Bangunan itu berusia 2000 tahun. Masih kokoh dan massif. Colosseum salah satu stadium paling tua yang masih bisa kita lihat. Sekitar 50 ribu manusia, 2000 tahun lalu, bersorak- sorak di sana menyaksikan pertarungan gladiator.
Namun satu cuplik dari sejarah stadium ini lebih fenomenal, tak akan pernah dilupakan. Itu era ketika toleransi agama belum dikenal. Ialah zaman ketika berbeda pilihan berarti tak hanya dipersekusi tapi disiksa hingga mati.
Itu di stadium itu, di Colosseum Roma, di masa awal, antara abad ke 1-3 setelah masehi, pengkuti Kristen di lepas di tengah arena. Lalu dari arah yang berbeda dilepas pula kawanan singa yang lapar.
Pengikut agama kristen di masa awal mati di lapangan dikoyak dan dimakan singa. Sekitar 50 ribu penonton bersorak menutupi jeritan kesakitan para perjuang saleh agama kristen. Mereka menyaksikan matinya penganut agama baru dimakan singa dengan semarak yang sama, dengan sorak sorai yang tak kalah dibandingkan pertarungan dua gladiator yang seimbang.
Setidaknya itulah yang direkam dalam sebuah novel terkenal Quo Vadis. Itu novel ditulis tahun 1895 oleh sastrawan Henryk Sinkiewcz. Novelis ini kelak mendapatkan hadiah Nobel 1905. Karya novelnya diabadikan dalam film Hollywod dengan judul yang sama QUO VADIZ, tahun 1951.
Lama saya tertegun di stadium Colloseum, Juli 2019. Saya membayangkan hadir menjadi salah satu penonton di arena. Saya membayangkan, tepat jarak 100 meter dari tempat saya berdiri, puluhan penganut agama kristen di sana. Lalu jarak 100 meter yang berlawanan, singa mengaum, berlari dan melompat menerkam.
Ujar saya dalam hati, jika hari itu saya berada di antara penonton, apa yang saya lakukan? Akankah saya akan sorak sorai yang sama?
Sejarahwan memang berdebat soal seberapa benar terjadi persekusi atas penganut agama kristen melawan singa yang lapar. Tapi sejarahwan bersepakat aneka jenis penyiksaan memang terjadi.
Namun Roma yang sama, di masa yang berbeda menyaksikan sejarah yang berputar. Penganut agama kristen yang dipersekusi, berbalik menjadi penguasa.Lihatlah di kota Roma, 2000 tahun kemudian. Di kota itu berdiri sebuah negara bernama Vatican. Roma menjadi satu satunya kasus di dunia yang menjadi ibu kota dua negara: Italia dan Vatican. Kristen (Katolik) yang dulu di buru di sana, kini menjadi paham agama mayoritas. Doktrinnya menjadi pembeda benar dan salah.
Perubahan dimulai oleh Raja Constantine (menjadi raja Romawi tahun 306-347 masehi). Di bawah raja Constantine, agama Kristen yang tadinya diburu berubah menjadi agama kerajaan. Constantine sendiri di akhir hidupnya dibaptis menjadi kristen.
Para juru tafsir berbeda pandangan menjelaskan. Mengapa Raja Constantine akhirnya berubah menjadi penganut agama Kristen. Sebagian menjelaskan secara sangat mistik. Dalam satu perjalanannya, ia ditunjukkan penglihatan batin yang mengguncang. Gambar salib sangat besar terlukis di langit.
Namun sejarahwab banyak pula mencari penjelasan yang lebih bersandar pada kepentingan politik. Constantine melihat pertumbuhan agama Kristen tak mungkin lagi ditahan. Untuk kepentingan kerajaan, ia mengubah posisi kerajaan Romawi: dari pemburu agama Kristen menjadi justru mengagungkannya.
Sungguh fundamental yang ia lakukan untuk agama Kristen. Yang terpenting pertama kali adalah menandatangani salah satu dokumen politik paling tua soal toleransi agama. Di tahun 313 ia membuat pernyataan The Edict of Milan. Deklarasi ini memperbaharui embrio toleransi yang ditanda tangani oleh raja Galerius (311).
Constantine tak hanya memberikan toleransi bagi warga yang memeluk agama Kristen. Tapi juga menyatakan mengembalikan aneka aset atau properti yang direbut dari penganut agama Kristen.
Sejak era Constatine, pertumbuhan agama Krsiten berlimpah di Roma, bahkan di dunia.
Sore itu, di Calesseum, lama saya duduk termenung. Roma oh Roma, betapa di kota ini sejarah besar tercipta. Sejarah berubah dan berbalik. Tumpukan batu keras di Colesseum ini dalam bisu menyaksikan, sebuah agama yang ditindas berubah menjadi penguasa.
Juli 2019
***
Catatan Perjalanan Denny JA
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews