Saat ini, sejalan dengan digitalisasi buku-buku referensi dan hasil-hasil penelitian, peneliti tidak lagi kesulitan untuk melakukan analisis kesenjangan penelitian.
Mungkin ini kesalahan turun-temurun yang hingga kini masih terus terjadi dan berlangsung di dunia akademik kita. Bahwa dalam merencanakan sebuah penelitian, yang pertama kali harus ada adalah “judul penelitian”, BUKAN “masalah penelitian”.
Akibatnya, judul penelitian sudah ada dan disetujui, tetapi apa masalah penelitian dan signifikansinya, sama sekali belum jelas.
Padahal, sangat bisa jadi, judul penelitian berubah hingga detik-detik akhir proses pembimbingan dan ujian, ketika masalah yang menjadi fokus penelitian sudah sangat jelas dan fix. Selain itu, bukankah tujuan setiap penelitian adalah memecahkan masalah atau enigma keilmuan dan kenyataan. Sementara, judul penelitian sejatinya adalah “cover atau label” dari masalah atau enigma yang hendak dikaji/diteliti.
Realitas ini yang terjadi dalam pembimbingan penyusunan proposal untuk penelitian maupun penulisan karya ilmiah (skripsi, tesis atau disertasi). Umumnya para peneliti atau mahasiswa sudah siap dengan judul penelitian, tetapi belum jelas dan paham betul masalah apa yang akan diteliti/dikaji, serta bagaimana menyusun signifikansi masalah/penelitian.
Apa Masalah Penelitian ?
Masih lekat dalam ingatan saya, tatkala saya masih kuliah sarjana, 30 tahun lalu, dan hingga saat ini masih kedengaran, bahwa yang disebut masalah penelitian (research problem) pada dasarnya adalah “kesenjangan” (gap) yang ada antara kondisi ideal/seharusnya (das sollen) dan kondisi praktikal/senyatanya (das sein). Ini yang lazim disebut sebagai “kesenjangan fenomena (phenomena gap). Karenanya, tujuan dan pokok penelitian adalah mendekatkan atau menjembatani keduanya (das sollen dan das sein) melalui temuan-temuan yang dikonstruksi oleh peneliti selama proses penelitian.
Sejatinya, masalah penelitian bukan sebatas yang merentang atau berada di “wilayah antara” (in between), yaitu antara “wilayah das sollen (ideal/harapan/teoretik)" dan “wilayah das sein (praktikal/kenyataan/empirik)”. Masalah penelitian bisa berada di 3(tiga) wilayah, yaitu di “wilayah antara,” juga berada di dalam (in within) wilayah masing-masing, yaitu di dalam “wilayah das sollen (ideal/harapan/teoretik), dan di dalam “wilayah das sein (praktikal/kenyataan/empirik).
Kesenjangan yang memunculkan masalah penelitian bisa berupa isu, fenomena, kinerja, proses, dll. atau kasus-kasus spesifik, kesulitan, atau kontradiksi yang ditemukan di dalam praktik kehidupan nyata dan/atau di dalam tubuh ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, masalah penelitian terdiri dari (1) “practical problems“ atau (2) “theoretical problems“. Dimana keduanya, menjadi “fokus penelitian” serta diyakini bisa “mengkontribusi” terhadap perubahan praktik nyata ke arah yang lebih baik dan ideal (practical solution), dan/atau terhadap perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan (theoretical solution). (McComber, 2020).
Dengan demikian, masalah penelitian tidak hanya dimaknai sebagai sesuatu yang menarik dan menjadi perhatian atau minat peneliti “secara personal”, baik karena semata-mata minat intelektual pribadi, maupun terkait dengan “masalah praktis terjadi di dalam praktik/lapangan” (organisasi, masyarakat, lembaga, dll.).
Masalah penelitian juga berkaitan dengan kebutuhan dan signifikansi ilmu pengetahuan (untuk perubahan, perkembangan dan/atau kemajuan).
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah setiap masalah penelitian harus memberikan kontribusi atau signifikansi secara praktis dan teoretis. Tidak bisakah hanya praktis saja atau teoretis saja?
Tentu saja tidak. Apa dan bagaimana kontribusi penelitian tergantung pada skema/jenis penelitian. Dalam hal ini, dapat diklasifikasikan menjadi 3(tiga) skema/jenis. (DPRM, 2020)
Pertama, untuk penelitian dasar (basic research), penelitian terapan (applied research) masalah penelitian mutlak atau harus memberikan kontribusi atau signifikansi secara teoretis. Karena sasaran dari penelitian ini adalah dihasilkannya teori, metode, atau prinsip kebijakan baru yang digunakan untuk pengembangan iptek, seni dan budaya.
Kedua, untuk penelitian dalam rangka penulisan karya akademik (sarjana, magister, doktor, dan pasca doktor), penelitian pengembangan, dan penelitian dosen pemula, masalah penelitian harus memberikan kontribusi atau signifikansi secara teoretis dan/atau teoretis-praktis.
Ketiga, untuk penelitian pengabdian kepada masyarakat (abdimas), kerjasama antar perguruan tinggi, masalah penelitian harus memberikan kontribusi atau signifikansi secara praktis. Namun demikian, tidak ada salahnya, dan bahkan dimungkinkan jenis penelitian ketiga bisa juga memberikan kontribusi atau signifikansi secara teoretis..
Bagaimana Menemukan Masalah Penelitian ?
Pertanyaan kedua terkait dengan masalah penelitian adalah, “bagaimana cara, strategi atau framework untuk menemukan masalah?” atau menemukan “kesenjangan fenomena (phenomena gap) yang dianggap layak, patut dan signifikan untuk diteliti.
Belakangan ini, gambaran tentang bagaimana merumuskan kesenjangan tersebut menjadi lebih jelas, walaupun agak sedikit rumit dimengerti. Selain karena banyaknya pendapat, juga bisa jadi karena sebuah masalah sudah banyak dikaji dan telah dipublikasikan di ratusan bahkan ribuan artikel.
Menurut para pakar, untuk menemukan “masalah penelitian”, perlu dilakukan analisis kesenjangan, yaitu analisis kesenjangan teori (theory gap) dan analisis kesenjangan penelitian (research gap). Kedua jenis analisis kesenjangan ini sangat penting dan krusial dilakukan oleh setiap peneliti untuk memastikan bahwa gap (kesenjangan) tersebut “nyata adanya” (actual gap)”, dan bukan hanya “dianggap nyata adanya (constructed gap)”.
Pertama, analisis kesenjangan teori (theory gap). Analisis ini sangat dibutuhkan oleh setiap peneliti untuk memastikan “apakah masalah yang akan dikaji/diteliti: (1) belum ada sama sekali teori yang menjelaskan atau ada kekosongan teori; (2) teori yang ada hanya menjelaskan sedikit/sebagian atau kurang memberikan penjelasan secara memadai; (3) memerlukan teori baru yang lebih segar untuk menjelaskannya; dan/atau (4) ada konflik atau kesenjangan antar-teori yang perlu dijembatani untuk bisa menjelaskan masalah yang dikaji/diteliti secara proporsional dan memadai. (Faulkner, 2016; Lassa, 2019).
Hasil analisis kesenjangan teori/pengetahuan ini, bisa dan dimungkinkan masalah penelitian merupakan “masalah lama” dan pernah diteliti sebelumnya. Dalam hal ini, penelitian dilakukan untuk mengisi kekosongan/kevakuman teori/konsep/perspektif/paradigma; atau menawarkan teori/konsep/perspektif/paradigma “baru/lain” yang lebih segar dan akomodatif untuk mendekati, memecahkan dan menjelaskan masalah tersebut. Dengan kata lain, kebaruan (novelty) dalam konteks ini adalah pada aspek substantif keilmuan.
Kedua, analisis “kesenjangan penelitian” (research gap). Analisis ini sangat dibutuhkan oleh setiap peneliti untuk memastikan “apakah masalah tersebut: (1) belum pernah sama sekali dikaji/diteliti dan/atau dipublikasikan; (2) sudah pernah dikaji/diteliti, tetapi ada sedikit/sebagian dari masalah tersebut yang belum dikaji/diteliti atau belum konklusif; (3) sudah pernah dikaji/diteliti, tetapi memerlukan penelitian ulang karena waktu penelitian sudah sangat lama (outdated) dan diperlukan pembaharuan penelitian (new/updated research); (4) ada konflik atau kesenjangan antar temuan penelitian yang perlu dijembatani untuk bisa diperoleh penjelasan faktual atas masalah yang dikaji/diteliti secara proporsional dan memadai (Faulkner, 2016; Robinson et al., 2011; Wolf, 2019); dan/atau (5) ada sebuah teori atau konsep baru yang belum dilakukan penelitian atau hanya sebagian dilakukan penelitian (Al-Sharif, 2013).
Hasil analisis kesenjangan penelitian ini, bisa dan dimungkinkan masalah penelitian merupakan “masalah lama/baru” dan/atau paduan antara “masalah lama-baru”. Dalam hal ini, penelitian dilakukan untuk mengisi kekosongan/kevakuman model/pendekatan/prosedur/metode; atau menawarkan model/pendekatan/prosedur/metode “baru/lain” yang lebih segar untuk mendekati, memecahkan dan menjelaskan masalah tersebut. Dengan kata lain, kebaruan (novelty) dalam konteks ini adalah pada aspek sintaktik keilmuan.
Mengapa Masalah Penting Diteliti ?
Tak kalah penting, setelah masalah teridentifikasi adalah membangun argumen atau rasional “mengapa masalah tersebut layak dan patut diteliti?” (background of the study); dan “apa signifikansinya secara teoretis dan/atau praktis?” (the significance of study). Jawaban atas apa, mengapa, dan bagaimana masalah penelitian inilah yang sesungguhnya menjadi persoalan pokok yang harus dijelaskan, diklarifikasi, dan dispesifikasi di bagian pendahuluan.
Perlu dimengerti betul oleh setiap peneliti, bahwa yang paling pokok dan utama dalam sebuah penelitian, apakah untuk memperoleh dana/hibah, skripsi, tesis atau disertasi, dll. adalah kejelasan masalah penelitian, dan mengapa masalah tersebut penting dan signifikan untuk diteliti. Bagian ini kerap dianggap kurang penting dan “diremehkan”. Padahal, bagian ini sejatinya merupakan pintu masuk yang akan menghantarkan fokus, minat dan perhatian pembaca untuk menelusuri lebih jauh isi penelitian.
Jika bagian ini tidak tersaji dan terjelaskan dengan baik dan memadai, tentu akan mengurangi bahkan menghilangkan minat atau ketertarikan pembaca untuk membaca lebih lanjut isi laporan penelitian (proses dan hasil).
Tentu saja, urgensi dan signifikansi masalah yang diteliti pun dipertanyakan.
Ada dua hal yang perlu dideskripsikan dan dijelaskan terkait dengan hal ini melalui argumen atau rasional yang kokoh dan terintegrasi.
Pertama, apa arti penting atau signifikansi masalah penelitian ini diteliti dilihat dari aspek teoretis. Apa sumbangsih/kontribusi dari temuan penelitian terhadap perubahan, pengembangan dan/atau kemajuan ilmu pengetahuan, baik dari aspek substantif/konseptual maupun sintaksis/prosedural keilmuan.
Aspek substantif/konseptual keilmuan berkenaan dengan peningkatan dan pengembangan kemampuan konsep, generalisasi, teori, hukum dalam mendeskripsikan, menjelaskan, dan memprediksi isu, fenomena, kinerja, proses, kasus spesifik, kesulitan, atau kontradiksi yang terjadi dan yang akan terjadi di dalam tubuh disiplin ilmu yang dikaji. Aspek sintaksis/prosedural keilmuan berkenaan dengan peningkatan dan pengembangan kemampuan model/pendekatan/prosedur/metode dalam menemukan atau mengungkap fakta-fakta dan keterkaitan antar-fakta ilmiah yang bersembunyi di balik isu, fenomena, kinerja, proses, kasus spesifik, kesulitan, atau kontradiksi yang ada di dalam tubuh disiplin ilmu yang dikaji.
Kedua, apa arti penting atau signifikansi masalah penelitian ini diteliti dilihat dari aspek praktis. Apa sumbangsih/kontribusi dari temuan penelitian terhadap perubahan dan perbaikan praktik nyata di lapangan, agar semakin mendekati keadaan yang ideal.
Argumentasi atau rasional atas masalah “mengapa masalah penelitian penting diteliti,” harus secara terintegrasi menjawab kedua hal di atas, atau tergantung pada skema/jenis penelitian yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Untuk membangun argumentasi atau rasional yang demikian, setiap peneliti perlu memiliki kompetensi dan wawasan yang luas, memadai, dan kokoh terkait dengan masalah penelitian. Untuk itu, setiap peneliti perlu melakukan reviu/tinjauan literatur. Pertama, reviu terhadap teori utama (grand theory) dan teori-teori pendukung (middle and applied theory) yang terkait dengan masalah penelitian dari buku/referensi karya para ahli/teoretisi. Kedua, reviu literatur terhadap hasil-hasil penelitian relevan yang sudah teruji dan dipublikasikan di berbagai publikasi ilmiah (jurnal, prosiding, dll.).
Saat ini, sejalan dengan digitalisasi buku-buku referensi dan hasil-hasil penelitian, peneliti tidak lagi kesulitan untuk melakukan analisis kesenjangan penelitian dan menemukan kebaruan (novelty) dalam masalah yang diteliti.
Peneliti bisa melakukannya dengan bantuan aplikasi seperti VOSviewer, Harzing’s Publish or Perish, dll. Atau melalui database digital dari berbagai lembaga penyedia layanan pengindeks publikasi jurnal digital seperti EBSCO database, Google Scholar, JSTOR, Scopus, dsb.
Selamat menemukan masalah dan signifikansinya melalui bangunan argumentasi yang rasional dan meyakinkan.
Salam.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews