Seketika itu juga enam dari 18 kargo minyak di lambung Torrey Canyon robek dan menghamburkan lebih dari seratus ribu ton minyak ke laut.
Minggu sore tanggal 19 Februari 1967 Kapten Pastrengo Rugiati membunyikan terompet tanker kebanggaannya, SS Torrey Canyon. Perlahan kapal meninggalkan dermaga Pelabuhan Mina Al Ahmadi, Kuwait. Torrey Canyon, milik Barracuda Tanker Corporation yang bermarkas di Bahamas dan terdaftar di Republik Liberia, sedang dicarter oleh British Petroleum untuk mengangkut 120.000 ton minyak mentah yang akan dibawa ke Milford Haven, Wales di barat daya Inggris.
Bagi Rugiati, pelayaran itu akan menjadi perjalanan yang sangat menyenangkan. Diperkirakan, Torrey Canyon akan sampai di Milford pada tanggal 20 Maret 1967, kemudian ia akan terbang ke Verona, Italia untuk merayakan Paskah tanggal 26 Maret bersama keluarga. Rugiati, mantan anggota pasukan marinir Italia, sejak tahun 1952 memulai karier sebagai nakhoda kapal. Kini ia dipercaya menakhodai Torrey Canyon.
Dengan tekun ia mengemudikan kapalnya melalui Selat Hormuz, Teluk Oman, lalu berbelok ke kanan, ke Samudera India. Dengan sistem autopilot, Rugiati hanya perlu memeriksa semua peralatan berjalan baik, kapal berlayar menyusuri rute yang sudah ditentukan.
Sejatinya, Kapten Rugiati bisa mempersingkat pelayarannya dengan berbelok ke kanan, melalui Laut Merah, Terusan Suez, dan masuk ke Laut Tengah. Tapi saat itu tidak dimungkinkan karena dua hal. Pertama, Torey Canyon memiliki panjang 297 meter. Sedangkan panjang maksimal kapal yang diizinkan melalui Terusan Suez, yang dikenal dengan Suezmax adalah 285 meter.
Kelebihan panjang 12 meter. Padahal, pertama kali diluncurkan tahun 1959 dari galangan Newport News - Virginia, Amerika Serikat, ukurannya hanya setengah dari ukuran saat itu. Karena kebutuhan akan minyak meningkat signifikan, setelah mengalami jumboisasi di Galangan Sasebo, Jepang, tahun 1964-1965 Torrey Canyon menjadi VLCC, very large crude carrier.
Kedua, saat itu Pemerintah Liberia, di mana SS Torrey Canyon teregistrasi, tidak mengizinkan untuk melalui Terusan Suez, karena konflik antara Mesir dengan Israel yang kian memanas. Hal itu terbukti dengan meletusnya Perang Enam Hari antara kedua negara pada bulan Juni 1967. Jadi, Rugiati harus membawa kapalnya ke selatan, lalu berbelok ke barat melalui Tanjung Harapan di Afrika Selatan, kemudian ke kanan, masuk ke Samudera Atlantik menuju Eropa. Pelayaran itu mengelilingi 80% pantai Benua Afrika.
Baca Juga: Kapal Tanker Dibajak Marinir Inggris, Iran Meradang
Tanggal 14 Maret 1967, Torrey Canyon sudah sampai di Kepulauan Canary, Spanyol lepas pantai Marroko. Kapal terbesar ke-13 di dunia saat itu terus berlayar ke arah utara, melewati lepas pantai Spanyol, Portugal, dan Perancis. Saat itu Kapten Rugiati diberi-tahu oleh agen kapal di Pelabuhan Milford, Torrey Canyon harus bisa merapat di dermaga, paling lambat tanggal 18 Maret 1967, pukul 11.00 siang, sebelum air laut surut. Itu pun sebagian muatan minyak yang diangkutnya, harus dipindahkan terlebih dahulu ke kapal lain.
Hal itu harus dilakukan karena ukuran Torrey Canyon yang sangat besar. Jika tidak bisa, maka Rugiati harus menunggu hingga setelah tanggal 24 Maret, di mana permukaan laut akan naik kembali. Informasi itu membuat Rugiati gelisah. Ia khawatir jika kapalnya baru bisa merapat setelah tanggal 24 Maret, dan ia tidak bisa merayakan Paskah bersama keluarganya di Italia.
Untuk mengejar batas waktu tanggal 18 Maret, Rugiati memacu kapalnya yang memiliki single turbine berdaya 25.290 tenaga kuda, dengan kecepatan penuh, 17 knots.
Ia menetapkan rute arah utara sekitar lima mil sebelah barat Pulau Scilly. Tanggal 17 Maret siang ia mengecek layar radar, kapal berada pada rute normal. Keesokan harinya, pada pukul 04.00 pagi, Jumat tanggal 18 Maret 1967, seorang anak buahnya melihat pada layar radar, Pulau Scilly belum juga nampak. Harusnya sudah terlihat.
Baru pada pukul 06.45 Pulau Scilly muncul di radar. Tapi pulau itu yang seharusnya berada di sebelah kanan kapal, kini terlihat berada di sebelah kiri. Rugiati baru menyadari, telah terjadi kerusakan pada alat navigasi. Mestinya, ketika kapal terdorong oleh arus ke arah timur laut hingga keluar dari rute, sistem alarm kapal sudah berbunyi.
Baca Juga: Iran Menjadi Tertuduh atas Sabotase Kapal Tanker di Teluk Oman
Kemudian Rugiati mengaktifkan LORAN atau Long Range Navigation. Sebenarnya radar ini sudah jarang dipakai karena tidak lebih baik dibanding Decca Navigation yang saat itu digunakan. Ia mencoba mengarahkan kapal ke rute semula, tapi sudah terlambat. Lalu Rugiati mengubah sistem kemudi dari autopilot ke sistem kontrol, lalu ke manual. Setelah memutuskan menempuh jalur di antara Pulau Scilly dan Seven Stones Reef, Rugiati kembali men-set kemudi ke sistem autopilot.
Keputusan ini yang oleh Steven Casey, seorang ahli ergonomis Inggris, disebut sebagai keputusan yang nyaris tidak boleh diambil. Sehebat apapun kapten kapal itu. Karena bagi kapal berukuran besar, wilayah perairan itu penuh dengan ‘ranjau karang’.
Benar saja. Pukul 08.48, seorang awak kapal melihat dengan jelas, puncak-puncak karang begitu dekat dengan kapal. Setengah berteriak Rugiati memerintahkan anak buahnya untuk membelokkan kapal ke kiri. Tapi kapal tidak memberikan respon, karena autopilot sedang aktif. Sementara yang boleh mengubah sistem kemudi kapal, hanya kapten kapal.
Hanya dalam hitungan menit, Torrey Canyon yang melaju dengan kecepatan penuh, menggerus karang lalu tersangkut di Pollard’s Rock, puncak bukit karang bawah laut paling utara, atau karang ketujuh dari gugusan karang Seven Stones Reef.
Seketika itu juga enam dari 18 kargo minyak di lambung Torrey Canyon robek dan menghamburkan lebih dari seratus ribu ton minyak ke laut.
(Bersambung)
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews