat mahal. Membayangkannya saja sudah tak sanggup. 

Mungkin sebagian kita perlu bergaul dengan rakyat korban perang untuk bisa sedikit saja merasakan kepedihan mereka. Sekadar meminjamkan telinga untuk mendengar. Sekadar menunjukkan bahwa kita punya empati sebagai sesama manusia.

War is never a laughing matter.

Perang bukan guyonan. 

Kita boleh saja berpihak ke manapun.

Silakan saja membahas dengan teori geopolitik yang rumitnya sundul langit. 

Tapi jangan pernah menjadikan perang sebagai bahan tertawaan. 

Karena di setiap perang selalu ada rakyat -- orang-orang biasa seperti kita semua -- yang menjadi korban.

***

Nb: Hanya catatan kecil seorang perantau Indonesia di Benua Biru.

Haugesund, 

27 Februari 2022