“Ghosting” dalam Percintaan hingga Pendidikan

Seseorang tidak selalu berada pada situasi ghosting, tergantung pada isu-isu yang muncul seperti relasi antara pebelajar-pembelajar, suasana hati, dan faktor-faktor di luar kelas.

Minggu, 14 Maret 2021 | 11:19 WIB
0
670
“Ghosting” dalam Percintaan hingga Pendidikan
Ghosting (Foto: Tribunnews.com)

Belakangan ini lagi viral di kanal media massa online dan media sosial (medsos) dengan istilah “ghosting”. Bahkan, menurut data Google Year in Search 2020, kata ghosting menempati urutan teratas, menjadi kata paling popular, dan paling banyak dicari di Google sepanjang tahun 2020.

Menurut mbah Wiki, istilah ghosting awalnya digunakan dalam konteks pertukaran online. Istilah ini dimasukkan dalam Collins English Dictionary pada tahun 2015. Sejak itu, penggunaan mulai populer dan meluas melalui berbagai artikel tentang pembubaran hubungan selebriti terkenal. Sejak saat itu, ghosting menjadi subjek dari banyak artikel, dan diskusi tentang kencan dan hubungan di berbagai media. 

Dalam Kamus Bahasa Inggris (KBI), ghosting memiliki arti “berbayang”. Menurut peristilahan (terminologis), ghosting adalah sebuah istilah yang kerap digunakan dalam konteks hubungan (relationship) pertemanan (friendship), kemitraan (partnership), persaudaraan (brotherhood), atau percintaan (romance) yang sudah terjalin lama.

Ghosting adalah, sebuah tindakan atau perilaku, dimana salah seorang di dalam hubungan tersebut, tiba-tiba menghilang, memutuskan hubungan, dan menghentikan seluruh komunikasi tanpa penjelasan. Padahal sebelum-sebelumnya sering berkomunikasi. Dalam konteks hubungan percintaan, istilah ghosting dekat dengan pemberi harapan palsu (PHP), karena biasanya orang yang di-ghosting sudah berharap lebih dari komunikasi yang selama ini sudah dijalin.

Istilah ghosting merupakan bahasa keseharian, bahasa gaul (bahasa prokem) yang kini lagi ramai diperbincangkan oleh warga dunia maya (netizen) terkait dengan kasus Kaesang Pangarep yang katanya telah memutuskan cinta secara tiba-tiba dengan pacarnya, Felicia Tissue, setelah keduanya menjalin cinta-kasih selama 5 tahun.

Seperti diungkapkan teman Felicia melalui Instagram Story @kimberleyneo yang kemudian diposting oleh akun Ibunda Felicia, Meilia Lau, @meilia_lau berikut:

"... For five years you dated my friend, brought her out to the public eye and led her to believe that she was the only one for you. Then for no reason, you started ghosting her as if she wasnt ever important in your life.”

Jika rumor yang viral di medsos benar adanya, ghosting Kaesang atas Felicia termasuk kategori ghosting “berat,” dalam klasifikasi Wendy Walsh. Karena, hubungan percintaan antara Kaesang-Felicia tergolong lama dan sudah sangat intim (long-term romantic relationships), namun tiba-tiba salah satu pihak (Kaesang) dikabarkan “menghilang tanpa sebab”. Bisa jadi, Felicia termasuk diantara 78% millennial korban ghosting online yang kemudian terperosok dalam kegelapan, seperti diklaim oleh Silvia (2018).

Secara psikologis seseorang melakukan ghosting sebagai Tindakan untuk menghindar dari sesuatu (konflik, konfrontasi, ketakutan, percakapan yang sulit, dan/atau menyakiti perasaan seseorang).

Di era digital seperti saat ini, ghosting sangat mudah dilakukan. Ghosting di medsos bisa dilakukan dengan cara menghapus pertemanan, berhenti mengikuti, memblokirnya, mengabaikan DM, atau membisukan tweet. Atau jika di smartphone dilakukan dengan memblokir nomor agar yang bersangkutan tidak menelepon atau mengirimi pesan teks.

Ternyata, istilah ghosting ini tidak hanya digunakan dalam konteks hubungan (relationships). Istilah ini juga digunakan dalam konteks psikologi, game/gaming (monitor or screen ghosting), papan ketik (keyboard ghosting), bisnis, manajemen, politik, dan dalam konteks pendidikan luring maupun daring (offline or online learning).

Fenomena ghosting dalam pembelajaran lazim disebut “ketidakterlibatan dalam pembelajaran” (learning disengagement atau off-task activities), baik luring maupun daring.

Ghosting (disengagement) dalam pembelajaran luring terjadi dimana seseorang atau beberapa orang siswa yang semula rajin, aktif. Namun, secara tiba-tiba mereka tidak hadir atau tidak muncul lagi di dalam kelas; tidak berpartisipasi, berinteraksi dan/atau berkomunikasi dalam diskusi; sering hadir terlambat; menghindari kontak mata dengan guru; dan berhenti menyerahkan tugas tanpa alasan dan memberi tahu guru atau sekolah; rendah diri; prestasi akademik rendah, dan memperlihatkan perilaku yang menyimpang atau tidak baik.

Dalam pembelajaran online, ghosting juga bisa terjadi dalam modus synchronous learning menggunakan aplikasi video atau web conferencing atau webinar, seperti Zoom. Fenomena ini dikenal dengan sebutan “Zoom Ghosting” (Wakefield, 2020), dimana seseorang hanya diam, tak menampakkan diri (mematikan video), sibuk chatting macam-macam di ruang chat, meninggalkan kelas dan/atau melakukan kegiatan lain dalam status masih logging selama sesi Zoom berlangsung dengan menggunakan screen capture foto diri, dll.

Menurut Pennington, fenomena ghosting dalam pembelajaran luring bisa disebabkan oleh banyak hal. Diantaranya, pelajaran terlalu sulit dipelajari, tidak menarik, membosankan atau tidak lagi dianggap bermanfaat atau berguna; tidak merasa percaya diri atau ragu atas bakat dan kemampuan yang dimiliki (impostor syndrome or phenomenon, fraud syndrome); kelelahan fisik atau mental; tidak ingin terlihat ‘bodoh’ di depan teman-temannya atau gurunya; memiliki masalah pribadi atau keluarga; dll.

Sedangkan fenomena ghosting dalam pembelajaran daring, seperti fenomena Zoom Ghosting juga bisa disebabkan oleh sejumlah hal. Diantaranya, kurang nyaman, kurang percaya diri, bahkan stress karena tidak terbiasa atau merasa asing dengan perangkat atau sistem yang digunakan; terlalu banyak tugas yang harus dikerjakan; kelas pembelajaran monoton, kurang aktif-partisipatif, dan membosankan.

Interaksi melalui video juga mengharuskan mereka untuk bekerja lebih keras dan lebih konsentrasi daripada interaksi tatap muka terutama bagaimana agar ekspresi wajah dan nada suara terlihat bagus agar fidelitas online menjadi lebih tinggi. Tak kalah pentingnya, isu terkait dengan kendala keuangan, koneksi/jaringan atau akses Internet yang kurang bagus terutama di remote areas menjadi penyebab munculnya Zoom Ghosting (Wakefield, 2020).

Ross (2019) membagi fenomena ghosting dalam pembelajaran menjadi dua. Pertama, “ketidakterlibatan pasif” (passive disengagement), dimana seseorang mengalihkan perhatian atau kehilangan fokus ketika pembelajaran berlangsung atau ketika tugas diberikan. Kedua, “ketidakterlibatan aktif” (active disengagement), dimana seseorang secara secara sengaja atau terencana tidak memperhatikan ketika pembelajaran berlangsung atau tidak menyelesaikan tugas ketika diberikan.

Fenomena ghosting lain dalam pembelajaran ditemukan pula dalam diskusi secara daring (online discussions, web-based discussions). Dalam kasus ini, ghosting terjadi ketika seseorang atau beberapa orang diabaikan, terisolasi, sama sekali tidak direspon/disebut atau dikritik secara tidak baik (destructive critique) oleh peserta lain selama diskusi.

Menurut Samuel-Peretz (2014), fenomena ghosting dalam diskusi online bisa terjadi, karena komentar atau pendapat yang diposting tidak menawarkan pemikiran atau gagasan baru terkait dengan topik yang didiskusikan. Atau, hanya menyatakan setuju dengan pendapat yang lain, tanpa menambahkan sesuatu yang baru, yang bisa memancing respon atau tanggapan dari yang lain. Dengan kata lain, komentar atau pendapat yang diajukan selama diskusi  hanya sebatas untuk menggugurkan tugas atau kewajiban daripada memberikan kontribusi pemikiran, gagasan atau solusi yang berarti terkait dengan topik atau tema diskusi.

Dengan kata lain, fenomena ghosting dalam diskusi online berkaitan erat dengan kontribusi seseorang di dalam diskusi. Jika seseorang aktif, memberikan kontribusi besar dengan memberikan tanggapan, pemikiran dan/atau gagasan yang unik, menarik, dan baru, maka yang bersangkutan akan menjadi “bintang” (star) dalam diskusi online, atau sebaliknya menjadi seorang “hantu” (ghost).

Fenomena ghosting lainnya juga ditemukan dalam kasus ujian daring maupun luring (offline or online exam). Ghosting dalam ujian ini bisa dicermati dan ditandai dengan hadirnya “peserta ujian sewaan atau "joki” (the student-for-hire) atau disebut juga “siswa hantu” (ghost-student), yang secara sengaja atau khusus dibayar untuk menggantikan seseorang untuk mengikuti dan menyelesaikan ujian (sebagian dan/atau keseluruhan) (Hollis, 2018).

Menurut sejumlah penelitian kecurangan dalam ujian seperti ini (menyontek dan kerjasama illegal dalam ujian) telah terjadi sepanjang sejarah pendidikan. Sejalan dengan penggunaan ujian secara online, fenomena ini semakin mudah dilakukan. Apalagi, rata-rata usia pembelajaran online umumnya lebih tua dari pembelajaran tradisional tatap muka. Mereka juga tekendala untuk membagi waktu antara studi, bekerja, dan tanggung jawab keluarga. Dalam situasi demikian, tidak jarang kemudian mereka menyewa seseorang untuk menggantikannya saat ujian.

Untuk mengantisipasi fenomena ghosting khususnya dalam dunia Pendidikan, telah banyak dikemukakan oleh para pakar dan peneliti. Ross (2019) misalnya, menyarankan penggunaan tiga model pedagogi, yaitu connective, participatory, dan differentiated pedagogies. Le dkk. (2017) menyarankan penggunaan model deep imitation learning atau learning from demonstrations.

Model pembelajaran yang kini dianggap paling kompleks memetakan beragam isu dan persoalan ghosting in online learning, dan menawarkan model pembelajaran aktif-kritis-reflektif-partisipatif adalah “Community of Inquiry (CoI)” (Garrison et al., 2000). Model ini dikembangkan berdasarkan pemikiran John Dewey tentang berpikir inkuiri-reflektif, yang juga menjadi salah satu tradisi atau paradigma dalam Pendidikan IPS (Social Studies). Sebuah tradisi atau paradigma yang  di Indonesia seakan terlupakan atau berada diantara “ada dan tiada” (Farisi, 2016).

CoI merupakan sebuah kerangka teori dan model konseptual bagaimana pembelajaran online dikelola sebagai sebuah proses penciptaan pengalaman belajar secara bermakna dan mendalam (a deep and meaningful learning experience) melalui lingkungan pembelajaran yang kolaboratif dan konstruktif. Fokus utama CoI adalah pada pengembangan 3(tiga) unsur kehadiran (presence) yang bersifat interdependen (saling berkelindan).

Ketiga unsur tersebut adalah 1) social presence: yaitu kehadiran dan keterlibatan individu-individu peserta didik dalam interaksi, komunikasi, dan berpartisipasi aktif di dalam kelas pembelajaran; 2) teaching presence; yaitu kehadiran dan keterlibatan pendidik sebagai perancang, fasilitator, pembimbing, pendamping bagi pebelajar dalam melakukan proses-proses kognitif dan sosial bagi diraihnya capaian pembelajaran; dan 3) cognitive presence: yaitu kehadiran dan keterlibatan peserta didik secara ekstensif dalam proses-proses kognitif untuk membangun dan mengonfirmasi makna-makna melalui aktivitas refleksi dan diskursus berkesinambungan.

Akhirnya, tentu fenomena ghosting khususnya dalam pembelajaran, diskusi, dan/atau ujian berdampak negatif bagi pihak-pihak terkait. Namun, para peneliti sepakat bahwa fenomena ghosting (pembelajaran, diskusi, ujian) bersifat kenyal, cair (fluid).

Artinya, seseorang tidak selalu berada pada situasi ghosting (disengagement). Tergantung pada isu-isu yang muncul seperti relasi antara pebelajar-pembelajar, suasana hati, dan faktor-faktor di luar kelas.

Yang pasti, penciptaan ekologi pendidikan bukan hanya menuntut tanggung jawab pebelajar (peserta didik), melainkan pula tanggung jawab pembelajar (pendidik), keluarga, masyarakat, dan politik pendidikan pemerintah dalam rangka penciptaan lingkungan pendidikan yang kondusif.

Semoga, fenomena ghosting dalam pendidikan, khususnya pendidikan online tidak menambah persoalan baru, ketika publik juga meramaikan kaitan antara pembelajaran online dengan “learning lost” (Farisi, 2021).

***