Lawan Hoaks dengan Literasi Media

Hoaks tidak bisa dihilangkan, tetapi sebagai insan yang berpikir dan berikhtiar, literasi media menjadi adalah solusi alternatif di tengah gelombang kabar burung yang kini kian meraja.

Minggu, 7 Juli 2019 | 08:23 WIB
0
321
Lawan Hoaks dengan Literasi Media
Ratna Sarumpaet, hoaks terbesar Indonesia (Foto: MSN.com)

Membaca merupakan salah satu akses yang mengantarkan kita ke jendela dunia. Dengan membaca kita dapat mengetahui apa yang sebelumnya bahkan tidak pernah kita dengar. Namun, terkadang ketidaktuntasan dalam membaca sebuah informasi dapat menyebabkan kita terjerumus dalam lembah hoaks.

Hoaks yang menjamur di berbagai sosial media seolah-olah terus menyuntik setiap khalayak untuk semakin mempercayainya.

Lalu apakah penyebab masifnya hoaks? 

Inisiator Komunitas Masyarakat Indonesia Anti Hoax, Septiaji Eko Nugroho, menilai, rendahnya kesadaran literasi menjadi salah satu faktor pendorong masifnya peredaran kabar bohong atau hoaks. Budaya baca yang rendah menyebabkan masyarakat menelan informasi secara instan dan utuh.

Informasi yang diterima langsung diyakini sebagai kebenaran, lalu berupaya membagi informasi tersebut kepada orang lain. Hal ini relevan dengan catatan UNESCO (Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-bangsa), menurut UNESCO pada 2012, Indeks membaca bangsa Indonesia hanya 0,001.

Artinya, di antara 1.000 orang, hanya satu orang yang membaca dengan serius. Demikian pula catatan survey Most Literated Nation In The World yang dilakukan pada 2015 lalu menempatkan Indonesia pada peringkat ke-60 dari 61 negara.

Generasi saat ini atau generasi Z dan millennial adalah generasi yang tumbuh besar bersama perangkat teknologi dan internet. Sebagai digital natives (generasi yang lahir di saat era digital sudah berlangsung dan berkembang pesat), generasi millennial menerima media sosial sebagai sesuatu yang taken for granted (sesuatu yang sudah biasa).

Ini berbeda dengan generasi orang tua mereka yang masuk dalam kategori digital immigrant (generasi yang lahir sebelum generasi digital berkembang). Fokus literasi media dalam kurikulum pendidikan adalah memastikan setiap orang mampu membaca perkembangan teknologi termasuk konsekuensi pesan di dalamnya secara kritis dan bijak dalam menggunakannya.

Lemahnya budaya literasi bagi masyarakat menyebabkan daya nalar seseorang dan menyebabkan kesulitan berpikir secara jernih dan kritis dalam menemukan setiap masalah, alhasil yang tercermin adalah emosi dan egoisme. Sehingga, isu-isu provokatif dan hasutan yang dihembuskan oleh berita-berita tipuan dengan mudah disebarkan dan mempengaruhi khalayak.

Lemahnya budaya literasi pun menyebabkan meningkatnya plagiarisme, kurangnya pengetahuan dan pemahaman tentang literasi media juga membuat seseorang menelan mentah-mentah berita yang sumber dan kebenarannya masih dipertanyakan.

Besarnya dampak dan kerugian terhadap isu hoaks yang beredar membuat pemerintah beranjak untuk berkampanye demi memerangi hoaks bersama. Kampanye memerangi hoaks atau berita bohong saat ini semakin gencar dilaksanakan khususnya melalui media sosial. Berita hoaks tidak lagi dipandang sebagai masalah yang sederhana, karena jika penyebarannya dibiarkan terus menerus akan menyebabkan goyahnya kehidupan bangsa.

Masyarakat pengguna internet perlu lebih cermat dalam menerima dan menyebarluaskan informasi melalui media sosial. Informasi memuat ujaran kebencian yang menyebar dengan cepat dapat mengancam persatuan bangsa. Perkembangan teknologi dan semakin banyaknya pengguna internet di Indonesia, kata Adhyaksa, telah memicu perang informasi.

Melalui media sosial, berbagai informasi begitu cepat masuk ke ruang pribadi masyarakat pengguna internet. Informasi itu sangat mudah memengaruhi sikap masyarakat dan membentuk opini publik. Pengguna internet saat ini juga tidak lagi bersikap pasif sebagai penerima informasi semata.

Masyarakat telah berubah menjadi jurnalis warga yang memproduksi informasi dan menyebarkannya dengan sangat cepat. Kemajuan teknologi media sosial ibarat dua mata pisau. Di satu sisi, ia memberi kemudahan bagi penggunanya untuk mengakses informasi. Di sisi lain, banyak pihak yang memanfaatkan media sosial sebagai alat untuk menyebarkan ujaran kebencian.

Dalam rangka memerangi berita hoaks yang tersebar sangat massif dan sulit dicegah penyebarannya maka perlu adanya literasi media oleh masyarakat. Literasi media merupakan kemampuan untuk memahami, menganalisis dan mendekontruksi apa yang disajikan oleh media.

Literasi media merupakan aktifitas yang menekankan aspek edukasi di kalangan masyarakat agar mereka tahu bagaimana mengakses serta memilih informasi yang akurat dan bermanfaat. Melalui literasi media, masyarakat menjadi kritis, peka terhadap informasi, serta mampu meningkatkan kualitas masyarakat itu sendiri dengan aktif mencari informasi yang sesuai dengan kebutuhannya berdasarkan referensi yang ada.

Dalam literasi media, ada tahapan yang bisa digunakan oleh masyarakat dalam menerima, memilih, dan menyeleksi informasi sesuai dengan kebutuhan intelektual yang dibutuhkan, yaitu, Explore, keahlian dalam memilih dan memutuskan informasi yang dibutuhkan dari suatu pesan.

Recognize symbol, keahlian untuk mengidentifikasi dan memilah symbol, seperti menafsirkan makna pesan media massa dan menyimpulkan pesan-pesan media massa yang diterima dan yang terakhir yaitu membatasi jumlah jam yang digunakan dalam penggunaan internet secara proposional.

Tentunya, budaya hoaks tidak bisa dihilangkan begitu saja, tetapi sebagai insan yang selalu berpikir dan berikhtiar, sekiranya literasi media menjadi solusi alternative di tengah gelombang kabar burung yang kini kian merajai.

Semoga kita termasuk ke dalam golongan insan yang selalu berikhtiar dengan meningkatkan budaya literasi agar dapat menghantarkan kita kepada jendela ilmu pengetahuan.

***