Patung Bambu yang Amis

Sudah tahu begitu, kenapa dipajang di ruang terbuka? Kenapa menyalahkan cuaca atau udara, jika tahu daya tahan bambu tidak awet?

Senin, 22 Juli 2019 | 15:39 WIB
0
637
Patung Bambu yang Amis
Getah Getih di Bunderan HI (Foto: Dream.co.id)

Siapa bilang bambu tidak awet? Mungkin menurut para filsuf dan pendekar kata, yang meyakini tak ada yang abadi di dunia ini. Tapi kalau memajang patung bambu di tempat terbuka, dan hancur dalam kurang dari setahun?

Mereka mesti belajar pada para leluhur, di Jawa umpamanya, yang bisa membuat penyangga genteng berbahan bambu (jika dari kayu dinamai usuk dan reng), yang bisa bertahan lebih dari seratus tahunan.

Contohnya, rumah kakek saya, yang jenis dan bentuknya sama dan bertahan hingga 1992, yang dibangun sejak sebelum kakek saya lahir. Menurut cerita kakek saya, ia mewarisi rumah orangtuanya, dan belum pernah mengubah konstruksi bambu penyangga gentengnya. Kakek saya meninggal 30 tahun lampau dalam usia 90 tahun. Yang berubah kemudian hanya dinding bambunya, menjadi bata merah.

Pada rumah-rumah tradisional di pelosok Daerah Istimewa Yogyakarta, sampai kini saya masih bisa menjumpai rumah dengan jenis dan konstruksi penyangga genteng seperti itu. Tentunya khusus rumah tradisional warisan leluhur.

Di rumah orangtua saya pun, saya masih ingat, bapak saya menganyam kulit bambu untuk pyan atau eternit. Terpasang sejak 1971 hingga kemudian dibongkar tahun 2018. Bertahan 47 tahun. Itupun karena kakak saya menggantinya dengan gypsum.

Bagaimana material bambu bisa begitu awet? Karena bambu itu mengalami proses pengawetan (treatment, meski secara tradisional) sebelum digunakan. Direndam di air beberapa bulan. Bambu bukan hanya kuat tetapi juga awet, meski awalnya bau amis.

Di Solo, tepatnya di kawasan Kali Pepe yang menghubungkan Pasar Gedhe dengan Benteng Vastenburgh, sampai kini masih tegak jembatan bambu yang indah. Dirancang Oktober 2016, dan mulai berfungsi 2017.

Memakai bahan bambu petung, jembatan sepanjang 18 meter dengan lebar 2 meter itu, mampu menahan beban bergerak seberat 200 kilogram permeter persegi. Sebelumnya, telah dilakukan treatment terlebih dulu, hingga bamboo terhindar dari serangan hama dan jamur. Di atasnya dipasang atap untuk memperpanjang umur bambu,

Jembatan itu, merupakan proyek pengenalan bambu, dari Arsitek Swadaya dan Fasilitasi (ASF-ID), sebagai bahan yang layak untuk infrastruktur publik. Telah diuji di laboratorium teknik Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, proyek itu didisain Andrea Fitrianto dari Arsitek Indonesia Tanpa Batas. Dikerjakan secara gotong royong warga Ketandan dan para relawan, dan mendatangkan tukang ahli bambu dari Yogyakarta.

Arsitektur bambu selaras dengan pembangunan berkelanjutan PBB. Proyek jembatan bambu Kali Pepe di-cover berbagai media internasional Asia dan Eropa, Menjadi ikon baru kota Solo, menawarkan revitalisasi kehidupan sungai di kota bersejarah, dan merupakan proyek pertama di Indonesia.

Makbedundug, hari-hari ini kita mendengar kabar, patung bambu Getah Getih yang dipajang di ruang terbuka Bundaran HI, dibongkar karena kondisinya mulai rapuh. Kita mendengar, seniman kreatornya menyatakan; material bambu memang tidak tahan lama. Juga disalahkan pula polusi Jakarta yang buruk. Sementara Gubernur DKI Jakarta, yang menggagas patung, soal polusi itu yang salah adalah banyaknya kendaraan bermotor.

Lhah, sudah tahu begitu, kenapa dipajang di ruang terbuka? Kenapa menyalahkan cuaca atau udara, jika tahu daya tahan bambu tidak awet? Siapa yang dungu, jika kita mengingat teknologi tradisional pengawetan bambu nenek moyang, dan membandingkannya dengan jembatan bambu di Kali Pepe itu?

Belum lagi jika kita ngomong soal anggaran patung bambu yang Rp550 juta. Sementara, dikerjakan gotong royong Jembatan Kali Pepe tak lebih dari separoh anggaran patung bambu Getah Getih. Mau berdalih karya seni tak ternilai harganya? Itu urusan kata-kata atau narasi para pendekarnya.

Yang jelas, jika gubernurnya menyatakan bambu boleh bengkok, tapi niatnya lurus, siapa percaya? Apalagi jika dibanding karya seni lainnya, seni anggaran misalnya. Anggaran pembasmian hama tikus di rumah dinas Gubernur DKI dan Balaikota Jakarta, menghabiskan Rp 280 juta.

Bambu sebagai karya seni, bisa berbau amis. Karena treatmentnya hanya berupa kata-kata, yang mungkin bisa ditanyakan pada Bambang Widjojanto, anggota TGUPP DKI Jakarta Divisi Pemberantasan Korupsi. Barangkali beliau sudah masuk kerja, setelah kemarin cuti, menjadi pembela hukum Prabowo yang kalah Pilpres 2019.

***