Asal Muasal Kompas [9] Batu-batu Beterbangan

Seorang agen di kawasan Tanjungpriok untuk sementara terpaksa diberhentikan jatahnya karena memukul petugas Kompas yang terlambat mengantar koran.

Selasa, 14 Mei 2019 | 13:49 WIB
0
607
Asal Muasal Kompas [9] Batu-batu Beterbangan
Ilustrasi lempar batu (Foto: Ridertua.com)

Untuk melayani pelanggan luar Jakarta, awalnya jatah Kompas untuk agen Jawa Tengah selalu dikirim dengan kereta api yang rata-rata berangkat dari Gambir pukul 06.00 WIB. Padahal kalau sedang anjlog, koran baru selesai cetak pukul 05.30. “Bisa dibayangkan betapa ngebut petugas ekspedisi ketika itu,” kata Yohanes BW yang menangani pengiriman koran waktu itu.

Pengiriman koran keluar kota dengan mobil, pertama kali dilakukan untuk jatah agen di Bandung pada tahun 1967. Itu pun meniru apa yang diperbuat Berita Yudha dua minggu sebelumnya. Pengiriman koran dengan mobil ini langsung mendongkrak oplah Kompas, khususnya untuk Jawa Barat.

Mengingat pertambahan permintaan langganan dari luar kota begitu pesat, akhirnya pada tahun 1971 pengiriman ke luar kota, Bandung dan Jateng khususnya, dilakukan dengan mobil sendiri. Itu berarti begitu koran selesai cetak, langsung diangkut ke Jawa Tengah dan Jawa Barat sejak pukul 03.00 bahkan pukul 01.00. Mobil ke Semarang misalnya, membawa koran untuk agen-agen sepanjang jalan menuju kota tersebut.

Setelah Semarang, jurusan Subang pun dilayani dengan mobil. Dan ketika percetakan sudah pindah ke Palmerah (tahun 1972) maka dibukalah pengantaran koran jurusan Banjar, Purwokerto, Rangkas Bitung, dan Pekalongan.

Pada awalnya pengantaran dilakukan dengan mobil sendiri namun kemudian diserahkan kepada pengusaha luar, Kompas hanya menyediakan pengawal saja. Pertimbangannya, biaya untuk pengantaran sendiri terlalu besar. Selain harus menyediakan mobil dan sopir sendiri, risiko kecelakaan dan biaya perawatan kendaraan cukup besar.

Peningkatan oplah melahirkan banyak masalah tidak saja bagi percetakan tetapi juga ekspedisi. Pembelian mesin cetak tidak mungkin bisa dilakukan dengan cepat. Untuk memesan mesinnya saja harus dilakukan setahun sebelumnya. Dampaknya koran terlambat terbit, apalagi jika ada berita yang harus ditunggu hingga larut malam.

Keterlambatan cetak merupakan musibah bagi para petugas ekspedisi, apalagi jika itu berulang-ulang. Dari pelanggan yang mengancam mau berhenti berlangganan, agen yang mencegat mobil pengangkut koran dan meminta jatahnya di situ juga, hingga batu-batu yang beterbangan begitu kendaraan masuk Harmoni, pusat pasar koran ketika itu.

Baca Juga: Asal Muasal Kompas [1] Pintu Besar Selatan

Para pelemparnya tidak saja agen tetapi juga para loper yang merasa dirugikan waktunya. Bahkan seorang agen di kawasan Tanjungpriok untuk sementara terpaksa diberhentikan jatahnya karena memukul petugas Kompas yang terlambat mengantar koran.

Pemasaran koran tak terlepas dari peran para agen, baik di Jakarta maupun luar Jakarta. Penerbit mencetak koran sesuai permintaan agen ditambah keperluan promosi. Sejak awal Kompas menerapkan cara itu sehingga tidak terlalu banyak koran yang mubazir, tak terjual dan dikembalikan. Kepada para agen ditawarkan dua jenis pembelian, secara berlangganan atau eceran.

Harga langganan sudah pasti sedangkan harga eceran tergantung jumlah hari terbit. Mulai tahun 1974 bahkan Kompas mensyaratkan agen harus membayar pembelian di muka. Dan karena saat itu nilai jual Kompas tinggi dan pemberlakuannya bertahap, para agen toh bersedia melakukannya. Istilah nama membawa harga, itu benar adanya.

**

Dari perkembangan harga Kompas, pertama terbit (empat halaman) harga langganan Rp 500, eceran Rp 25. Awal Agustus 1965 naik menjadi Rp. 800 dan Rp. 40. Tetapi pada 13 Desember 1965 terjadi pemotongan nilai uang, Rp. 1.000 menjadi Rp. 1.

Dampak sanering ini membuat semua harga melonjak sehingga pada bulan Januari 1966 uang langganan Kompas sudah menjadi Rp. 4.350 uang baru. Padahal selama itu tampilannya jelek, tintanya tidak rata, banyak di antaranya yang susah dibaca karena buram. Hal ini bukan saja disebabkan mutu cetak yang rendah tetapi mutu kertasnya memang jelek.

Sementara itu pengadaan kertas yang dimonopoli dan disubsidi pemerintah, penyalurannya tidak lancar. Pemerintah memberikan kertas kepada penerbit dengan menggunakan kuota, berdasarkan oplahnya. Akibatnya manipulasi kuota pun jadi marak, dan penerbit harus beli kertas kepada para pedagang dengan harga tinggi.

Baca Juga: Jakob Oetama, Nama Yang Melegenda dalam Dunia Jurnalistik dan Media

Kesulitan kertas jelas tercermin ketika pada tanggal 1 hingga 9 September 1966 koran ini harus terbit dengan ukuran mini, hanya 6 kolom. Hal ini berulang pada penerbitan tanggal 12 hingga 23 Oktober 1966. Dalam pengumumannya Kompas menyebut:

1. Berhubung kami diberi kertas ukuran kecil maka mulai hari ini Kompas terbit dengan ukuran kecil.
2. Sudah beberapa bulan Kompas tidak dapat menerima langganan baru. Harap pembaca maklum. Weselpos yang sudah dikirim terpaksa kami kembalikan.

Pada bulan Februari dan Maret 1968 kesulitan kertas makin parah sehingga Kompas sempat terbit dengan ukuran kecil, hanya cukup untuk mencetak 5 kolom saja. Bahkan pada tanggal 16 Februari itu Kompas terbit menggunakan kertas warna jingga bak koran kuning.

Puncaknya pada tanggal 4 hingga 7 Maret 1968, Kompas hanya terbit dua halaman alias satu lembar saja. Pada saat itu tajuk dibuat dua kolom dan ditempatkan di halaman satu pojok kanan atas. Berita halaman dua dikurangi separo untuk iklan.

Untuk pertama kalinya Kompas terbit delapan halaman pada hari Rabu 31 Juli 1968. Pada hari itu diumumkan, harga langganan tetap (Rp. 180) sedangkan eceran naik dari Rp. 7,50 menjadi Rp. 12,50. Sejak saat itu, asal iklan banyak, Kompas terbit delapan halaman dan harga eceran saja yang naik.

Ketika jumlah iklan semakin banyak maka pada tanggal 2 September 1968 diumumkan bahwa setiap hari Rabu Kompas terbit 8 halaman, harga langganan tetap. Pada hari itu harga eceran naik menjadi Rp. 12,50 per eksemplar. Saat itu nilai satu dolar AS ditetapkan Rp. 440.

Ketika Kompas menjadi delapan halaman, empat halaman dicetak siang hari di PT Kinta atau PT Surya Praba. Untuk lembar yang dicetak siang, pada halaman depan juga dimuat logo Kompas, tanpa boks nama-nama pengasuhnya. Isinya kebanyakan artikel, termasuk terjemahan kisah-kisah kriminal dan tips kesehatan.

Pada penerbitan Rabu 02 Oktober 1968 layout Kompas dipercantik, tajuk rencana yang biasanya hanya satu, hari itu menjadi dua. Tajuk pertama berjudul 100 Tahun Lahirnya Gandhi, tajuk kedua Leitmotiv Kita. Namun demikian halaman 3 tetap pakai logo Kompas.

Pengelolaan koran secara bisnis, bukan sekadar perluasan ideologis, nampak benar pada Kompas. Jumlah halaman bertambah atau berkurang sesuai dengan jumlah iklannya. Jika iklan banyak, melebihi 30 persen dari jumlah halaman, maka halaman pun ditambah. Namun jika berkurang, Kompas terbit dengan halaman minimal (4 halaman).

Akhirnya Kompas secara rutin terbit 8 halaman setiap Rabu dan Sabtu, diumumkan tanggal 31 Desember 1968. Uniknya, kalau terbit hari Rabu, lembar tengah (halaman 3) memasang kop Kompas tetapi pada setiap Sabtu tidak. Maklum “penguasa” edisi Rabu dan Sabtu berbeda orang, konon seleranya berbeda.

(Bersambung)

Mamak Sutamat, wartawan purnatugas Harian Kompas 1970-2004.

***

Tulisan sebelumnya: Asal Muasal Kompas [8] Dijaga Resimen Mahajaya