Kita boleh saja berpihak ke manapun. Silakan saja membahas dengan teori geopolitik yang rumitnya sundul langit. Tapi jangan pernah menjadikan perang sebagai bahan tertawaan.
Melihat analisis perang Ukraina - Rusia yang viral sejak kemarin, terus terang saya merasa terganggu.
Itu, yang mengumpamakan konflik kedua negara tersebut seperti hubungan antara wanita dengan mantan suaminya.
Cari aja sendiri, ya. Banyak banget yang share tulisannya. Paling nanti juga lewat di beranda Teman-teman.
Saya bukan ahli politik. Nggak punya latar belakang ilmu Hubungan Internasional juga. Pengetahuan tentang negara-negara di dunia juga nggak terlalu mendalam. Saya hanya lumayan rajin menyimak berita terkini dari berbagai kanal berita internasional. Juga baca-baca buku dan majalah sebagai pengisi waktu.
Biar para ahli saja yang membuat analisis mumpuni sesuai bidang keilmuan mereka.
Postingan ala-ala analisis tersebut mungkin bermaksud menyederhanakan penjelasan agar lebih mudah dipahami, terutama oleh para emak seperti kita (saya). Seolah para emak ini nggak akan mudeng kalau dikasih penjelasan yang detail dan mendalam. Seolah emak identik dengan hal-hal remeh-temeh, gosip kehidupan rumah tangga ala tayangan Insert atau Lambe Turah. Seolah ranah sains dan ilmiah itu bukan bagian para emak.
Tapi yang lebih mengganggu buat saya adalah, bagaimana penyederhanaan penjelasan itu berakhir dengan guyonan. Yang kemudian diikuti dengan guyonan tiada henti oleh para pembaca dan mereka yang membagikan.
Jangan-jangan memang betul bahwa kalau menjelaskan ke para emak itu nggak usah yang rumit-rumit. Bawa guyon. Bawa selow. Baru mereka ngerti.
Perang, di manapun, apapun penyebabnya, siapapun aktornya, satu yang pasti. Dalam setiap perang, selalu RAKYAT yang jadi korban. Mereka yang kesetiaannya pada bangsa tak perlu diragukan, tapi justru selalu jadi pihak yang kalah, terhimpit, terusir, tercabut nyawanya.
Sejak tinggal di Norwegia, saya banyak sekali punya teman orang-orang dari negara-negara konflik. Sudan, Somalia, Eritrea, Burundi, Palestina, Irak, Suriah, Afghanistan, Pakistan, Uyghur, Chechnya, Ukraina.
Entah sudah berapa banyak cerita yang saya dengar dari mereka selama 12 tahun tinggal di sini.
Terpisah dengan orangtua dan kerabat hingga belasan tahun belum berjumpa. Kehilangan tempat tinggal. Tubuh yang penuh luka akibat desingan peluru atau parang. Trauma yang tak bisa dibayangkan di hari-hari mereka yang penuh dentuman bom dan tentara bersenjata laras panjang. Kehidupan keseharian di bawah rejim tirani bertangan besi.
Perjuangan mengumpulkan harta yang tersisa agar bisa membayar orang untuk keluar dari tanah kelahiran yang berubah jadi neraka. Terombang-ambing di lautan, melihat korban berjatuhan, dan terpaksa dibuang ke lautan.
Hingga sampai ke negara tujuan yang penuh harapan baru. Itupun mereka masih harus menunggu demi mendapat status warga negara yang sah, bisa bekerja, membangun hidup baru di negeri yang aman, tenteram, damai, dan sejahtera.
Itupun, tak semua pengungsi atau korban perang ingin menghabiskan masa tuanya kelak di negeri baru. Mereka memimpikan saat di mana tanah kelahiran mereka kembali damai tanpa perang. Mereka punya harapan untuk kembali hidup mengabdi, dan mati, di tanah kelahiran mereka suatu hari nanti.
Mereka yang selamat dari perang dan berhasil keluar tergolong kelompok yang sangat beruntung. Keberuntungan yang harus dibayar dengan sangat mahal. Membayangkannya saja sudah tak sanggup.
Mungkin sebagian kita perlu bergaul dengan rakyat korban perang untuk bisa sedikit saja merasakan kepedihan mereka. Sekadar meminjamkan telinga untuk mendengar. Sekadar menunjukkan bahwa kita punya empati sebagai sesama manusia.
War is never a laughing matter.
Perang bukan guyonan.
Kita boleh saja berpihak ke manapun.
Silakan saja membahas dengan teori geopolitik yang rumitnya sundul langit.
Tapi jangan pernah menjadikan perang sebagai bahan tertawaan.
Karena di setiap perang selalu ada rakyat -- orang-orang biasa seperti kita semua -- yang menjadi korban.
***
Nb: Hanya catatan kecil seorang perantau Indonesia di Benua Biru.
Haugesund,
27 Februari 2022
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews