Peringatan Keras Jokowi kepada Dua Menteri

Sedang dicari menteri yang nasionalis, Pancasilais, profesional, dan yang mampu bekerja secara profesional dan berkarakter mencintai bangsa dan negara.

Minggu, 16 Juni 2019 | 20:20 WIB
0
3699
Peringatan Keras Jokowi kepada Dua Menteri
Mendikbud Muhadjir Effendy dan Menristekdikti M Nasir (Foto: Kumparan.com)

Jokowi sejatinya sudah betul-betul kesal dengan para menterinya. Salah dua menteri yang kurang performed adalah Mendikbud dan Menristekdikti. Kenapa hasil pekerjaannya tidak menghasilkan sesuai dengan harapan Jokowi. Mau bukti?

“Saya sudah menyampaikan kepada Mendikbud juga, agar kita ini memiliki fleksibilitas sehingga bisa merespons setiap perubahan-perubahan yang ada di dunia. Mendikbud, Menristekdikti itu sangat harus sangat responsif terhadap perubahan-perubahan yang ada di global maupun perubahan-perubahan yang kita hadapi di negara kita,” kata Jokowi di Rapimnas Hanura di Hotel Stone, Legian, Bali, Jumat (4/8/2017).

Hasilnya? Terdapat lebih dari 600 ribu lulusan perguruan tinggi menganggur. Mereka gagal bersaing untuk bisa bekerja, alias kurang ketrampilan teknis. Kurang skills. Gagal di bidang ketenagakerjaan. Apa penyebabnya?

Salah satu yang banyak dibahas adalah kurikulum yang jadul. Ketinggalan zaman. Jokowi sendiri menyebutnya tidak responsif. Artinya, kurikulum itu hanya upaya melanggengkan rutinitas. Tidak ada upaya merespons dunia kerja dan dunia luar yang berubah.

Buktinya peringkat perguruan tinggi Indonesia kalah dengan Singapura, Malaysia, dan Thailand. NUS Singapura berperingkat nomor 11 di dunia. UI berperingkat 601 di dunia. Sangat menyedihkan. Bobrok dan gagal total.

Sementara itu di bidang pembangunan mental dan ideologi, Jokowi juga tidak kalah geramnya. Jokowi telah memberi contoh dengan membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebagai sumber khilafah dan ajaran ISIS. Jokowi juga telah membentuk BPIP (Badan Penguatan Ideologi Pancasila).

Namun, yang terjadi dua kementerian itu, Mendikbud dan Menristekdikti itu adalah cuek. Dorongan Jokowi itu tidak disambut. Hasilnya? Intoleransi, radikalisme yang dibangun oleh PKS, HTI, Wahabi, Ikhwanul Muslimin, merebak di sekolah dan kampus-kampus negeri.

Lihatlah. Dosen, mahasiswa, pekerja beramai-ramai membagun radikalisme lewat kegiatan kampus. Kampus bukan menjadi lembaga pendidikan untuk membangun bangsa, malah untuk merusak bangsa. Lulusan yang terampil dan berkarakter bukan tujuan pendidikan. Hanya burqah, hijab serta celana cingkrang, jenggot dan arabisasi yang mewarnai dunia pendidikan Indonesia. Dua kementerian itu tidak melakukan apa pun selain pembiaran.

Maka, Jokowi dengan tegas memberikan peringatan yang begitu jelas. Peringatan Jokowi selalu dibungkus dengan bahasa yang santun, namun lugas.

“Saya ingatkan Bapak-Ibu semuanya. Kita lihat, bicara masalah Tesla Mobile, fantastis, masa depan. Gagasan hyperloop. Berbicara SpaceX, bagaimana mengelola angkasa, agar berguna bagi manusia. Kita masih berkutat untuk hal yang tidak produktif. Urusan demo, urusan fitnah, urusan hujat-menghujat yang selalu mengembangkan negative thinking, suudzon terhadap yang lain. Fitnah, kabar bohong. Apakah ini mau diteruskan?” ungkap Jokowi.

Peringatan ini terkait dengan dunia pendidikan yang terjebak rutinitas sejak zaman kuno. Tidak ada upaya membenahi pendidikan secara sistematis untuk menjawab tantangan. Tantangan profesionalitas dan tantangan pembangunan karakter ideologis untuk kepentingan bangsa dan negara.

“Perubahan dunia berjalan dengan sangat cepat. Ini yang harus kita sadari. Jangan sampai kita terjebak rutinitas, keseharian kita, dan tidak sadar bahwa dunia sudah berubah sangat cepat,” papar Jokowi di Kampus IPB Dramaga, Bogor, Rabu (6/9/2017).

Yang lebih parah lagi, rutinitas di dunia pendidikan itu juga menggambarkan mentalitas korup. Mental dunia pendidikan harus diubah. Unsur-unsur dan kegiatan-kegiatan yang tidak bermanfaat untuk dunia pendidikan harus dibuang dari kampus dan sekolah. Contohnya adalah radikalisasi, intoleransi, sektarianisme, dan diskriminasi yang merebak terkait SARA. Sangat menyedihkan.

Maka, demi dan untuk Indonesia maju, sudah sangat mendesak Jokowi untuk melakukan langkah nyata untuk menemukan menteri-menteri di bidang pendidikan dan agama (karena adanya dualisme pengelolaan pendidikan). Sedang dicari menteri yang nasionalis, Pancasilais, profesional, dan yang mampu bekerja secara profesional dan berkarakter mencintai bangsa dan negara.

***

Ninoy N Karundeng