Akibat Mengerikan Sikap Antikeberagaman

Kebebasan adalah apa yang selalu dicari manusia, tetapi dalam pencarian kebebasan itu, makin hari manusia semakin sulit untuk memusnahkan eksistensi yang lain.

Jumat, 12 Maret 2021 | 22:48 WIB
0
318
Akibat Mengerikan Sikap Antikeberagaman
Paket pengiriman anak (Foto: Istimewa)

Berita apa yang mengganggu pikiran saya beberapa hari belakangan? Ada banyak, tetapi terutama berita tentang persidangan kasus pemenggalan Samuel Paty. Guru Sejarah di Prancis itu dipenggal oleh seorang radikalis Abdullakh Anzorov, yang akhirnya tewas di tangan polisi. Alasan pemenggalannya karena menganggap Paty telah melecehkan Nabi Muhammad.

Persidangan itu mengungkap suatu kenyataan yang memprihatinkan: adanya seorang siswi yang telah berkata bohong pada ayahnya bila Paty telah menunjukkan 'foto Nabi telanjang' kepada siswa di kelasnya. Faktanya, siswi itu tidak berada di kelas karena sedang dihukum skorsing akibat terlalu sering membolos. Kebohongan tentang Paty yang menghina Nabi itu telah membuat ayah si siswi pembohong itu membuat unggahan yang memancing reaksi di media sosial. Dari situlah Anzorov terpicu untuk memenggal Paty.

Seorang siswa yang begitu takut pada ayahnya sehingga kehilangan kemanusiaannya. Apakah ayah masa kini adalah seorang pemarah brutal hingga menakutkan? Ataukah kejujuran bukan lagi nilai-nilai yang dimiliki seorang siswi, efek maraknya peredaran hoax?

Memprihatinkan melihat masalah intoleransi yang makin menjadi-jadi di dunia ini. Intoleransi ini berdampak pada krisis moral yang terjadi di sekitar kita. Hilangnya kepekaan, hilangnya kemanusiaan.

Yang jelas, intoleransi pelan-pelan telah menjadi kecenderungan sikap masyarakat akibat ketakmampuan menerima keberagaman. Sikap anti keberagaman dan radikalis yang difasilitasi secara masif oleh teknologi informasi digital.

Bila dulu penyebaran hoax dan ujaran kebencian hanya disuarakan orang-orang serupa Bu Tedjo dengan tingkat penyebaran terbatas, kini ‘Bu Tedjo’ dan gadgetnya membuat jangkauan konten negatif menjadi berlipat ganda. Sebuah ironi yang memang telah diramalkan lebih 30 tahun lalu.

Ekses akibat meluasnya penggunaan teknologi informasi selalu dikaitkan dengan apa yang disebut fenomena ‘post-truth’. Saat kebenaran dapat dimanipulasi menurut kepentingan tertentu, dan teknologi informasi sungguh fasilitator luar biasa bagi manipulasi ini.

Mengamplifikasi dampak-dampak dari benturan peradaban, seperti yang ditulis Samuel Huntington dalam The Clash of Civilizations and Remaking of World Order. Menurut Huntington, setelah komunisme hancur, boleh dibilang demokrasi dan kapitalisme (tepatnya pasar bebas dengan aneka kadar kebebasan tergantung masing-masing negara) menjadi satu-satunya konsep ideologi negara yang diterima.

Sejak itu dunia menghadapi persoalan-persoalan baru yang timbul dari perbedaan budaya. Informasi yang makin masif, dunia makin mengglobal dan menyerupa di satu sisi. Pertentangan budaya di pihak lain. Perebutan pengakuan atas identitas kelompok, mempertahankan budaya dan identitasnya dengan memerangi budaya lain. Bersifat tribal, artinya berbasis kelompok. Terjadi antara kelompok-kelompok dengan akar tradisi budaya berbeda.

Inilah yang disebut benturan peradaban oleh Huntington. Merujuk pada Wikipedia, benturannya mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, adat serta kemampuan dan kebiasaan-kebiasaan individu.

Penyempitan penerimaan pada keberagaman, over kompetisi dan berujung konflik. Sebagai contoh, kepercayaan, sesuatu yang berdasar subyektivitas dan rasa yang berbeda pada setiap orang, dikompetisikan dengan lomba-lomba seolah kepercayaan adalah suatu kebenaran mutlak dan tak bisa difalsifikasi. Ibaratnya ada 2 kelompok pembaca buku: penyuka kisah Harry Potter dan penyuka kisah Vampir dalam Twilight. Pemuja Harry Potter menganggap Voldemort benar-benar ada, dan mempersekusi mereka yang percaya bahwa Edward Cullen adalah penyelamat dunia dari angkara murka.

Kedua kelompok itu juga berdebat tentang siapa yang paling benar dengan mengutip kisah yang mereka kagumi itu. Bukan berdasarkan sains dan bukti-bukti empiris yang ada.

Populisme sering menjadi pembakar pertentangan-pertentangan ini, disamping memudarnya sikap kritis dan rasionalitas. Orang hanya memilih informasi yang disukainya, yang menjauhkan mereka dari sikap obyektif dan kebiasaan refleksi diri. Pemuja Amanda Manoppo tak pernah mau melihat tayangan tentang artis lain, apalagi melihat konten ilmu pengetahuan.

Kasus Samuel Paty adalah salah satu contoh benturan budaya tersebut.

Menarik juga kita perhatikan perjalanan sejarah peradaban manusia, dunia ternyata penuh benturan-benturan dan pertentangan yang berujung lahirnya pemahaman dan tatanan baru. Sejarah memperlihatkan bahwa moral, nilai-nilai, adalah sesuatu yang dinamis. Ada masa saat perbudakan adalah legal seperti juga kita melihat belum terlalu lama dari saat ini, merokok di gedung pelayanan publik masih diperbolehkan. Baru kemarin saya kaget melihat artikel pengiriman anak balita melalui jasa ekspediasi di awal abad 20, sesuatu yang legal dan tidak terasa ‘kejam’ pada zamannya.

Sejarah mencatat sistem monarki absolut banyak yang runtuh seiring dengan pecahnya Perang Dunia I. Kolonialisme kehilangan simpati setelah Perang Dunia II. Kurang lebih 30 tahun lalu, Francis Fukuyama dalam The End of History mengulas kemenangan ‘demokrasi liberal’ melawan komunisme berkonsekuensi hilangnya polar ideologi.

Demokrasi menjadi satu-satunya tata kelola kehidupan sosial politik yang dominan. Setelah masa itu pertentangan akan tetap terjadi hanya dalam koridor penerimaan pada demokrasi dan pasar bebas. Dan Fukuyama benar, pertentangan masa kini bertumpu pada benturan budaya.

Kita sebenarnya dapat melihat benang merahnya. Liberalisme, seperti kata Fukuyama. Bukan liberalisme dalam arti isme, ideologi, tetapi kebebasan. Liberal, seperti kata ‘laissez-faire’ , sebuah frasa bahasa Prancis yang berarti ‘biarkan berbuat’. Menjadi sifat manusia untuk mencari kebebasan dengan dibiarkan bebas berbuat. Pengekangan membuat manusia tak bahagia dan berusaha melepaskan diri.

Sejarah memperlihatkan bagaimana manusia melepaskan diri dari perbudakan, karena perbudakan membuat manusia kehilangan kuasa atas dirinya. Demikian juga dengan monarki absolut, yang membuat kesempatan menjadi raja, pemimpin, hanya didapat melalui garis darah.

Demikian juga kolonialisme yang mengekang bangsa lain untuk menentukan masa depannya sendiri. Sejarah manusia memperlihatkan perlawanan terhadap pengekangan-pengekangan itu. Termasuk juga mengapa komunisme akhirnya hancur dan tak lagi populer. Dalam prakteknya, komunisme mengekang keinginan manusia terhadap kepemilikan pribadi dan pasar bebas.

Masalah sederhana seperti busana misalnya, busana perempuan Eropa abad 18 dengan korset ketat untuk menjaga bentuk tubuh tak lagi populer di awal abad 20. Berganti busana yang lebih nyaman. Di banyak belahan dunia, kejadian serupa pun terjadi: manusia selalu mencari busana yang tak mengekang dan lebih nyaman. Manusia selalu ingin mengekspresikan diri, maka mereka akan selalu berusaha melepaskan diri dari apapun yang mengekangnya. Manusia selalu mencari kebebasan, selalu berusaha lebih bebas dari masa ke masa sepanjang sejarah peradaban.

Lalu apakah kebebasan itu berbatas? Ya, selalu ada batasnya sepanjang sejarah peradaban: tidak mengganggu atau mencelakakan orang lain. Keselamatan orang lain. Hak orang lain. Itulah batasnya. Dimulai dari hukum rimba hingga akhirnya tercipta hukum modern. Prinsipnya selalu survival of the fittest . Yang paling siap yang menang. Kesiapan bisa berupa kemampuan bertarung, kesiapan fisik, ataupun kesiapan strategi.

Yang paling cerdas yang menang. Bertambah modern, kesiapan fisik dan strategi itu juga berwujud kesiapan finansial, kesiapan pasukan, kesiapan alat, kesiapan mental bahkan kesiapan kemampuan supranatural. Yang memilikinya yang lestari.

‘Character building’ ketat yang dilakukan Musa terhadap bangsa Israel membuat mereka bebas dari perbudakan. Penaklukan Eropa di tanah jajahan, konon disebabkan karena mereka telah memiliki senjata api, sesuatu yang tak terjangkau teknologi lokal masa itu. Poligami, selir, harem bagi raja-raja berawal dari ketidakmampuan perempuan untuk hidup mandiri ekonomi di masa lalu. Karena dunia masih sangat mengandalkan tubuh fisik, sehingga perempuan selalu kalah terhadap laki-laki.

Seiring dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi, manusia sampai pada pemahaman-pemahaman baru yang membebaskan.

Kolonialisme pada akhirnya dianggap sesuatu yang salah sesudah Perang Dunia II. Perempuan mandiri ekonomi membuat poligami tak lagi menjadi populer di kalangan perempuan. Ini masih ditambah rumusan-rumusan hak asasi manusia yang pada intinya adalah pengakuan kepada kebebasan manusia.

Maka saya kira, di tengah benturan budaya ini, yang kelak menang adalah budaya yang paling membebaskan. Budaya dengan penekanan pada kesadaran dan bukan aturan-aturan yang ketat. Bila kita ambil contoh kasus Samuel Paty di atas, kesadaran akan membuat si siswi tak akan takut berlebihan pada kemarahan ayahnya, karena fitnah tentang agama dapat menimbulkan kerusuhan yang berujung pada bencana kemanusiaan. Sejarah panjang peradaban selalu menunjukkan pencarian kebebasan itu.

Budaya-budaya dan nilai-nilai itu akan selalu bergerak mencari bentuk dan formulasi baru. Mereform dan mengeliminasi yang tak lagi sesuai. Ambil contoh feminisme, gerakan yang aktif menuntut kemandirian dan kesetaraan dengan laki-laki. Di tahun 70an, gerakan feminisme banyak melakukan kajian kritis terhadap fashion, dandan dan kosmetik karena dianggap sebagai upaya tampil cantik sesuai standar dalam kacamata laki-laki. Di tahun 80an, sikap kritis para feminis ini mendapat penolakan dari apa yang disebut Angela McRobbie sebagai gerakan pascafeminisme. Gerakan yang mendevaluasi nilai-nilai feminisme. Mereka hadir melalui ikon-ikon pop perempuan seperti Madonna, Spice Girls, Beyonce dan lain-lain. Sosok perempuan-perempuan cantik, seksi, tetapi diklaim sebagai sosok yang mandiri dan tidak takluk pada lelaki.

Macron

Baca Juga: Macron, Kepada Siapakah Engkau Akan Memihak?

Mereka bersenang-senang dengan fashion dan kecantikan untuk menyenangkan diri mereka sendiri. Feminitas untuk diri sendiri ini kemudian menjadi upaya untuk pemberdayaan perempuan bagi kaum pascafeminim. Perempuan didorong memanfaatkan fashion dan kecantikan untuk mendapatkan apa yang mereka mau.

Di era digital, gejala pascafeminisme ini semakin menjadi-jadi dengan lahirnya banyak beauty influencer di media sosial. Mereka yang mengarahkan perempuan lain agar tampil menarik tidak untuk dipandang laki-laki, tetapi justru untuk meraih perhatian sesama perempuan. Demikianlah pergeseran nilai. Perempuan telah mampu membebaskan diri dari ketergantungan hidup pada laki-laki, seperti apa yang diperjuangkan para feminis masa lalu. Namun di luar dugaan, bukan dengan melepaskan diri dari konsep cantik. Perempuan tetap tampil cantik, tetapi tidak lagi dengan konsep kecantikan yang disukai laki-laki, melainkan konsep kecantikan yang disukai sesama perempuan.

Maka pemakaian make up menjadi laris, meski banyak laki-laki cenderung menyuka perempuan tanpa make up. Perempuan tak percaya diri tampil tanpa make up, bukan karena takut dinilai buruk para lelaki, tetapi justru takut pada penilaian sesama perempuan.

Mungkin begitu juga yang akan terjadi pada budaya atau kepercayaan-kepercayaan yang mengandung unsur intoleransi dan radikalisme. Kelak hanya unsur intoleransinya saja yang hilang, bukan keseluruhan budaya atau kepercayaanitu. Itupun karena reformasi dari dalam budaya atau kepercayaan itu sendiri. Bukan karena intervensi atau pertentangan dengan budaya dan kepercayaan lain. Seperti institusi pernikahan yang selalu ada sepanjang zaman, tak pernah punah, meski ada yang tak lagi mempercayainya. Bentuk relasinya saja yang mungkin berubah sesuai zaman: perempuan tak lagi inferior dalam rumah tangga.

Kebebasan adalah apa yang selalu dicari manusia, tetapi dalam pencarian kebebasan itu, makin hari manusia semakin sulit untuk memusnahkan eksistensi yang lain.

***