Belajar Dari Kasus Eiger [1] Harapan atas Pengangkatan Kapolri Baru

Saya yakin, di bawah komando Kapolri LSP, sekarang adalah tahapan baru bagi Polri untuk melakukan pembenahan internal yang komprehensif, khususnya terkait mental, di tubuh Polri.

Minggu, 31 Januari 2021 | 20:28 WIB
0
190
Belajar Dari Kasus Eiger [1] Harapan atas Pengangkatan Kapolri Baru
Produk Eiger (Foto: Sindonews.com)

Dalam beberapa hari terakhir media sosial diramaikan dengan kasus Eiger. Bagi saya kasus ini menarik, menggambarkan banyak hal tentang sebuah organisasi, dalam hal ini lembaga bisnis (perusahaan). Dalam kasus itu mengemuka bahwa tidak ada kesamaan pemahaman dan persepsi di antara orang-orang yang ada di perusahaan itu atas postingan yang me-review produk-produk mereka.

Orang-orang di level manajemen (birokrasi) melihat postingan Dian Widiyanarko (@duniadian) di Youtube itu sebagai variabel negatif. Karenanya, atas nama perusahaan, manajemen langsung melayangkan Surat Keberatan kepada Dian Widiyanarko. Tentu saja, Si Manager itu bermaksud membela perusahaannya.

Tapi dengan apa yang dilakukannya, jelas menunjukkan bahwa Manager itu tidak paham akan hubungan antara perusahaan (produsen atau penjual) dengan publik, ditinjau dari aspek rasionalitas dan hukum yang berlaku. Dia tidak bisa mengantisipasi, apa kira-kira reaksi publik terhadap Surat Keberatan tersebut. Terlebih di Indonesia saat ini sudah amat sangat bebas untuk berpendapat.

Kemudian, kalau mencermati kronologi kasus itu, Si Manager melayangkan Surat Keberatan yang mengatasnamakan perusahaan itu tanpa berkonsultasi dengan atasannya, CEO Eiger. Entah sengaja atau tidak. Benar saja. CEO Eiger memiliki persepsi berbeda atas publikasi review terhadap produk-produknya yang dilakukan Dian Widiyanarko. Lalu CEO itu mengakui, manajemennya telah melakukan kesalahan dan meminta maaf.

Terhadap apa yang dilakukan oleh Si Manager itu, wajar dan memungkinkan jika ada orang yang berpendapat bahwa itu adalah upaya untuk mendapatkan ‘credit points’ dari atasanya. Atau, untuk mengamankan posisinya. Sebab kalau dia paham, jika menemukan satu publikasi yang dinilainya ‘negatif’ bagi perusahaan di ruang publik, maka dia akan berkonsultasi dengan atasannya.

Nah, saya berpendapat, apa yang terjadi di perusahaan Eiger itu, juga terjadi di banyak instansi dan institusi pemerintah (negara). Sejak merdeka 17 Agustus 1945 hingga akhir tahun 2014 hampir semua sektor mengalami distorsi yang sangat parah. Perlu kerja keras, proses, dan waktu untuk membenahinya.

Menurut saya, Presiden Jokowi memiliki komitmen kuat dalam membenahi negara ini. Kita bisa beda pendapat dan berdebat. Salah satu poin paling esensial dalam pembenahan itu adalah komunikasi berjalan baik.

Segala persoalan di lapangan dan aspirasi publik terkomunikasikan dengan baik (obyektif, jujur, transparan, menyeluruh) kepada Presiden. Begitu juga dengan kebijakan yang diambil dan seharusnya diterapkan di lapangan disampaikan kepada masyarakat. Nah, itu belum terwujud sepenuhnya.

Negara sudah membuka ruang untuk berpendapat (sesuai hukum berlaku) dan menyediakan banyak saluran aspirasi, apakah semua aspirasi, keluhan, pengaduan itu sampai pada person (Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota, atau kepala institusi) yang berkompeten? Tidak.

Apa indikasi bahwa komunikasi antara pemerintah (Presiden) dengan masyarakat belum berjalan sebagaimana mestinya? Ya di banyak sektor, kondisi di lapangan masih distortif. Untuk membahas hingga detail tentang hal ini kita bisa sambil ngopi. Gak mungkin semua ditulis di sini.

Sebagai catatan, untuk Gubernur, Bupati, Walikota, atau kepala institusi, ada di mana distorsinya justru pada mereka sendiri. Tidak ada political will untuk berkomunikasi baik dengan rakyatnya. Contohnya silakan cari sendiri.

Mengapa demikian? Karena tidak semua orang yang ditugaskan menampung segala input dari masyarakat dan menyampaikannya kepada Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota, tidak melakukan tugasnya. Bisa karena tidak kompeten, bisa juga karena sengaja: memilih masukan kategori tertentu saja yang disampaikan.

Jadi, birokrasi dan birokrat yang seharusnya menjadi saluran komunikasi antara Pemerintah dengan masyarakat, justru berfungsi sebaliknya: menutup, menghambat, menyeleksi, semua materi masukan.

Mengapa demikian? Kurang lebih sama dengan apa yang terjadi di perusahaan Eiger itu. Kalau unit-unit kerja pemerintah yang tidak bekerja dengan semestinya, sesuai kebijakan, kemungkinannya karena tidak kompeten atau mempunyai kepentingan pribadi.

Salah satu institusi yang paling diharapkan publik melakukan pembenahan menyeluruh adalah Polri. Mengadopsi istilah dari dunia olahraga, dalam lima tahun terakhir, sangat jelas Polri sudah mengurangi unforce error (kesalahan sendiri) dan memperbanyak winner (prestasi). Tapi pembenahan itu masih jauh dari selesai.

Pada Kapolri yang baru, Jend. (Pol.) Listyo Sigit Prabowo (LSP) harapan publik akan pembenahan dan perbaikan kinerja Polri sangatlah besar. Tidak berlebihan, karena kita tahu komitmen LSP agar Polri menjadi institusi yang hebat, menjalankan semua tupoksinya dengan benar dan baik, tidak kalah besar dari harapan publik itu.

Tentu, parameter pencapaian Polri sebagai penjaga kamtibmas, pelayan dan pelindung masyarakat, adalah tingkat kepuasan masyarakat itu sendiri. Masyarakat harus merasakannya di lapangan. Tapi untuk menjadikan Polri sebagai penjaga kamtibmas, pelayan dan pelindung masyarakat, Polri harus terlebih dahulu melakukan pembenahan internal, sejak dari rekrutmen. Itu wajib.

Ini masukan untuk Kapolri LSP, untuk membuktikan bahwa pembenahan itu masih harus dilakukan, coba Polri melakukan riset. Pilih sejumlah anggota terbaik Polri, lalu tugaskan mereka secara under cover (menyamar) untuk menginventarisir, apa saja yang masih dikeluhkan masyarakat.

Misalnya, ikut naik truk bermuatan dari Bandung ke Jakarta, bisa lewat tol atau via Cianjur. Catat, berapa kali sopir truk itu harus ‘melempar bungkus rokok’ untuk oknum Polri selama perjalanan. Dekati keluarga yang anaknya ditangkap polisi karena kasus narkoba atau kriminal ringan. Berapa besar uang yang harus disiapkan keluarga untuk meringankan atau membebaskan anak yang ditangkap itu. Dan masih banyak contoh lain.

Atas kasus-kasus seperti itu, petinggi Polri, khususnya Kapolri tidak bisa dan tidak boleh mengatakan “Kalau menemukan kasus seperti itu laporkan kepada kami, disertai bukti-buktinya.” Kalau Polri menunggu masyarakat melaporkan (dengan bukti-buktinya) kasus-kasus semacam itu, sampai kapanpun tidak akan terjadi pembenahan.

Selain tidak punya waktu, masyarakat tidak akan berani melakukannya. Inisiatifnya harus dari Polri sendiri.

Pasti, polisi nakal semacam itu hanya sebagian kecil saja. Tapi cerita tentang hal itu ada di hampir semua daerah. Kasihan polisi-polisi baik yang bertugas dengan risiko tinggi, ikut mendapat stigma buruk. Selain itu, jika terus dibiarkan, maka akan membentuk mindset publik: kalau ada masalah hukum dengan polisi harus diselesaikan dengan uang.

Saya yakin, di bawah komando Kapolri LSP, sekarang adalah tahapan baru bagi Polri untuk melakukan pembenahan internal yang komprehensif, khususnya terkait mental, di tubuh Polri. Sekarang waktu yang tepat untuk menjadikan Polri benar-benar sebagai pelayan dan pelindung masyarakat.

Satu lagi masukan untuk Pak LSP, selama ini dalam berurusan dengan masyarakat, Polisi terkesan selalu merasa benar. Itu harus dikoreksi. Polisi bukan kumpulan orang yang terbebas dari kesalahan. Polisi juga manusia.

Mengakui kesalahan tidak akan menjatuhkan citra Polri, tapi justru sebaliknya, akan makin dihormati. Jika polisi salah, mengaku salah. Seperti yang dilakukan CEO Eiger.

***