Ke Jerman Saya Selalu Berpaling

Jerman adalah satu-satunya negara di Eropa yang setiap tahun memberikan kesempatan 400.000 tenaga kerja asing baru untuk bisa tinggal di negara tersebut.

Minggu, 20 Maret 2022 | 16:43 WIB
0
158
Ke Jerman Saya Selalu Berpaling
Jerman (Foto: pikiran-rakyat.com)

Sebagai orang yang sedikit banyak dianggap "mendukung", atau paling tidak bisa memahami alasan penyerbuan Rusia ke Ukraina.

Tentu saja memilih untuk lebih banyak diam, tidak menuliskan apa-apa tentang perkembangan konflik tersebut. Apalagi belakangan, saya semakin harus tahu diri bahwa setidaknya saya terlibat secara emosional. Karena calon mantu saya adalah seorang warga Rusia. 

Mestakung apalagi yang ditunjukkan alam, saya tidak tahu.  

Saya tidak bisa bayangkan, bagaimana posisi anak saya sekarang seolah jadi "bunker" bagi calon istrinya. Bagaimana setiap hari, ia harus menerima perundungan dari teman atau publik lainnya di Hamburg. Padahal tahu apa, terlibat dalam konteks apa, dirinya terkait pokok masalahnya?

Untunglah, mereka tinggal di Jerman. Sebuah negara yang belakangan ini, selalu bersikap abu-abu dalam peta konflik di banyak belahan dunia. 

Sebagai anggota NATO ia tentu saja tak bisa sepenuhnya cuci tangan. Tapi juga tak pernah benar-benar mendukung berbagai manuver politik-perang yang digerakkan terutama oleh Amerika Serikat dan Inggris.

Saya tahu betul, bahwa kehadiran Jerman di banyak peta konflik dunia tak lebih sebagai penonton. Ia hadir, dengan agreement bahwa prajuritnya tak boleh turun ke medan tempur. Contoh yang paling muthakir adalah invasi Barat ke Afghanistan. 

Tak banyak orang yang tahu, bahwa alasan penarikan mundur tentara AS di Afghanistan terutama karena mereka kehilangan dukungan kongkrit dari negara-negara Eropa Barat. Dalam rilisan film perang yang satir: War Machine (2017), yang tayang jauh sebelum AS ngacir pergi dari Afghanistan, Jerman adalah pokok pangkal mundurnya AS. Ketika ia dipaksa untuk menambah pasukan, alih-alih mengiyakan pathok bangkrong. Mereka memang mengirim pasukan, tapi hanya sebagai pengamat. Angela Merkel melarang mereka turun gelanggang!

Hingga akhirnya AS menyerah balik kampung, sesuatu yang tak pernah benar-benar diakuinya sebagai "kekalahan". Media hanya menyebutkan secara seragam sebagai "meninggalkan".  

Sebuah perang panjang selama 21 tahun, yang dimulai sejak 7 Oktober 2001 dan berakhir di 31 Agustus 2021. Konon, selama kurun tersebut, dibagi menjadi dua periode perang, yaitu: Operation Enduring Freedom (2001-2014) dan berubah nama menjadi Operation Freedom's Sentinel (2015-2021). Sebuah ironi yang tragis, karena disebut "operasi kebebasan abadi" dan lalu menjadi "opearsi menjaga kebebasan". Apanya yang bebas, yang ada adalah justru mereka mengukuhkan kekuatan Taliban sebagai pemenangnya!

Lalu apa reaksi dunia terhadap AS? Tidak ada!

Tak satu pun negara, memberikan sanksi ke AS dan sekutunya. Padahal eskalasi kerusakan yang ditinggal AS dan Sekutunya berpuluh kali lipat dibanding saat Uni Soviet menginvasi Afghan.

Saat di mana tak satu pun negara yang secara terang-terangan memberikan bantuan apa pun ke kelompok Taliban. Mereka kalah berperang dari kekuatan tradisional yang menggunakan peralatan perang kuno, yang berasal dari era perang melawan Soviet. Kalau pun ada senjata-senjata baru itu pun hasil dari barter opium melalui pasar gelap perdagangan senjata. 

Dalam hal ini, Jerman menunjukkan sikapnya yang sangat jelas. Menyadari bahwa ini adalah perang yang tak mungkin mereka menangkan. Jauh hari mereka menolak untuk terlibat lebih jauh. Hal ini sesungguhnya "idem ditto" dengan konflik Rusia-Ukraina. Ketergantungan Jerman akan pasokan energi dan pangan dari Rusia pun Ukraina, menyebabkannya tidak terlalu reaktif-reaktif amat. Mereka tahu Rusia adalah super power lain, yang tentu saja tak bisa dibandingkan dengan Afghan, Irak, atau Suriah sekali pun. 

Mereka berbeda dan Pembandingnya apa? Inggris tentu saja. 

Tak berhitung hari sejak hari pertama Rusia memerangi Ukraina, mereka telah membekukan asset mereka yang dianggap sebagai oligarki dari Vladimir Putin. Mereka melarang bank-bank mereka bertransaksi dengan bank-bank Rusia. melarang kegiatan ekspor-import. Mereka bukan saja secara sepihak menyita nyaris semua asset mereka, bahkan secara sangat sadis masuk ke arena olahraga yang selama ini mereka jaga seolah-olah sebagai "kawasan bebas intervensi politik".   

Contoh paling mencolok mata adalah perilaku rasis, fasistik, dan sepihak mereka terkait klub sepakbola favorit saya Chelsea. Klub yang mulanya hanya semenjana saja, tapi di tangan taipan Rusia Roman Abramovich. Mereka bukan saja mengangkat derajat Inggris sebagai negara yang kembali diperhitungkan dalam arena antar klub. Justru di saat tim nasional mereka seolah hanya "masa lalu, kuno, dan pepesan kosong". Menjadikannya Chelsea sebagai tidak saja juara Liga Champion Eropa, bahkan Juara Dunia Antar Klub di kalender resmi FIFA.  

Persoalannya menjadi sangat serius dan menyentuh sisi kemanusiaan. Saat otoritas sepakbola setempat atas perintah Pemerintah Inggris bahkan masuk hingga membekukan keuangan klub. Bukan sekedar melarang aktivitas jual beli pemain di musim panas mendatang, mereka juga menyebabkan nasib para pemain terkatung-katung karena gajinya kemungkinan gagal bayar. Bahkan yang paling ironis, mereka melarang klub ini menjual tiket dan membatasi biaya transport bila klub ini harus melakukan pertandingan tandang. 

Terakhir, ketika mereka harus bertanding ke klub Lille. Pelatihnya Thomas Tuchel, meyakinkan timnya bahkan bila perlu ia akan menyopiri sendiri bus timnya. Jika tak ada lagi biaya yang bisa diperoleh. Bahkan pemain yang saya yakin kelak akan menjadi superstar tim nasional Jerman di masa datang: Kai Haverst. Ia rela merogoh kocek pribadinya, sekedar membiayai perjalanan tim ke Miiddleborgs dalam lanjutan Piala FA. Semangat sosialisme yang menjadi tradisi dasar bangsa Jerman Pasca Perang Dunia II. 

Jadi bukan kebetulan, keduanya adalah orang Jerman!

Sebaliknya Inggris adalah contoh fasisme, narsistik-fatalis, dan ultra-liberalisme model baru di tingkat negara yang ada di benua Eropa. Jangan lupa, saat mereka melakukan Brexit, keluar dari Uni Eropa karena mereka tahu bergabungnya negara-negara Eropa Timur berpotensi akan mengganggu perekonomaian dalam negerinya. Mereka tak mau menyisihkan APBN hanya sekedar mengangkat derajat kehidupan masyarakat yang dianggapnya bukan Anglo-Saxon. 

Sialnya dalam kasus terakhir, dialah yang paling reaktif. Padahal merekalah provokator sesungguhnya yang menggoda Ukraina untuk bergabung kedalam NATO. Ya NATO, di sini tolong dibedakan 

antara NATO dan Uni Eropa. Sesuatu yang sesungguhnya hanya berisisan saja. Di dalam NATO itu ada AS dan Inggris, tapi minus Perancis dan Swedia. Sebaliknya di Uni Eropa. 

Bandingkan dengan Jerman, yang bersedia bukan saja membantu mereka. Bahkan ketika Yunani dan Portugal di ambang kebangkrutan, mereka yang pertama-tama mengulurkan tangan. Ketika nilai Euro sebagai mata uang bersama Uni Eropa, selalu Jerman-lah yang berusaha mempertahankannya.

Jangan lupa, ketika pecah konflik Suriah: Jerman adalah salah satu negara maju yang membuka pintu perbatasan negerinya. Saya yakin, sebagian besar pengungsi Ukraina kelak, jika krisis terus berlanjut akan melakukan hal yang sama. 

Apakah Jerman menjadi bangkrut? Tidak! 

Jerman adalah satu-satunya negara di Eropa yang setiap tahun memberikan kesempatan 400.000 tenaga kerja asing baru untuk bisa tinggal di negara tersebut. Sekali pun sebagian industri mereka telah berbasis Artificial Intelegence (IA) dan robotic, tapi mereka tetap membutuhkan banyak tenaga kerja manusia. Ia adalah salah satu negara dengan paham sosialisme yang memungkinkan banyak manusia muda dari segala penjuru dunia tanpa kecuali, menuntut ilmu nyaris gratis di negara tersebut. 

Negara ini adalah negara satu-satunya yang bukan saja mampu berswasembada pangan, mandiri dalam kekuatan militer, industri termaju dan paling ramah lingkungan, dan ekonomi dunia paling kuat. Dengan nyaris nol dalam hutang luar negeri. Mereka adalah lumbung pangan Eropa bahkan dunia, yang bersedia mengulurkan tangan tanpa pretensi saat negara lain membutuhkan.

Dalam konteks inilah, harusnya kita mudah paham bahwa bila berbicara dalam konteks Eropa, mereka sama sekali tidak seragam. 

Bandingkan dengan rezim "banyak tingkah" Inggris, sebuah negara yang menjadi duo-megalomania bersama AS. Preseden nyata mereka menyabot dan menyita aset-aset Rusia menunjukkan bahwa "watak perampok" dalam diri mereka abadi adanya. Mereka masih merasa sebagai satu-satunyanya kekuatan di dunia. Mereka masih terobsesi sebagai duet Pax-Britanica dan Pax-America. Mereka lupa (atau malah sadar) bahwa di Eropa telah muncul Pax-Germanica, sedang di Asia Pax-Chinoisica telah mengintip siap menelan. 

Dan Rusia, dalam konfliknya dengan Ukraina. Mereka adalah pembuka pintu untuk menunjukkan perlunya perubahan dalam tata hubungan antar negara. Konflik ini sedemikian menjelaskan banyak hal. Orang abai bahwa sistem dwi-kewarganegaraan di Ukraina, bahwa posisi Presiden, Menteri dan pejabat negara mereka yang berkewarganegaraan ganda dengan AS. Membuat mereka tak lebih CEO swasta yang menjalankan administrasi negara. Mereka tak lebih badut panggung yang bekerja sesuai order pementasan.

Bandingkan dengan profesionalisme, humanisme dan independensi orang Jerman. Jauh! Saya utopis? Mari kita tunggu dan lihat saja...

Saya yakin konflik ini segera berakhir, bila saja Inggris dan AS tidak bermain di air keruh terus menerus. Perang Dunia itu jauh panggang dari api, setidaknya itulah harapan kita. Sayangnya kita tak akan bisa membedakan mana Perang Dunia dan Perang Nuklir? Sesuatu yang tak sama, yang bisa berjalan beriringan tapi juga berjalan sendiri-sendiri.

Anak saya, berkeluh kesah setengah halusinatif. Bagaimana kalau saat sedang tidur tiba-tiba meletus bom di belakang rumahnya. Saya yakin tak mungkin, bom tak akan sampai menyasar Jerman. Kalau pun ada negara yang keampiran bom di Eropa. Inggris adalah sasaran pertama dan utama. Menjelaskan kenapa mereka sedemikian rajin bermanuver, menebar hoaks dan berita bohong. 

Mungkin hanya dengan begitu mereka bisa dibungkam dan mau sadar diri hari ini bukanlah masa lalu. Dan masa depan bukan melulu milik mereka ...

***