Pakar dan Politik Media Sosial

Dengan politik medsos ini pakar mampu membangun medsos sebagai ruang demokratis yang berkeadaban yang mampu menciptakan warganet beradab sebagai basis network society.

Sabtu, 27 Februari 2021 | 21:27 WIB
0
337
Pakar dan Politik Media Sosial
Media sosial (Foto: Lonep)

Evolusi media sosial/medsos (social media) atau saya mengistilahkan "jurnalisme #netizen," setidaknya telah mengalami tiga fase perkembangan.

Fase pertama, medsos hadir sebagai media untuk membangun jejaring sosial dan pertemanan.

Fase kedua, medsos hadir dipicu oleh semangat perlawanan atau antitesis terhadap media-media massa mainstream (cetak dan elektronik) yang oleh publik dianggap telah mengkooptasi kebebasan opini publik, dan menjadi kaki-tangan penguasa (politik dan bisnis). ]

Fase ketiga, medsos hadir dipicu oleh kebangkitan era "post-truth". Sebuah era, dimana realitas dan kebenaran dibangun di atas fondasi narasi-narasi kebohongan dan hoaks yang terus-menerus diproduksi, reproduksi secara berulang-ulang sehingga publik meyakininya sebagai sebuah kebenaran.

Pada fase ketiga ini pula, otoritas pengetahuan, pakar, kepakaran atau kecendekiaan runtuh. Mereka tak lagi memiliki otoritas keilmuan untuk mengendalikan ilmu pengetahuan di ruang-ruang publik. Pada fase ini pula, setiap orang terjangkit Efek Dunning-Kruger dan Bias Konfirmasi dalam segala hal.

Fenomena medsos fase ketiga ini direkam oleh Tom Nichols dalam bukunya "The Death of Expertise: The Campaign Against Established Knowledge and Why it Matters" (2017). Nichols secara aktual, cerdas, dan orisinil menggambarkan bagaimana revolusi digital, Internet, dan medsos mampu mewahani dan mendorong kuat hasrat heroik, dan narsisme banyak orang.

Di satu sisi, revolusi digital, Internet, dan medsos telah menggerus kekuasaan dan kontrol kalangan pakar (intelektual, cendekiawan, ilmuwan) atas wacana akademik dan kebenaran di ranah publik. Kehadiran Internet telah merongrong otoritas para ahli, dan sentimen anti-keahlian dan anti-intelektualisme. Di sisi lain, revolusi digital, Internet, dan medsos juga telah membantu memicu lonjakan egalitarianisme intelektual narsistik dan sesat di ruang-ruang maya publik.

Di era keterbukaan informasi berbasis Internet, setiap orang (netizen) mengklaim dirinya tahu segalanya, hanya dengan berselancar singkat melalui lapak WebMD atau Wikipedia. Mereka percaya, dirinya juga memiliki pijakan intelektual yang sama dengan para intelektual, profesional, produk dari tradisi universitas. Setiap suara netizen, bahkan yang paling konyol sekalipun, menuntut untuk ditanggapi dengan keseriusan yang sama, dan setiap klaim yang bertentangan dari pakar dianggap sebagai elitisme yang tidak demokratis.

"The Death of Expertise", bukan hanya mengeksplorasi sebuah fenomena berbahaya bagi kehidupan intelektual atau kecendekiaan. Tetapi juga sebuah peringatan atas stabilitas dan kelangsungan hidup tradisi agung universitas di Era Informasi, yang suatu saat akan runtuh, jika tidak ada ikhtiar untuk mengatasinya.

Fenomena anti-keahlian dan anti-intelektualisme ini akan terus berkembang luas manakala para pakar tak acuh dan diam sejuta makna. Mereka, para pakar dengan penuh kesadaran dan keikhlasan harus "turun gunung" dari singgasana "menara gading" dengan segala kenikmatan dan kemegahannya, untuk hadir di ruang-ruang medsos dan memberikan suara-suara tandingan yang mencerahkan kepada publik di tengah kepungan celotehan netizen yang sok tahu, dan para pembual yang mengaku pakar.

Setiap pakar harus memiliki politik media sosial. Sebuah politik yang dilandasi nilai-nilai kepakaran untuk menciptakan dan mengembangkan budaya literasi, partisipatif aktif publik di ruang-ruang virtual berjejaring.

Taka da kesangsian, saat ini tak ada satu pun fenomena sosial, politik, ekonomi, dll. yang luput dan tidak melibatkan medsos. Bagaimana peran medsos dalam memersuasi dan memengaruhi opini dan persepsi publik atas berbagai kasus yang menjadi sorotan publik, menjadi bukti betapa medsos merupakan instrumen publik yang memiliki kekuatan dahsyat dan “tak tertandingi”. Bahkan oleh media massa sekalipun.

Siapapun (personal, komunal, korporasi, dll.) yang bisa menguasai narasi di jagat virtual medsos, pada akhirnya, dia/merekalah yang mampu mengendalikan opini dan persepsi publik. Karenanya, tak perlu heran, jika sensor dan pemblokiran terhadap akun-akun medsos terpaksa harus dilakukan oleh penguasa dan/atau penyedia medsos.

Kehadiran pakar di medsos, juga di kolom-kolom opini, perspektif atau catatan pinggir media massa cetak atau online, dan jurnalisme warga patut diapresiasi dan diacungi jempol. Namun satu hal yang harus dijaga, apapun opini, perspektif atau catatan pinggir kepakaran tersebut harus tetap dilandasi oleh etika akademik, independensi, dan hanya menyuarakan kebenaran dan kearifan intelektual.

Selain itu, kehadiran pakar di jejaring medsos tidak boleh bersifat partisan, atau menjadi juru bicara, influenzer, apalagi buzzer dari kelompok kepentingan, organisasi sosial-politik tertentu. Ini penting untuk menjaga kepercayaan publik, menghindarkan diri dari melakukan pengkhianatan intelektual (intellectual betrayal), dan menjadi demarkasi antara intelektual dengan pembual. 

Politik medsos juga penting, agar publik tidak menyalahkan kembali para pakar untuk kali kedua, karena ketakpedulian dan keengganan untuk melepas kenikmatan yang dirasakan di puncak singgasana menara gading. Melalui medsos para pakar juga dapat mentransformasikan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang dikemas secara populer dan ringan.

Tidak hanya melalui publikasi ilmiah di jurnal-jurnal terakreditasi, dan/atau bereputasi, yang hanya dikonsumsi oleh secara terbatas di kalangan pakar. Jauh dari jangkauan pikiran publik awam yang sejatinya juga butuh pencerahan dari para pakar.

Sudah saatnya pula, makna pengabdian kepada masyarakat (abdimas) diperluas, tidak harus melulu melalui kegiatan turun langsung ke tengah-tengah masyarakat. Abdimas juga bisa dilakukan dengan cara hadir dan berpartisipasi aktif memberikan pencerahan kepada publik melalui postingan konten-konten kecendekiaan populer dan ringan di lini-lini masa medsos.

Baca Juga: Dewan Pers dan Ketakutan terhadap Buzzer

Bahkan, jika hal ini rutin dan konsisten dilakukan, daya jangkau dan persuasi medsos jauh melampaui batas-batas geografis dan sosiologis daripada pola-pola abdimas yang ada sampai saat ini. Sifatnyapun bisa lebih terstruktur, sistematis, massif, dan berkeadaban.

Terpenting adalah kehadiran para pakar di ladang abdimas medsos akan mampu menjadi wacana kecendekiaan tandingan di tengah hiruk-pikuk wacana yang berbau kekerasan, kebencian, kebohongan, dan semacamnya.

Urgensi kehadiran para pakar di lading abdimas medsos, juga terkait dengan rilis terbaru hasil riset Microsoft tentang tingkat kesopanan digital pengguna internet dunia saat berkomunikasi di dunia maya. Dengan menggunakan parameter "Digital Civility Index (DCI)," Microsoft menyatakan bahwa warganet Indonesia menempati urutan terbawah se-Asia Tenggara, alias paling tidak sopan di wilayah tersebut. Tingkat kesopanan warganet Indonesia berada di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam.

Rendahnya tingkat kesopanan netizen Indonesia, karena mereka sering menggunakan kata-kata yang tidak sopan, hoaks, penipuan, ujaran kebencian, dan diskriminasi. Temuan Microsoft ini kemudian trending di Twitter pada Jumat (26/2/2021) dengan lebih dari 56.400 twit, dan menjadi sasaran kemarahan warganet di media sosial, baik di Twitter maupun Instagram. Begitulah karakter warganet +62…

Janganlah kita, para pakar hanya bisa menyalahkan dan mengkritik netizen, karena mereka berlaku kurang sopan di ruang-ruang medsos (fb, ig, youtube, twitter, dll.), jika para pakar hanya diam seribu bahasa, dan sekedar jadi penonton di pinggir lapangan.

Kita berharap dengan politik medsos ini, para pakar dapat membangun medsos sebagai ruang publik yang demokratis berkeadaban yang mampu menciptakan warganet (netizen) yang beradab (civilized netizen) sebagai basis network society. Sebuah kewajiban dan tugas akademis dan kecendekiawanan yang sama pentingnya dengan membangun warganegara (citizen) yang baik (good citizen) sebagai basis civil society.

Semoga.

***