Penelitian sebagai Episentrum Tridarma Perguruan Tinggi

Dengan roadmap terintegrasi seperti itu, sebuah projek penelitian tidak hanya berhenti pada publikasi, dan/atau diseminasi.

Kamis, 16 Desember 2021 | 06:43 WIB
0
271
Penelitian sebagai Episentrum Tridarma Perguruan Tinggi
Paradigma Tridarma Perguruan Tinggi

Tak terasa konsep Tridarma Perguruan Tinggi sudah menapaki usia 60 tahun, sejak digunakan untuk pertama kali pada tahun 1961 melalui Undang-undang No. 22 tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi. Hingga saat ini, Tridarma Perguruan Tinggi telah melembaga dan menyatu dalam keseharian hidup kalangan sivitas akademika, yaitu darma pendidikan dan pengajaran, darma penelitian, dan darma pengabdian kepada masyarakat (abdimas).

Mungkin agak sulit untuk melacak jejak-jejak historis, mengapa tata-urutannya seperti itu. Tetapi, dalam konteks sejarah pendirian perguruan tinggi (juga lembaga pendidikan persekolahan lainnya) di Indonesia dan berbagai negara di dunia, tata-urutan seperti itu bisa dipahami. Bahwa kelahiran institusi pendidikan dimanapun berawal sebagai ikhtiar untuk memenuhi tuntutan atas kebutuhan dan kewajiban (darma) untuk mencetak tenaga-tenaga profesional yang akan mengisi formasi-formasi pekerjaan yang ada di masyarakat. Disamping tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Dengan demikian, darma pertama “pendidikan dan pengajaran” sejatinya merupakan konseptualisasi dari fungsi edukasi (sosialisasi, enkulturasi, dll.). Kemudian dilanjutkan dengan fungsi pengembangan (darma kedua), dan fungsi pengabdian (darma ketiga). Secara filosofis, ketiga konsep darma PT tersebut memuat tiga pilar yang membentuk dan harus menjadi pola pikir, sikap, dan tindakan setiap sivitas akademika (mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan) yang berkhidmat di lingkungan perguruan tinggi. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dan bersifat sistemik-integralistik, dan harus ditunaikan oleh setiap sivitas akademika PT.

 Penelitian sebagai Episentrum Tridarma PT

Sejak PT didirikan, fungsi edukasi (darma 1: pendidikan dan pengajaran) menjadi orientasi utama dan kiblat dalam implementasi darma PT. Ikhtiar untuk menjadikan penelitian sebagai episentrum dalam implementasi tridarma PT, juga pengembangan, peningkatan daya saing, dan kemandirian PT, dimulai pada awal tahun 2000-an dengan adanya Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2002. UU ini kemudian dicabut dan digantikan dengan UU Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

Di dalam UU tersebut, PT dinyatakan sebagai salah satu kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berfungsi membentuk sumber daya manusia ilmu pengetahuan dan teknologi melalui peningkatan kapasitas dan sinergitas antarunsur dalam tridarma PT. tujuannya adalah agar PT mampu menghasilkan invensi dan inovasi melalui kegiatan riset/penelitian. UU ini juga menjadi landasan yuridis-formal pembentukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Kelahiran UU ini, seharusnya pula dijadikan pintu masuk atau trigger bagi PT untuk melakukan re-orientasi dan re-strukturisasi Tridarma, dengan menjadikan fungsi pengembangan (darma 2: penelitian) sebagai orientasi utama dan kiblat dalam implementasi darma PT, pengembangan PT, dan peningkatan daya saing serta kemandirian PT.

Perubahan orientasi dari darma Pendidikan dan pengajaran ke darma penelitian (pengembangan) tidak berkaitan dengan pembedaan antara “universitas penelitian” (research university) dan “universitas pembelajaran” (teaching university). Selain karena tidak ada kaitannya dengan Tri Darma PT, juga tidak ada istilah “universitas abdimas” (community service university), baik universitas penelitian maupun universitas pembelajaran, keduanya sama-sama menempatkan dan memberikan nilai dan kualitas tinggi pada pembelajaran dan penelitian.

Gelora penelitian dalam konteks Tridarma PT semakin marak dengan terbitnya sejumlah peraturan perundang-undangan terkait dengan tugas dan kewajiban PT dan Dosen dalam penelitian dan publikasi selama periode 2012—2019. Setidaknya ada 10 peraturan yang diterbitkan, termasuk pedoman operasionalnya. Di dalam peraturan perundang-undangan tersebut dinyatakan secara tegas bahwa dosen sebagai ilmuwan memiliki tugas mengembangkan ilmu pengetahuan dan/atau teknologi melalui penalaran dan penelitian ilmiah serta menyebarluaskannya. Dosen juga wajib melakukan publikasi ilmiah sebagai salah satu sumber belajar. 

Penelitian dan Pendidikan-Pengajaran

Menjadikan darma penelitian (fungsi pengembangan) sebagai episentrum tridarma PT, pada gilirannya akan berdampak sistemik terhadap perubahan paradigma pendidikan dan pengajaran. Secara paradigmatik, pendidikan dan pengajaran tidak lagi dimaknai sebagai aktivitas pewarisan (inheritance) khasanah ilmu pengetahuan (fakta, konsep, generalisasi, teori, hukum, dalil, dll.), termasuk nilai-nilai dan sikap-sikap keilmuan. Pendidikan dan pengajaran juga harus dimaknai sebagai “diseminasi” unsur-unsur substantif dan sintaktik dari proses dan hasil penelitian/uji ilmiah mutakhir (justifikasi, verifikasi, falsifikasi, dll.), terkait dengan khasanah ilmu pengetahuan yang ada.

Dengan pemaknaan seperti itu, maka selama proses pendidikan dan pengajaran berlangsung di PT, para ilmuwan/akademisi (calon, junior,  senior) sudah benar-benar dikenalkan dan diberi pengertian tentang: 1) state of the art bidang keilmuan masing-masing; 2) masalah atau enigma keilmuan yang merupakan zona-zona penelitian yang perlu dieksplorasi lebih jauh; dan 3) hal-hal baru atau “kebaruan” (novelty/novelties) baik yang terkait dengan unsur-unsur substantif (konten) dan sintaktik (metodologis) bidang keilmuan, yang belakangan ini menjadi jargon baru dalam kehidupan akademik PT. Jika hal tersebut bisa diimplementasikan, maka persoalan kronis yang selalu dihadapi oleh mahasiswa program sarjana maupun pascasarjana terkait ketiga hal tersebut secara sistemik dan berjenjang bisa diantisipasi.

Dengan paradigma baru ini pula, pendidikan dan pengajaran tidak hanya merupakan sebuah aktivitas transfer khasanah ilmu pengetahuan yang ‘ada’ (itu-itu saja). Terpenting, bahwa pendidikan dan pengajaran merupakan aktivitas interaksi, komunikasi, dan transaksi khasanah keilmuan ‘baru’ atau mengandung ‘kebaruan’, sebagai luaran (output) dari aktivitas penelitian yang dipublikasikan di dalam berkala ilmiah nasional maupun internasional.

Selain itu, menjadikan penelitian sebagai basis pendidikan dan pengajaran, juga akan memungkinkan terciptanya berbagai perangkat pembelajaran (Kurikulum, Rencana Pembelajaran, Asesmen dan Evaluasi, Model Pembelajaran, Media Pembelajaran, Buku Ajar, Buku Paket, dll.) yang bisa dipertanggungjawabkan, karena dihasilkan dari projek-projek penelitian yang memenuhi standar, dan berkualitas.

 Penelitian dan Abdimas

Penelitian (fungsi pengembangan) sebagai episentrum tridarma PT, juga akan berdampak sistemik terhadap perubahan paradigma abdimas. Secara paradigmatik, abdimas tidak lagi dimaknai sebagai aktivitas “penebusan dosa”. Sebuah abdimas yang dilakukan untuk menghilangkan stigma PT sebagai "menara gading" (ivory tower), atas dasar jargon “PT adalah agent of change,” dengan model pengabdian berupa infusi ilmu pengetahuan dan teknologi dari luar.

Berbagai pengalaman dan kasus projek-projek abdimas PT memberikan fakta bahwa seringkali suatu teknologi yang kerap diklaim sebagai “teknologi tepat guna” yang diperkenalkan/difasilitasi kepada masyarakat berujung pada ketidakberhasilan dalam mengubah/memperbaiki kehidupan masyarakat.

Studi Goeritno, et al. (2003) mengidentifikasi sejumlah faktor penyebabnya: 1) ketidaksiapan masyarakat, 2) pola pikir masyarakat yang sulit berubah, 3) fasilitasi yang tidak sepenuh hati, 4) pembinaan yang tidak berkesinambungan, 5) Program abdimas kurang sesuai dengan kebutuhan masyarakat pengguna, dan 6) abdimas yang terlalu syarat masalah dan prosedur administrasi. Dengan kata lain, fakta ini menjelaskan bahwa praktik abdimas selama ini—setidaknya hingga dasawarsa pertama tahun 200an—belum dikembangkan atas dasar konsep dan model pemberdayaan masyarakat dari dalam yang lebih kontekstual dengan kondisi sosial-budaya masyarakat Indonesia.

Di dalam UU no. 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi (Dikti) tegas menyatakan bahwa pengabdian kepada masyarakat (abdimas) dilaksanakan “berbasis penalaran dan karya penelitian” (pasal 5d). Kaitan timbal-balik antara abdimas dan penelitian semakin penting, karena komitmen PT (dan pemerintah) yang semakin besar untuk turut serta secara aktif dalam menerapkan ilmu pengetahuan teknologi dan seni terutama dalam menyelesaikan permasalahan masyarakat dan memajukan kesejahteraan bangsa.

Bahkan, mulai tahun 2013 Kemristekdikti (sekarang Kemdikbudristek) melalui Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat (DRPM) telah melakukan transformasi seluruh proses pelaksanaan dan data penelitian dan pengabdian kepada masyarakat ke dalam satu sistem pengelolaan berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang disebut dengan Sistem Informasi Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (Simlitabmas). Dengan sistem ini, diharapkan akan mampu menjamin pengelolaan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yang teritegrasi, sehingga dapat menghasilkan kinerja yang baik.

Dalam kaitan ini, ada dua konsep yang saling kait (interchainable) antara penelitian dan abdimas, yaitu "abdimas berbasis penelitian" (community service based on research) dan "penelitian berbasis abdimas" (research based on community service). Secara konseptual, kedua konsep tersebut berkaitan dengan paradigma abdimas yang dilaksanakan oleh perguruan tinggi (PT). Terutama bagaimana PT menempatkan atau memposisikan masyarakat dalam projek-projek abdimasnya (Farisi, 2020).

Abdimas dalam konteks paradigma penelitian sebagai episentrum tridarma PT, dimaknai sebagai aktivitas “hilirisasi hasil penelitian” (Nasir, 2015). Hal ini sejalan dengan perubahan paradigma keilmuan dari “ilmu untuk ilmu” ke “ilmu untuk masyarakat.” Bahwa penelitian tidak melulu hanya untuk kepentingan pengembangan dan kemajuan ilmu itu sendiri (epistemologis, dan ontologis), tetapi juga untuk kemajuan masyarakat (aksiologis).

Hilirisasi hasil penelitian dalam konteks abdimas adalah kegiatan difusi (Rogers, 1983) (implementasi dan pemanfaatan) produk-produk hasil penelitian yang bisa dinikmati oleh masyarakat dalam rangka untuk meningkatkan taraf hidup kehidupan masyarakat atau untuk pemberdayaan masyarakat. Bisa dikatakan, bahwa projek-projek abdimas PT sesungguhnya merupakan luaran lain dari hasil penelitian, selain publikasi dalam berkala ilmiah, dan/atau diseminasi dalam bentuk pertemuan-pertemuan ilmiah.

Hilirisasi hasil-hasil penelitian melalui projek-projek abdimas seperti ini, akan semakin membuka peluang yang lebih luas bagi masyarakat luas untuk memanfaatkannya. Sehingga, hasil-hasil penelitian tidak hanya berakhir dalam bentuk publikasi melalui berkala ilmiah dan/atau diseminasi melalui pertemuan-pertemuan ilmiah, yang hanya untuk konsumsi kalangan terbatas (intelektual, akademisi, ilmuwan, profesional, dll.). Masyarakat luas yang selama ini termarginalisasi oleh sistem akademik yang kurang egaliter juga harus bisa merasakan dan menikmati hasil-hasil penelitian dalam wujud yang lebih nyata.

 

Pada titik ini bisa dipahami pula, mengapa ada perubahan (tepatnya, penyatuan) kelembagaan yang mengelola penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Awalnya, berdasarkan PP Nomor 5 Tahun 1980 tentang Pokok-pokok Organisasi Universitas/Institut Negeri di setiap PT dibentuk dua lembaga terpisah, yaitu Lembaga Penelitian (Lemlit), dan Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat (LPM). Karena secara struktural-fungsional terpisah, tidak tercipta sinergitas antara program penelitian dan abdimas, dan tidak ada hilirisasi (difusi) penelitian menjadi projek-projek abdimas.

Kedua lembaga tersebut kemudian diintegrasikan menjadi satu lembaga, yaitu Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM). Penggabungan kedua lembaga tersebut berbeda untuk setiap PT, sesuai dengan Statuta masing-masing. Tetapi, umumnya hal ini terjadi sejak dasawarsa pertama tahun 2000an. LPPM inilah yang merupakan lembaga khusus yang bertanggung jawab untuk mengawal, mengelola, dan mengkoordinasikan seluruh kegiatan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat melalui hilirisasi hasil-hasil penelitian.

Agar penelitian bisa menghasilkan projek-projek abdimas, maka ada baiknya jika LPPM mulai menginisiasi kepada setiap peneliti—terutama dengan skema hibah kompetisi dan penugasan—untuk membuat roadmap terintegrasi antara penelitian dan abdimas sekaligus. Di dalam roadmap tersebut, digambarkan tidak hanya apa yang sudah, sedang, dan akan diteliti, melainkan juga digambarkan projek abdimas apa yang akan dilakukan sebagai bentuk dari hilirasi hasil penelitian. Hilirisasi atau difusi dapat berupa difusi “Teknologi Tepat Guna” atau “Model/Desain/Rekayasa Sosial” melalui skema penelitian multi-years.

Dengan roadmap terintegrasi seperti itu, sebuah projek penelitian tidak hanya berhenti pada publikasi, dan/atau diseminasi. Selain itu, penting pula untuk melakukan re-orientasi bahwa hilirisasi atau difusi hasil-hasil penelitian tidak dikategorikan sebagai “luaran tambahan” seperti dipraktikkan selama ini. Hilirisasi perlu dinaikkan statusnya menjadi “luaran wajib” seperti publikasi, dan diseminasi.

 

Tangsel, 14 Desember 2021

_________________________

Penulis adalah Dosen prodi Pendidikan IPS FKIP, dan Sekretaris Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Terbuka (LPPM-UT).