Menyedihkan membacanya, sekaligus membuat saya teringat Amerika setelah tak lagi ada praktek segregasi berdasarkan warna kulit.
Kisah tentang pemuda yang menendang sesajen di Lumajang itu semakin menggenapi keresahan kita tentang kasus-kasus intoleransi dalam tahun-tahun terakhir. Entah kemana perginya kerukunan di negeri ini?
Di awal-awal kemunculan kasus radikalisme dan intoleransi, banyak wacana yang mengatakan era Orde Baru yang membiasakan orang tidak membicarakan persoalan-persoalan SARA sebagai akar eforia relijiusitas yang berujung dengan kasus-kasus intoleransi. Namun kemudian Ben K. Laksana menulis, banyak penelitian merujuk sekolah-sekolah keagamaan yang eksklusif, dalam arti hanya menerima murid satu agama sebagai salah satu sumber konservatisme beragama di kalangan muda. Konservatisme yang sering sekali menjadi intoleransi.
Menariknya, bukan berarti sekolah-sekolah itu mengajarkan intoleransi, atau paham beragama yang eksklusif.
Banyak sekolah-sekolah cukup moderat dalam kurikulum agamanya. Namun, karena muridnya yang terlalu homogen, maka anak-anak yang bersekolah di sekolah tersebut menjadi tak terbiasa bergaul dengan mereka yang berbeda keyakinan. Menjadi kurang memahami keberagaman. Ini makin dipertegas dengan bermunculannya perumahan ataupun kost yang diperuntukkan untuk mereka yang satu agama saja.
Menyedihkan membacanya, sekaligus membuat saya teringat Amerika setelah tak lagi ada praktek segregasi berdasarkan warna kulit.
Dengan cepat mereka berbaur, bergaul akrab dan tak lagi punya prasangka berlebihan pada kulit berwarna dan berbagai etnis dan budaya yang berbeda. Dalam pergaulan yang intens itulah dibangun pengertian-pengertian.
Semoga masalah ini menjadi perhatian kita semua.
#vkd
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews