Abdimas Perguruan Tinggi Bukan Sekadar Penebus Dosa

Semoga program-program abdimas perguruan tinggi ini, benar-benar memberdayakan potensi masyarakat "dari dalam", dan bukan sekadar program "penebusan dosa".

Rabu, 10 Maret 2021 | 19:53 WIB
0
305
Abdimas Perguruan Tinggi Bukan Sekadar Penebus Dosa
Ilustrasi wisuda (Foto: detik.com)

Dalam tulisan saya sebelumnya, “Ketika Tradisi Perguruan Tinggi Dikritik” (16/02/2021), kritik pertama yang dinisbatkan ke perguruan tinggi (PT) adalah kritik terhadap keterlibatan akademisi, intelektual PT dalam politik dan kekuasaan oleh Julien Benda melalui tulisannya “La Trahison des Clercs” (the Treason of the Intellectuals).

Menurut Benda, para intelektual itu seharusnya adalah para pencari pengetahuan-kebenaran yang tidak mengharap keuntungan secara material. Mereka sejatinya adalah “a universal humanism and represented a cornerstone of civilized society”.

Perubahan orientasi kepada materialisme dan kekuasaan terjadi awal abad 20, ketika mereka mulai abai terhadap filsafat tradisional dan cita-cita kecendekiaan, dan mulai mengagung-agungkan partikularisme dan relativisme moral (Müller, 2006; Kimball, 2017).

Krtik kedua dialamatkan pada tradisi akademik PT yang eksklusif, dimana PT diandaikan sebuah “Menara Gading” (Ivory Tower). Sebuah kosakata yang awalnya digunakan di bidang sastra dan estetika abad 19 dan dasarwarsa pertama abad 20, serta mulai dikaitkan ke eksistensi PT pada dasawarsa 1930an dan 1940an (Shapin, 2012).

Ivory Tower” mengandaikan PT sebagai sebuah lingkungan institusi akademis, intelektual yang terputus sama sekali atau mengasingkan diri dari realitas dan masalah keseharian yang dihadapi oleh masyarakat dimana PT itu berada. Seperti yang dijelaskan oleh Kirsten J. Broadfoot & C. Candrian (2009) “an ivory tower may also be an entity of "reason, rationality and rigid structures [that] colonizes the world of lived experience." (p.1-2).

PT dituduh telah menciptakan sebuah komunitas akademis yang elitis, eksklusivitas, dan superioritas, seperti halnya klub eksklusif yang keanggotaannya dikontrol ketat oleh apa yang disebut 'kerangka dominan' (a dominant frame), yang sama sekali tidak acuh, tidak peduli, tidak peka, dan abai terhadap lingkungan sekitarnya.

Bahkan, sosiolog Karl Mannheim dan Antonio Gramsci menuduh komunitas PT sebagai pengkhianat, yang hanya bisa menyuarakan kebenaran dari menara gading ilmunya, tanpa terlibat dalam kerja-kerja praksis atau melakukan bentuk aktivisme sosial kolektif di masyarakat yang berada di luar tembok kampus.

Kritik atas fenomena “Ivory Tower” ini kemudian ditanggapi dan dilembagakan oleh komunitas PT dalam bentuk Tridharma Perguruan Tinggi. Konsep Tridarma PT ini pertama kali dirumuskan di dalam Undang-undang No. 22 tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi, dan tetap dipertahankan hingga saat ini, di dalam Undang-undang No.12 tahun 2012.

Salah satu dharma PT adalah Pengabdian kepada Masyarakat (Abdimas). Menurut UU abdimas merupakan salah satu ikhtiar untuk membangun tradisi keilmuan yang setia pada kenyataan hidup masyarakat. Abdimas karenanya, memuat tanggung jawab sosial (social responsibility) sivitas akademika PT untuk turut serta atau berpartisipasi aktif dalam memajukan kesejahteraan masyarakat, dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memanfaatkan atau berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi serta karya penelitian.

Pelembagaan keterlibatan komunitas PT di dalam dinamika masyarakat ini, kemudian diperkuat dengan jargon bahwa perguruan tinggi adalah agen perubahan (Agent of Change). Dimana melalui ilmu pengetahuan, teknologi, dan karya penelitian yang dimiliki dapat digunakan untuk membantu membangun dan memberdayakan masyarakat, melakukan perubahan sosial ke arah yang lebih baik dan maju melalui inovasi-novasi sosial yang terencana.

Pelembagaan abdimas oleh komunitas PT diorganisasi dalam dua program, yaitu program abdimas oleh mahasiswa , dan tenaga kependidikan (dosen).

Abdimas oleh mahasiswa diwujudkan melalui projek Pengabdian Mahasiswa kepada Masyarakat (PMkM) sejak tahun akademik 1971/1972. Pilot projek PMkM ini dilaksanakan oleh tiga PT, yaitu Universitas Andalas, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Hasanuddin. Pada tahun akademik 1973/1974 projek PMkM diubah menjadi Kuliah Kerja Nyata (KKN) dan melibatkan 13 PT dari 13 provinsi. Saat ini program KKN sudah dilaksanakan oleh semua PT di Indonesia (negeri dan swasta).

Fokus utama KKN adalah projek pembangunan desa melalui beragam program KKN (Reguler, Mandiri, Pulang Kampung, Ekstensi, Integrasi, Tematik, Program Pembelajaran Masyarakat, Literasi, Kebangsaan, Peduli Bencana, dll.).

Pada tahun 2021, sejalan dengan kebijakan Kemendikbud melalui program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), program abdimas mahasiswa, selain KKN juga ada program lain seperti asistensi mengajar di satuan pendidikan, dan projek-projek kemanusiaan.

Sudah banyak yang dihasilkan oleh KKN mahasiswa. Tidak hanya pembangunan infrastruktur dan lingkungan fisik, melainkan juga non-fisik seperti program-program pelatihan, pendampingan, dan bimbingan dalam rangka pemberdayaan keluarga dan masyarakat (pendidikan, kesehatan, lingkungan, computer, Bahasa Inggris, seni-budaya, keagamaan, mental, kewirausahaan, dll.).

Kisah seputar KKN oleh mahasiswa ini, juga telah menghasilkan sejumlah terbitan buku-buku popular, seperti: “KKN di Desa Penari” (2019), memuat cerita horor yang didahului utas kicauan viral di Twitter yang ditulis oleh Simpleman. Cerita ini direncanakan akan diangkat ke layar lebar pada tahun 2020. “KKN Kisah Konyol Sampe Ngompol” (2013), memuat cerita komedi yang ditulis oleh Jegung Wicaksono. “Kisah-kisah Nyesek KKN” (2018), memuat kumpulan kisah-kisah seputar KKN yang ditulis oleh Frida Kurniawati dkk. “13 Kisah Horor KKN” (2019), memuat kumpulan cerita horor dengan latar belakang KKN yang ditulis oleh Jan Mandalino. Dan buku “KKN di Hatimu”, memuat sebuah lagu yang ditulis oleh Has P.O. (https://id.wikipedia.org/).

Abdimas oleh tenaga kependidikan (dosen) diwujudkan dalam bentuk 7(tujuh) kegiatan, dan hanya 3(tiga) kegiatan diantaranya yang terkait langsung dengan kepentingan masyarakat, yaitu: 1) disseminasi hasil pengembangan pendidikan, dan penelitian yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, 2) pelatihan/penyuluhan/penataran/ceramah kepada masyarakat secara terjadwal/terprogram/insidental, dan 3) pelayanan kepada masyarakat berdasarkan bidang keahlian, penugasan, atau berdasarkan fungsi/jabatan.

Hingga saat ini, program abdimas yang diluncurkan PT sudah berlangsung selama 50 tahun. Sejak itu, keterlibatan dunia perguruan tinggi pada setiap momen yang melibatkan masyarakat luas telah membuat perguruan tinggi di Indonesia dan komunitasnya semakin memiliki bentuk dan menjadi lebih dikenal oleh masyarakat. 

Namun, apakah program abdimas sudah mencapai tujuannya, khususnya bagi masyarakat yang menjadi sasarannya? Yaitu membantu masyarakat untuk membangun atau memberdayakan dirinya sendiri, dan melakukan perubahan sosial ke arah yang lebih baik dan maju melalui potensi dan inovasi yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri.

Berdasarkan data Kemendikbud, saat ini terdapat total perguruan tinggi se-Indonesia sebanyak 4.498 PT dengan 25.548 program studi. Lebih banyak dari PT di Tiongkok sebanyak 2.825 PT. Sedangkan jumlah mahasiswa terdaftar sebanyak 8.3 juta orang atau 3% dari total penduduk di Indonesia.

Data juga menunjukkan bahwa, ada 83.931 wilayah administrasi setingkat desa di Indonesia pada 2018. Dari jumlah tersebut, 13.232 (15.76%) masih berstatus desa tertinggal. Anehnya, jumlah tersebut ternyata lebih tinggi jika dibandingkan dengan jumlah desa tertinggal tahun 2003 yang berjumlah 11.258 desa (Agusta, 2005). Desa-desa tertinggal tersebut berada di 62 wilayah tertinggal, yang mencakup 122 kabupaten atau 23.7% dari total jumlah kabupaten/kota di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 84% diantaranya berada di wilayah Indonesia Timur. 

Melihat data jumlah PT dan mahasiswa di atas, sesungguhnya PT bisa lebih banyak berkontribusi bagi pembangunan masyarakat desa. Namun, ada beberapa persoalan yang perlu dipikirkan bersama agar program abdimas lebih maksimal.

Di antaranya adalah perlu dilakukan: 1) pemetaan wilayah/lokasi abdimas dengan fokus pada desa-desa tertinggal; 2) “need assessment” masyarakat desa yang lebih baik dan akurat, serta 3) keakurasian konsep dan model pemberdayaan masyarakat yang lebih kontekstual dengan kondisi sosial-budaya masyarakat Indonesia.

Selain itu, ada persoalan lain yang tampaknya luput dari amatan. Yaitu besaran beban studi (sks) dan beban kerja dosen (bkd) untuk abdimas yang dirasakan masih sangat kecil, dan kurang proporsional, baik untuk mahasiswa maupun dosen. Itupun program abdimas hanya untuk jenjang Sarjana (S1), tidak untuk jenjang Diploma, Magister (S2) maupun Doktor (S3).

Untuk mahasiswa, dari total sks untuk jenjang Sarjana (S1) = 144-160 sks, alokasi abdimas dalam bentuk KKN = 3-4 sks, atau antara 1.87 – 2.7% dari total sks (beban belajar).

Sedangkan abdimas untuk dosen terbagi dalam dua pola alokasi. Pertama, pola alokasi berdasarkan beban kerja dosen (BKD) per semester. Kedua, pola alokasi berdasarkan jumlah angka kredit kumulatif (kum) untuk pengangkatan dan kenaikan jabatan/pangkat.

Berdasarkan pola alokasi beban kerja dosen (BKD) per semester, dari beban kerja total 12-16 sks / semester, alokasi untuk abdimas maksimal hanya mencapai 1.2/1.6 sks / semester. Sementara, berdasarkan pola alokasi untuk pengangkatan dan kenaikan jabatan/pangkat, dari total 150 – 1.050 kum, alokasi abdimas untuk dosen maksimal antara 15 - 105 kum (atau maksimal < 10%) dari jumlah total kum yang diajukan.

Dengan besaran beban studi mahasiswa dan beban kerja dosen untuk abdimas seperti itu, rasanya masih jauh panggang dari api untuk mewujudkan sebuah program abdimas PT yang ideal. Dan, PT tampaknya masih fokus dan enjoy dalam melaksanakan dharma pendidikan, pengajaran dan penelitian

Kita hanya berharap, semoga program-program abdimas perguruan tinggi ini, benar-benar memberdayakan potensi masyarakat "dari dalam", dan bukan sekadar program "penebusan dosa".

Semoga pula, model-model pemeringkatan universitas yang marak belakangan ini, dan menjadi arena kontestasi antarperguruan tinggi sedunia seperti Academic Ranking of World Universities, QS World University Rankings, the Times Higher Education World University Rankings, the U.S. News & World Report Best Global University Ranking, dll. tidak menjadikan sebagai "simbol status" yang dapat meninabobokkan PT terhadap darmabaktinya kepada masyarakat, bangsa dan negara yang menjadi filosofinya.

Semoga pula, pelembagaan keterlibatan komunitas PT di dalam dinamika masyarakat desa khususnya, tidak hanya sebatas jargon atau lip service bahwa perguruan tinggi adalah agen perubahan (agent of change). Melainkan sesuatu yang benar-benar nyata dan dinikmati oleh masyarakat.

Semoga.

***