Asal Muasal Kompas [10] Diskon Iklan Sampai 85 Persen

Dalam keadaan susah, biasanya kreativitas muncul. Sejak tahun 1969 Kompas mulai melakukan barter dengan berbagai barang yang dibutuhkan perusahaan atau karyawan.

Senin, 20 Mei 2019 | 06:54 WIB
0
519
Asal Muasal Kompas [10] Diskon Iklan Sampai 85 Persen
Ilustrasi iklan Kompas (Foto: Flickr)

 Mulai 14 November 1969 setiap hari Kompas terbit 8 halaman. Pada hari diberlakukan, penerbit menyampaikan informasi tentang perlunya beriklan di Kompas. Dalam sebuah pengumuman yang dimuat di halaman I, selain kenaikan halaman dan harga yang tetap, juga disebutkan bahwa oplah Kompas tanggal 02 Januari 1969 baru 52.144 eks tetapi pada 13 November 1969 sudah menjadi 68.180 eksemplar.

Itu berarti setiap bulan oplah Kompas rata-rata bertambah 1.529 eksemplar. Menurut taksiran jumlah pembaca Kompas satu koran 5 orang, di luar Jawa pasti lebih tinggi lagi.

“Jika menggunakan ratio setiap koran dibaca 5 orang maka pembaca Kompas setiap hari 340.000 orang. Ini patut diketahui para biro iklan dan pemasang iklan,” begitu pengumuman itu ditutup.

Sejak dicetak di percetakan sendiri, PT Gramedia di Palmerah Selatan, oplah Kompas melesat. Ini membuktikan kebenaran pendapat Pak Ojong bahwa percetakan adalah bagian yang tak terpisahkan dengan bagian redaksi maupun bisnis. Apalagi ketika itu mesin cetaknya menggunakan teknologi offset (cetak datar) yang hasilnya jauh lebih rapi dibandingkan hasil mesin cetak teknologi letterpress (cetak tinggi).

Pembatasan halaman dan volume iklan yang ditentukan Departemen Penerangan merupakan satu-satunya kendala perkembangan bisnis Kompas. Paling tidak, pembatasan itu menyebabkan pendapatan iklan tidak bisa berkembang seiring dengan perkembangan oplah. Padahal harga kertas dan ongkos cetak terus naik.

Akibatnya, pendapatan iklan tidak bisa mensubsidi biaya kertas dan ongkos cetaknya sehingga penerbit harus menaikkan harga langganan agar biaya bisa tertutup.

Baca Juga: Asal Muasal Kompas [1] Pintu Besar Selatan

Penghitungan harga iklan biasanya berdasarkan oplah yang dihitung dengan cpt (cost per thousand), tarif dibagi jumlah pembaca. Dengan demikian kenaikan oplah memang menjadi dasar kenaikan harga iklan. Jika kenaikan harga langganan sejak tahun 1975 dilakukan setahun sekali maka harga iklan lebih sering dilakukan. Jika tahun 1975 harga per mm/kolom untuk iklan display Rp. 500 maka pada tahun 1982 sudah menjadi Rp. 2.500 atau lima kali lipat.

Pada tahun 1975 oplah Kompas rata-rata 203.925 sedangkan tahun 1982 mencapai 370.667 eksemplar. Kini, tahun 2010 oplah Kompas berkisar angka 400.000 eksemplar, harga iklan warna display sudah lebih dari Rp 150.000 per mm/kolom. Bisa dibayangkan berapa pendapatan Kompas dari iklan setiap harinya, apalagi tanpa batas halaman!

**

Berhitung kesuksesan masa kini tentunya tak adil jika tidak menyibak masa lalu karena apa yang ada kini tak terlepas dari perjuangan masa lalu. Untuk menjadi besar seperti sekarang, Kompas melalui perjalanan panjang yang penuh perjuangan. Kisah para senior bagian iklan Kompas, saya sampaikan di bawah ini.

Hingga tahun 1967 Kompas belum memiliki nilai jual di mata biro iklan.

Menurut Benny Tedjasendjaja, orang pertama yang menangani iklan saat itu, Kompas hanya mendapatkan 15 persen dari tarif jika iklan dipasang melalui biro iklan. Jadi bisa dikatakan diskon 85 persen, itu pun dicari dengan susah payah.

Setiap pagi dan sore Benny yang kemudian dibantu beberapa orang lain, mencermati iklan di koran-koran terutama Sinar Harapan. Paginya mereka mendatangi pemasang iklan di koran itu untuk menjelaskan pentingnya juga beriklan di Kompas.

Jika menunggu kedatangan pemasang iklan, itu susah diharapkan. Apalagi saat itu kolportir banyak berkumpul di bagian depan ruang iklan PT Kinta, Jalan Pintu Besar Selatan. Begitu ada orang masuk, para kolportir “menggiring” calon pemasang iklan, tentunya ke koran yang sudah mapan, terutama Sinar Harapan, bukan ke koran baru macam Kompas. Belum lagi dengan adanya “permainan” antara kolportir dengan petugas penerima iklan untuk urusan diskon, Kompas semakin tak dilirik.

“Ada saja alasan orang menolak pasang iklan di Kompas, koran kecil-lah, koran komando pastorlah, jeleklah, pokoknya susah,” kenang Benny yang tahun 1969 meninggalkan Kompas.

Satu hal yang menguntungkan Benny, sebelum terjun ia mempelajari masalah periklanan ini dari banyak buku dan dibimbing oleh kepala bagian iklan PT Kinta, Oei Bian Kok, serta pemilik PT Biro Iklan di Bandung, Tjetje Senaputra.

Dari ilmu yang ia dapat, Benny menyusun daftar tarif iklan dan informasi tentang koran Kompas yang ditulisnya dalam Indonesia dan Inggris.

Pada saat itu komunikasi dengan biro-biro iklan di luar negeri masih sulit. Mereka mengirimkan materi melalui pos, biasanya berupa potongan iklan yang dimuat di koran luar negeri dengan bahasa Inggris. Materi tersebut diterjemahkan dan digambar ulang kemudian art-works-nya dikirimkan kembali melalui kantor pos untuk minta persetujuan.

Jika mereka setuju, akan memberitahu melalui surat tapi kalau minta perubahan, prosesnya berulang. Proses iklan dari luar negeri ini paling cepat sebulan. Proses menjadi lancar seiring dengan perkembangan teknologi, antara lain penggunaan mesin faksimil.

Komunikasi yang lancar dengan para calon pemasang iklan asing seiring dengan perkembangan teknologi, ikut mempercepat pertumbuhan volume iklan Kompas. Para pemasang iklan asing langsung berhubungan dengan bagian iklan Kompas. Pemasok barang-barang yang berdomisili di Singapura, sedikit demi sedikit langsung pasang iklan di Kompas.

Dan sedikit demi sedikit diskon pemasangan iklan dikurangi sehingga pada akhir tahun 1968 tinggal 20-30 persen saja. Ini bisa ditempuh selain karena Kompas makin dikenal biro iklan, oplahnya pun terus meningkat.

Dalam keadaan susah, biasanya kreativitas muncul. Sejak tahun 1969 Kompas mulai melakukan barter dengan berbagai barang yang dibutuhkan perusahaan atau karyawan. Mesin ketik Olympia, sepeda motor Lambretta, jam berbagai merk dibeli dengan sistem barter iklan.

Khusus barter jam tangan, kepada para karyawan diberikan surat pengantar untuk mengambil jam senilai Rp. 5.250 di Toko Tjun Tjun, Pasar Baru. Jika karyawan memilih jam yang lebih mahal, ia tinggal menambah kekurangannya saja.

Cara ini sangat berkesan bagi para karyawan, dan bagi perusahaan juga menguntungkan. Menurut Pak Ojong, setelah semua karyawan memiliki jam, tak ada alasan untuk datang terlambat.

(Bersambung)

Mamak Sutamat, wartawan purnatugas Harian Kompas 1970-2004.

***

Tulisan sebelumnya: Asal Muasal Kompas [9] Batu-batu Beterbangan