Terhadap perilaku ghosting webinar pun tidak ada sanksi akademik atau etik.
Salah satu kegiatan booming di era pandemi covid-19 adalah Webinar (Web Seminar). Bak jamur di musim hujan, kegiatan seminar yang dilakukan secara daring, menggunakan situs web atau aplikasi tertentu berbasis internet ini tumbuh dan marak di mana-mana.
Jika pada masa-masa sebelum pandemi, seminar lazim dilaksanakan oleh lembaga/instansi tertentu dengan frekuensi yang terbatas dengan peserta yang juga tidak begitu banyak, terbatas, dan hanya diikuti oleh kalangan tertentu. Sebaliknya, di era pandemi, penyelenggara webinar tidak terbatas oleh lembaga/instansi tertentu.
Yang selama ini tidak pernah menyelenggarakan seminar, ikut-ikutan pula menyelenggarakan seminar dengan rekrutmen peserta oleh siapapun, dan tanpa batas (strata sosial, akademik, geografis, dll.). Kecuali mereka yang memang tidak berminat sama sekali untuk mengikuti. Apalagi, umumnya “free charge”,
Sebenarnya, hal yang demikian sah-sah saja dilakukan, sejauh penyelenggaraannya mematuhi dan memenuhi ketentuan-ketentuan akademik yang telah disepakati oleh komunitas ilmiah atau profesi. Bahkan, semakin banyak webinar yang tersedia dengan beragam isu/topik kajian, dapat menjadi ruang pembelajaran yang sangat baik bagi komunitas ilmiah, pakar, profesional, dan publik luas.
Apalagi, di era Internet of Thing (IoT), hal seperti itu tidak mustahil terjadi. Karena webinar tidak membutuhkan ruang fisikal berkapasitas banyak, dengan segala akomodasi yang harus disiapkan oleh panitia dan peserta. Yang penting ada koneksi internet dengan kuota yang cukup, siapapun bisa berpartisipasi. Cukup dengan melakukan registrasi secara online di portal yang disiapkan oleh panitia. Pembicara atau pengisi materi webinar pun cukup membagikan informasi mereka jarak jauh, lewat internet maupun media elektronik lainnya.
Namun demikian, ada yang perlu dicermati dari fenomena webinar yang begitu terstruktur, sistemik-sistematis, dan massif saat ini, serta diikuti oleh begitu banyak orang melampaui batasan sosial, akademik, geografis, dll. yaitu fenomena Ghosting Webinar. Dimana seseorang peserta webinar tidak secara totalitas hadir dan terlibat aktif (fisik, mental, dan intelektual) dari awal hingga akhir.
Dalam tulisan saya sebelumnya, “Ghosting” dalam Percintaan hingga Pendidikan”, memperlihatkan bahwa fenomena ghosting terjadi tidak hanya dalam relasi pertemanan atau persaudaraan. Tetapi juga terjadi dalam berbagai bidang kegiatan, termasuk dalam pembelajaran, ujian, diskusi dalam jaringan (online).
Ada banyak faktor, mengapa fenomena ghosting webinar bisa terjadi, dari yang bersifat personal hingga teknikal. Salah satunya, dan faktor ini tampaknya dilakukan secara sadar, disengaja, atau “by design” oleh yang bersangkutan. Tetapi, yang bersangkutan tidak menyadari bahwa itu sebuah tindakan ghosting webinar.
Tindakan ghosting webinar yang dimaksudkan adalah dimana seseorang mengikuti begitu banyak webinar dalam suatu periode tertentu, dengan ada lebih dari satu webinar yang diikuti dalam sehari pada waktu (hampir) bersamaan.
Terkait dengan hal ini, saya pernah diberitahu oleh kolega, bahwa ada salah seorang teman saya yang dalam satu semester bisa mengikuti webinar hingga 100 kali dari berbagai lembaga/instansi, dengan topik yang beragam. Kolega dan saya tidak tahu pasti, apakah topik webinar yang diikuti sesuai/tidak dengan minat dan bidang keilmuan yang bersangkutan.
Belum lagi yang bersangkutan juga ada kegiatan perkuliahan yang juga online, dan workshop. Sampai-sampai, kolega saya tersebut bertanya kepada saya, “apakah webinar sebanyak itu layak dan patut (fit and proper). Apalagi hanya sebagai peserta, bukan pembicara. Apakah semua webinar yang diikuti itu juga valueable bagi lembaga/institusi?” Terus terang, saya sulit untuk menjawabnya. Memang aneh, batin saya dalam hati.
Bagi seorang dosen, kesertaan sebagai peserta webinar masuk dalam salah satu kegiatan bidang Penunjang Tridarma PT. Keputusan Dirjendikti tentang Pedoman Operasional Beban Kerja Dosen, memang tidak membatasi jumlah pertemuan ilmiah (webinar) yang diikuti oleh seorang dosen/semester. Akan tetapi, dengan ketentuan bahwa beban kerja dosen (BKD) yang tidak memiliki tugas tambahan untuk semua bidang Tridarma PT adalah 12—16 sks/semester, sementara bidang Pendidikan dan Pengajaran (A,B) dan Penelitian (C) adalah 9 sks/semester, maka besaran sks sebagai parameter kelayakan dan kepatutan sebagai peserta webinar (pertemuan ilmiah) adalah 0.5—3.0 sks / semester. Atau jika untuk kepentingan pengajuan kenaikan jabatan akademik dosen adalah maksimal ≤ 10% (atau 1.2 sd 1.6) sks / semester.
Jika besaran sks / webinar adalah 0.5 sks (tingkat internasional/regional/nasional) atau 0.25 sks (di lingkungan PT), maka seorang dosen dinyatakan layak dan patut mengikuti webinar atau pertemuan ilmiah lainnya maksimal 6(enam) kali / semester (tingkat internasional/regional/nasional) atau 12 kali/semester (di lingkungan PT). Artinya, jika lebih dari itu, tentu tidak layak dan tidak patut berdasarkan ukuran normal yang ditetapkan Kementerian.
Kesertaan seseorang sebagai peserta webinar melebihi ukuran kelayakan dan kepatutan (dari sisi frekuensi dan variabilitas topik) inilah yang berpotensi melahirkan fenomena ghosting webinar. Dimana seseorang secara fisikal hadir (physically present) di dua atau lebih webinar, akan tetapi secara mental dan intelektual tidak hadir (mentally and intellectually absent), karena fokus dan konsentrasinya harus terbagi/terpecah pada lebih dari satu webinar dalam waktu bersamaan.
Bisa jadi juga, seseorang hadir secara penuh (fisik, mental, dan intelektual) pada satu webinar, sementara pada webinar yang lain hanya bergabung (join), sementara mikrofon dan kamera video dimatikan. Yang bersangkutan melakukan aktivitas/tugas lain dan sama-sekali atau sesekali saja hadir atau terlibat. Tindakan ini tentu tak ada satupun orang yang tahu (termasuk panitia dan penyaji), kecuali yang bersangkutan.
Fenomena kehadiran seperti ini lazim disebut “presence in absence,” hadir dalam ketakhadiran. Atau Ross (2019) menyebut sebagai “ketidakterlibatan aktif” (active disengagement), dimana seseorang secara secara sengaja atau terencana tidak mengikuti dan memperhatikan secara penuh kegiatan, dan tidak menyelesaikan kewajiban yang harus ditunaikan sebagai peserta/partisipan.
Apa yang menyebabkan seseorang melakukan tindakan ghosting webinar secara aktif, sengaja, dan terencana, ada banyak kemungkinan, dan sifatnya sangat personal, dan hingga saat ini belum ada penelitian tentang hal itu. Bisa jadi Tindakan ghosting webinar seperti itu, sekadar mengisi waktu luang di saat pandemi agar tidak jenuh.
Bisa juga karena keinginan untuk memperoleh sertifikat banyak; atau bisa juga karena ketidaktahuan dan ketidaksadaran yang bersangkutan bahwa hal itu merupakan tindakan ghosting webinar.
Terhadap perilaku ghosting webinar pun tidak ada sanksi akademik atau etik. Kecuali terhadap dokumen kesertaan dalam webinar (sertifikat, dll.) yang dianggap tidak patut dan layak, mungkin akan diabaikan (tidak diakui/dinilai).
Namun demikian, apapun alasannya, fenomena ghosting webinar bisa menciderai marwah webinar sebagai forum pertemuan ilmiah/akademik diantara anggota komunitas keilmuan atau profesional (scientific or professional community) atau publik untuk mendiskusikan dan saling berbagi ilmu, pengalaman, dan/atau praktik baik dalam rangka memecahkan topik/masalah tertentu yang dihadapi bersama.
Hal ini terjadi, karena kehadiran para ghost participant(s) tentu saja tidak bisa diharapkan untuk berkontribusi dalam proses diskusi dan penyelesaian masalah yang menjadi topik webinar.
Semoga ke depan, tak ada lagi ghost participant(s) yang melakukan ghosting webinar. Karena di balik gebyar revolusi internet ini ada potensi terjadinya pembunuhan nilai-nilai dan etika akademik dan kepakaran (Farisi, 2021). Jika kita tak hati-hati menyikapinya, dan tidak mampu merawat tradisi akal sehat di tengah realitas saat ini....
Salam.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews